Saya lagi ngopi di Bacok, tapi tidak apa-apa. ; Teman saya di Palu, juga tidak apa-apa. ; Bentuk Baku untuk Mahasiswa Semester 9 S.1 PGSD UT UPBJJ Batam Subpokjar Dabo Singkep
Sampai sekarang masih banyak kita
lihat kesalahan dibuat orang dalam menuliskan kata berawalan di- atau berkata
depan di. Dalam surat-surat kabar dan majalah pun masih banyak kita temukan
kesalahan, padahal mudah sekali membedakan di yang harus dituliskan terpisah
dari kata yang mengikutinya dan di yang harus diserangkaikan.
Awalan di- hanya terdapat pada kata
kerja baik kata kerja itu berakhiran –kan atau –i maupun tanpa akhiran-akhiran
itu. Kata kerja yang berawalan di- adalah semua kata yang menjadi jawab
pertanyaan diapakan dia atau diapakan benda itu. Kata kerja berawalan di-
mempunyai bentuk lawan awalan me-. Apabila ada lawan bentuknya dengan awalan
me-, pastilah di pada kata itu adalah awalan dan oleh karena itu haruslah diserangkaikan.
Kata depan di memang harus ditulis
terpisah dari kata yang mengikutinya karena di jenis ini mempunyai kedudukan
sebagai kata. Fungsinya menyatakan tempat. Cara mengenalinya mudah sekali. Semua
kata yang menjadi jawab pertanyaan di mana pastilah kata yang mengandung kata
depan di. Oleh karena itu, jawaban itu harus dituliskan dengan dua patah kata
yang terpisah.
Perhatikan :
Saya lagi ngopi di Bacok, tetapi tidak
apa-apa. Saya ngopi lagi.
Teman saya 3 hari di Palu, juga tidak apa-apa.
Teman saya 3 hari di Palu, juga tidak apa-apa.
Pengusaha itu dibacok penjahat.
Paku itu telah dipalu dengan kuat
oleh seorang tukang kayu berpengalaman.
Satu lagi kesalahan yang sering
terjadi adalah pemakaian tanda koma di antara unsur-unsur dalam suatu perincian
atau pembilangan.
Misalnya :
Saya membeli kertas, pena, dan
tinta.
Surat biasa, surat kilat, ataupun
surat khusus memerlukan perangko.
Satu, dua, ... tiga !
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan
Olahraga
Dinas Perindustrian, Perdagangan,
dan Koperasi
Pembakuan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia yang amat luas
wilayah pemakaiannya dan bermacam ragam penuturnya, mau tidak mau, takluk pada
hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak selalu tak terelakkan karena kita pun
dapat mengubah bahasa secara berencana. Faktor sejarah dan perkembangan
masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa
Indonesia.
Ragam bahasa yang beraneka macam
itu masih tetap disebut bahasa Indonesia. Kita mengenal ragam menurut golongan
penutur bahasa dan ragam menurut jenis pemakaian bahasa. Ragam yang ditinjau
dari sudut pandangan penutur dapat diperinci menurut patokan (1) daerah, (2)
pendidikan, dan (3) sikap penutur.
Ragam daerah sejak lama dikenal
dengan nama logat atau dialek. Logat daerah bahasa Indonesia yang sekarang kita
kenal, berkat perhubungan yang lebih sempurna lewat kapal, pesawat, mobil,
radio, surat kabar, dan televisi, agaknya tidak akan berkembang menjadi bahasa
tersendiri. Logat daerah paling kentara karena tata bunyinya. Ciri-ciri khas
yang meliputi tekanan, turun naiknya nada, dan panjang pendaknya bunyi bahasa
membangun aksen yang berbeda-beda.
Ragam bahasa menurut pendidikan formal,
yang menyilangi ragam dialek, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang
berpendidikan formal dan yang tidak. Tata bunyi Indonesia golongan yang kedua
itu, berbeda dengan fonologi kaum terpelajar. Bahasa orang yang berpendidikan –
yang lazim ditautkan dengan bahasa persekolahan – berciri pemeliharaan. Badan
pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, badan kehakiman, pers, radio, televisi,
mimbar agama, dan profesi ilmiah, pendek kata, setiap lembaga yang hendak
berbahasa dengan khalayak ramai akan menggunakan ragam bahasa orang
berpendidikan.
Ragam bahasa menurut sikap penutur
mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang masing-masing pada asasnya
tersedia bagi tiap-tiap pemakai bahasa. Ragam ini, yang dapat disebut langgam
atau gaya, pemilihannya tergantung pada sikap penutur terhadap orang yang
diajak berbicara atau terhadap pembacanya. Sikapnya itu dipengaruhi, antara
lain, oleh umur dan kedudukan yang disapa, pokok persoalan yang hendak
disampaikannya, dan tujuan penyampaian informasinya.
Ragam bahasa menurut jenis
pemakaiannya dapat diperinci sebagai berikut : (1) ragam dari sudut pandangan
bidang atau pokok persoalan; (2) ragam menurut sarananya; dan (3) ragam yang
mengalami gangguan percampuran.
Berdasarkan bidang wacana, ragam
bahasa meliputi ragam ilmiah dan populer.
Berdasarkan sarana, ragam bahasa
meliputi ragam lisan dan tulisan.
Berdasarkan pendidikan, ragam
bahasa meliputi ragam baku dan tidak baku.
Ragam bahasa baku menggunakan
kaidah bahasa yang lebih lengkap dibandingkan dengan bahasa tidak baku. Ragam
bahasa baku memiliki sifat keseragaman kaidah yang akan membawa kemantapan
dinamis yang berupa aturan yang tetap. Baku atau standar artinya tidak dapat
berubah setiap saat. Isi bahasa baku mengungkapkan pemikiran yang teratur,
logis, dan masuk akal.
Situasi diglosia dapat disaksikan
di dalam masyarakat bahasa jika dua ragam-pokok bahasa – yang masing-masing
mungkin memiliki berjenis subragam lagi – dipakai secara berdampingan untuk
fungsi kemasyarakatan yang berbeda-beda. Ragam pokok yang pertama dapat disebut
ragam tinggi dan ragam pokok yang kedua dapat dinamai ragam rendah. Ragam yang
tinggi digunakan, misalnya, untuk pidato resmi, khutbah, kuliah, atau ceramah;
penyiaran lewat radio dan televisi; penulisan yang bersifat resmi; tajuk rencana
dan makalah surat kabar; dan susastra, khususnya puisi. Ragam yang rendah
biasanya dipakai, misalnya, di dalam percakapan yang akrab di lingkungan
keluarga atau dengan teman sebaya; di pasar dalam tawar-menawar; di dalam seni dan
sastra rakyat; di dalam penulisan yang tidak resmi seperti surat pribadi kepada
yang karib.
Di dalam situasi diglosia ada
tradisi keilmuan yang memilih ragam pokok yang tinggi sebagai dasar usaha
pembakuan. Di Indonesia pun hal itu terjadi, bahkan dapat dikatakan bahwa ada
kecenderungan untuk mendasarkan penyusunan tata bahasa itu pada ragam tinggi
bahasa tulisan.
Ragam bahasa orang yang
berpendidikan, yakni bahasa dunia pendidikan, merupakan pokok yang sudah agak
banyak ditelaah orang. Ragam itu jugalah yang kaidah-kaidahnya paling lengkap
diperikan jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain. Ragam itu tidak saja
ditelaah dan diperikan, tetapi juga diajarkan di sekolah. Apa yang dahulu
disebut bahasa Melayu Tinggi dikenal
juga sebagai bahasa sekolah. Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan bahwa
ragam itu memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi karena ragam itu juga yang
dipakai oleh kaum yang berpendidikan dan yang kemudian dapat menjadi pemuka di
berbagai bidang kehidupan yang penting. Pejabat pemerintah, guru, hakim,
pengacara, perwira, sastrawan, pemimpin perusahaan, wartawan, generasi demi
generasi terlatih dalam ragam sekolah itu. Ragam itulah yang dijadikan tolok
bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Fungsinya sebagai tolok
menghasilkan nama bahasa baku atau bahasa standar baginya.
Ragam bahasa standar memiliki sifat
kemantapan dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar
tidak dapat berubah setiap saat. Kemantapan itu tidak kaku, tetapi cukup luwes
sehingga memungkinkan perubahan yang bersistem dan teratur di bidang kosa kata
dan peristilahan, dan mengizinkan perkembangan berjenis ragam yang diperlukan
di dalam kehidupan modern.
Ciri kedua yang menandai bahasa
baku ialah sifat kecendekiaannya. Perwujudannya dalam kalimat, paragraf, dan
satuan-bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang
teratur, logis, dan masuk akal. Proses pencendekiaan bahasa itu amat penting
karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber
pada bahasa asing, harus dapat dilangsungkan lewat ragam baku bahasa Indonesia.
Baku atau standar berpraanggapan
adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses
penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa atau penyeragaman variasi
bahasa. Itulah ciri ketiga bahasa yang baku.
Jika bahasa sudah memiliki baku
atau standar, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat keputusan pejabat
pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan
yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada
khalayak, dengan lebih mudah dapat dibuat pembedaan antara bahasa yang benar atau betul.
Kaidah ejaan dan pembentukan istilah kita sudah distandarkan, kaidah
pembentukan kita yang sudah teradat dapat dianggap baku.
Orang yang mahir menggunakan
bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu, dianggap
berbahasa dengan efektif. Bahasanya membuahkan efek atau hasil karena serasi
dengan peristiwa atau keadaan yang dihadapinya. Orang yang berhadapan dengan
sejumlah lingkungan hidup harus memilih salah satu ragam yang cocok dengan
situasi itu. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur
dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus
mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku. Dalam tawar-menawar di
pasar, misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan,
atau kecurigaan.
Marilah kita perhatikan latihan
berikut yang telah dilaksanakan pada pertemuan kelima yakni mengubah bentuk
takbaku menjadi bentuk baku :
Bentuk-bentuk takbaku : standard, standarisasi, produktip,
produktifitas, photocopy, dipersilahkan, nyonyah, mamah papah, entar deh,
belon, ampat, telor, insyap, kemaren, Senen, Rebo, Kemis, sekolahan, kuburan,
jalanan
standard → standar
standardization → standardisasi ; kata serapan yang berakhiran -tion menjadi -si
productive → produktif ;
kata serapan yang berakhiran –ive menjadi -if
productivity →
produktivitas ; kata serapan yang berakhiran –ty menjadi –tas
photocopy → fotokopi ;
kata serapan yang menggunakan ph menjadi f dan huruf c di muka a, u, o, dan
konsonan menjadi k
dipersilahkan → dipersilakan nyonyah → nyonya mamah
papah → mama papa
sekolahan → sekolah kuburan
→ kubur jalanan → jalan
Penggunaan akhiran –an pada
kata sekolahan, kuburan, dan jalanan tidak berfungsi, tidak mengubah makna
kata, dan juga tidak mengubah kategori kata. Pembubuhan akhiran –an seperti itu
tidak perlu. Karena itu, sebaiknya dihindari.
Perhatikan pula :
dia punya harga →
harganya dia
punya istri →
istrinya
selain
daripada itu → selain itu pada
umumnya → umumnya
yang mana
berarti → artinya lagi
3 menit → 3 menit lagi
pemberian
tahu → pemberitahuan pertanggungan
jawab → pertanggungjawaban
semua negara-negara
Asean → semua negara Asean para murid-murid → para murid
Nanti saya
bilang sama dia. → Nanti saya beritahukan padanya.
Saya akan belikan. → Akan saya belikan.
Banjir serang kampung itu. → Banjir menyerang kampung itu.
Anak itu lari dengan kencang. → Anak itu berlari dengan kencang.
Saya sudah antar surat itu. → Sudah saya antar surat itu. (kalimat pasif)
Saya
sudah mengantar surat itu. (kalimat aktif)
Bikin
bersih kelas kita ! → Bersihkan kelas kita !
Membuat
kelas kita menjadi bersih. (struktur kalimat yang salah)
Bikin rapi
meja kalian ! → Rapikan meja kalian !
Kamu kasih tahu orang tua kamu ! → Kamu
beritahukan orang tuamu !
Dia orang sudah tiba di Batam. → Dia sudah tiba di Batam.
Gimana cara pakai alat ini ? → Bagaimana cara memakai alat ini ?
Ia
mengirim surat ke saya. → Ia mengirim surat kepada saya.
Surat
itu sudah saya terima. (tidak sesuai dengan bentuk takbaku)
Badu pergi
sama abangnya. → Badu pergi dengan abangnya.
Sampai ketemu lagi, ya ! → Sampai bertemu lagi, ya !
Sudah diketemukan bukumu yang hilang
itu ? → Sudah
ditemukan bukumu yang hilang itu ?
Saya malu diketawain orang. → Saya malu ditertawakan orang.
Jangan ketawa ! → Jangan tertawa !
Prefiks
ke- pada kata ketemu, diketemukan, diketawain, ketawa, merupakan pengaruh
bahasa daerah.
Perkuliahan
belum juga jalan. → Perkuliahan belum juga berjalan.
Murid
sudah kumpul. → Murid sudah berkumpul.
Bagusan
bajuku dari bajumu. → Lebih bagus bajuku daripada bajumu.
Bandingkan
:
Bajumu
lebih bagus daripada bajuku.
Lebih
bagus bajuku dari bajumu.
Sepedanya
adik baru dibeli ayah. → Sepeda adik baru dibeli ayah.
Bandingkan :
Adik baru dibeli ayah sepeda.
Ayah baru membeli sepeda adik.
Ayah
baru membelikan sepeda untuk adik.
Sepeda adik sudah dibeli ayah.
Sepeda adik yang baru dibeli
ayah.
Ayah membelikan adik sepeda baru
Anaknya
kucing kami mati. → Anak kucing kami mati.
Para tetamu
sudah pada datang. → Tetamu sudah datang. ; Para tamu sudah datang.
Dia suka datang terlambat. → Dia sering datang terlambat.
Bandingkan :
Dia senang datang terlambat.
Dia datang terlambat.
Hotel di
mana ayah menginap sebulan yang lalu mahal sewanya.
Bentuk baku : Hotel tempat ayah menginap sebulan
yang lalu mahal sewanya.
Bandingkan : Sebulan yang lalu hotel
tempat ayah menginap mahal sewanya.
Di hotel
mana ayah menginap sebuan yang lalu sewanya mahal.
Ayah
menginap di hotel yang mahal sewanya.
Rumah di
mana saya diam terbuat dari bambu.
Bentuk baku : Rumah tempat saya diam terbuat dari
bambu.
Rumah ini
terlalu besar, saya mencari yang kecilan.
Bentuk Baku: Rumah ini terlalu besar, saya
mencari yang kecil.
Surat yang
mana menyatakan persetujuan itu, sudah lama disampaikan.
Bentuk baku : Surat yang menyatakan persetujuan
itu, sudah lama disampaikan.
Bandingkan : Surat yang disampaikan sudah lama
menyatakan persetujuan itu.
Lemari
yang mana di dalamnya disimpan buku-buku itu dipindahkan ke ruang perpustakaan.
Bentuk baku : Lemari yang di dalamnya disimpan
buku-buku itu dipindahkan ke ruang perpustakaan.
Bandingkan :
Lemari yang mana tersimpan buku itu dipindahkan ke
ruang perpustakaan.
Semua buku yang tersimpan di lemari telah dipindahkan
ke ruang perpustakaan.
Buku yang tersimpan di lemari dipindahkan ke ruang
perpustakaan.
Lemari buku itu dipindahkan ke ruang perpustakaan.
Sumber :
Ambary, Abdullah. 1984. Intisari Tatabahasa Indonesia. Bandung
: Djatnika
Badudu, J.S. 1983. Inilah Bahasa Indonesia yang
Benar. Jakarta : Gramedia
Badudu, J.S. 1983. Membina Bahasa Indonesia Baku
Seri 2. Bandung : Pustaka Prima
Badudu, J.S. 1984. Membina Bahasa Indonesia Baku
Seri 1. Bandung : Pustaka Prima
Badudu, J.S. 1985. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung
: Pustaka Prima
Badudu, J.S. 1986. Inilah Bahasa Indonesia yang
Benar II. Jakarta : Gramedia
Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan
Benar. Jakarta : Pustaka Jaya
Fokker, A.A. 1983. Pengantar Sintaksis Indonesia. Jakarta
: Pradnya Paramita
Keraf, Gorys. 1984. Tatabahasa Indonesia. Flores
: Nusa Indah
Moeliono, Anton M., dkk. 1980. Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Jakarta : Balai Pustaka
Moeliono, Anton M., dkk. 1984. Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta : Balai Pustaka
Moeliono, Anton M., dkk. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Parera, Jos Daniel. 2000. Keberbahasaan dan Kepenulisanan
Bahasa Indonesia untuk Penulis dan Penyunting Buku Pelajaran. Jakarta :
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional
Razak, Abdul. 1985. Kalimat Efektif : Struktur, Gaya,
dan Variasi. Jakarta : Gramedia
Tjiptadi, Bambang, dan St. Negoro. 1983. Rangkuman
Tata Bahasa Indonesia. Jakarta : Yudhistira
Wahai pembaca yang
budiman,
Sedikit pun tak
terbersit dalam pikiranku agar ada pembenaran dari anda.
Hanya satu pintaku,
kirimkanlah pembetulan
kepadaku
agar tulisanku semakin
bercahaya meski bersahaya.
Silakan layangkan saran dan kritik anda
melalui surel : syamsulhendry@gmail.com
Komentar
Posting Komentar