Ditujukan kepada Mahasiswa Semester Sembilan Program Studi S.1 PGSD FKIP UT UPBJJ Batam Subpokjar Dabo Singkep
Diharapkan Saudara dapat membedakan paragraf dalam wacana berikut ini.
Mari kita membedakan wacana EDAN ( eksposisi, deskripsi, argumentasi,
narasi )
Secara leksikal, kata “bom” merupakan kata benda (
nomina ) yang memiliki dua makna. Makna kata bom yang pertama adalah senjata
peledak. Makna yang kedua adalah pelabuhan; pabean. ( Syamsul Hendry, Encik.
(2009). Kamus Cakap Melayu. )
Makna pertama, bom bermakna senjata peledak. Bom
bermakna sebagai senjata peledak sangat sering digunakan pada masa kini. Ketika
mendengar kata “bom”, orang akan teringat dengan bom Bali, bom Sarinah, lalu
akhir-akhir ini terkenal pula dengan bom Turki. Bom Aleppo, bom Izmir, bom
Palestin tak pernah digunjingkan.
Makna kedua, bom bermakna pelabuhan; pabean. Bom
bermakna sebagai pelabuhan sudah jarang digunakan lagi. Hanya orang-orang tua
yang telah lama bermastautin di Dabo Singkep dan sekitarnya sajalah yang masih
menggunakan istilah bom untuk pelabuhan. Padahal kata “bom” bermakna pelabuhan
ini sudah termasuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Artinya, bom dengan
makna pelabuhan sudah tergolong kata bahasa Indonesia.
Sebagai kata benda ( nomina ), bom yang bermakna
pelabuhan dapat dijelaskan secara konkrit. Bom sebagai pelabuhan merupakan tempat
berlabuh kapal, boat, pompong, perahu, sampan, kolek. Kapal besar maupun kapal
kecil biasa bersandar di bom.
Bom Dabo merupakan salah satu bom yang terdapat di
pulau Singkep. Sejak dulu hingga sekarang ini bom Dabo sering disinggahi
kapal-kapal kecil maupun besar. Kapal, boat, pompong, perahu, sampan, dan
kolek banyak yang bersandar di bom Dabo. Bongkar muat barang masih terjadi di
bom Dabo sampai saat ini. Suatu waktu di bom Dabo pernah ada keranci ( crane
) untuk bongkar muat barang dan kereta api untuk mobilisasi timah dari
dan ke bom Dabo.
Dari tahun ke tahun bom Dabo semakin indah dan
kokoh. Sayangnya, keindahan dan kekokohan bom Dabo tidak sejalan dengan
kebersihannya. Sampah berserakan di bom dan sekitarnya. Apabila ditanya siapa
yang salah, tentu tidak seorang pun mau mengunjukkan jarinya untuk mengakui
kesalahan itu. Padahal sudah menjadi aktivitas rutin, setiap malam sekitar
pukul 19.00 s.d. 23.00, orang-orang yang tidak bertanggung jawab melempar satu
dua kantong berisi sampah di pangkal maupun ujung bom. Selamba ( lihat KBBI;
ini kata Bahasa Indonesia ) saja mereka melempar kantong sampah di pangkal
maupun ujung bom. Alhasil, sampah pun berserakan di bom maupun di laut sekitar
bom. Apakah mereka tidak bersalah ?
Tak kisahlah itu semua.
Sayup terdengar alunan tembang lawas, “ … dermaga
saksi bisu … .“ Seorang perjaka tercenung lunglai di ujung bom Dabo Singkep.
Orang-orang sibuk dengan kail, pancing, dan jaring berhanyut, dia hanya
tercenung seumpama tak bermaya. Sekejap kemudian dia memandangi ponselnya tak
berkedip. Sesekali menunduk, sesekali menerawang, sesekali melenguh, sesekali
berdecak. Entah apa pasalnya sehingga dia semacam tak tentu arah.
Kasihan aku melihatnya. Khawatir pula dia tercampak
di ujung bom itu. Kusapa dia. Tak lama kemudian kami akrab selayaknya sahabat.
Kami mulai bercakap-cakap tentang isu-isu politik, ekonomi, dan pendidikan
negeri ini. Pelan-pelan, lambat laun, pembicaraan kami beralih. Kuajak dia
bercerita tentang duka dan luka lara. Tak sadar lalu dia bercerita. Apakah
telah terhapus luka dengan air mata?
Bermula kisahnya seorang perjaka bersahabat dengan
seorang adik tingkatnya yang berbeda asal muasal. Sang perjaka berasal dari
Dabo Singkep sedangkan sang perawan berasal dari suatu tanjung. Sang perjaka
itu diketahui bernama Ian Alfian Marge dan sang perawan bernama Anti Rianti
Susanti Mahrez.
Mereka memadu kasih asmara. Sampai kini, setelah
berpisah sekian lama, mereka masih berkasih mesra meski hanya via BBM, FB, WA, tweeter,
atau semacam itulah.
Dengan kerinduan yang meledak-ledak, Ian pergi
mengunjungi sang kekasih. Lima kabupaten disinggahinya, lebih dari dua puluh
kecamatan ditempuhnya, tak terhitung pula desa yang telah dilaluinya.
Berpuluh-puluh laut, selat, dan sungai dilayarinya. Berpuluh-puluh pulau telah
pula ditengoknya. Darat laut bukanlah halangan. Ian bertekad untuk menemui
gadis pujaan hatinya.
Tibalah Ian di bom tanjung itu. Lama Ian terjengkit
terjenguk mencari rupa sang kekasih. Dia berharap sang kekasih menunggu di
situ. Penuh harap, dengan sabar dia menunggu sang kekasih. Apa daya ? Sang
kekasih tak kunjung tiba. Tak kuasa Ian membujuk rindu nan menggebu-gebu.
Dua jam sudah Ian menunggu di situ. Kekasih pujaan
hati tak kunjung tiba. Hilang sudah kesabarannya. Dengan sedikit taktik
diplomatis, tanya sana tanya sini. Akhirnya, dia menemukan rumah gadis itu.
Sudah tiga jam dia mencari. Ketuk pintu sekali dua. Ketuk
pintu lagi sekali dua. Tak juga ada sahutan di sana.
Hampir hilang asa. Sekali lagi dia mengetuk pintu
rumah sang gadis. Tidak ada juga suara sahutan di sana. Mentari sudah di ambang
petang. Sekejap lagi malam menjelang. Dia pulang dengan hampa.
Dia bergegas kembali ke bom di tanjung itu. Syukurlah,
dia mendapatkan penginapan di sana.
Malam pun tiba. Dia kembali berkemas dan bergegas
menuju rumah gadis itu lagi. Tak sabar ingin bertemu. Berkecamuk rasa dalam
hati. Terbersit tanya di kepala, adakah dia setia ?
Ian tiba di rumah sang pujaan. Ternyata si dia tidak
sedang di rumah. Si dia sedang beraktivitas hingga pukul 22.00 nanti.
Ian segera meluncur ke lokasi kegiatan si dia. Tak lebih
dari 3 menit mereka bercerita. Ian kembali ke bom di tanjung itu.
Maksud hati hendak melelapkan mata. Penat. Namun,
apa daya. Mata tak lena. Terbayang si dia yang mempesona. Putar ke kanan, tak
kena. Putar ke kiri pun tak kena. Tak sadar pukul berapa dia terlelap dalam
senyap.
Pagi-pagi benar Ian sudah bersiap-siap hendak balik
ke kampung halaman. Penuh kehampaan. Masih ada secercah harapan. “Kiranya pagi
ini dia akan melambaikan tangan mengantar keberangkatanku,” hati Ian berkata.
Di ujung bom tanjung itu, Ian terduduk, terdiam. Menanti
sang kekasih melambai dari kejauhan.
Sayup terdengar di dalam kapal itu, suara nyanyian
sebuah tembang lawas, “Saat kita berpisah kau pegang erat tanganku. Sepertinya tak
merelakan kepergianku ‘tuk meninggalkanmu. Dermaga saksi bisu. … . Lambaian tanganmu
masih kuingat selalu. Itu yang terakhir kumelihat dirimu. … .”
Lama menunggu. Kapal berlepas tali untuk segera
berangkat. Tak juga tampak rupa sang kekasih. Dipandanginya bom itu dari ujung
sampai ke pangkal berulang kali.
Tak lama kemudian, kapal pun berangkat. Bom semakin
kecil tampak dari kejauhan. Tidak kunjung nampak juga sang pujaan hati. Aduh…
begitu hampanya perasaan.
“Lebih bagus jelangkung lagi, datang dijemput. Nah …!
Ini, datang tak dijemput, pulang tak diantar.” gumamnya dalam hati.
“Oleh karena hati sudah terpikat, aku tetap mencintaimu.”
batin Ian menggumam.
Saya mohon maaf bila tiba-tiba terdapat
kesamaan nama dan kisah ini dengan anda.
Sedikit pun tak terbersit dalam pikiranku agar ada pembenaran dari anda,
wahai pembaca yang budiman.
wahai pembaca yang budiman.
Hanya satu pintaku, kirimkanlah
pembetulan kepadaku
agar tulisanku semakin bercahaya meski bersahaya.
agar tulisanku semakin bercahaya meski bersahaya.
Silakan layangkan saran dan kritik anda melalui surel : syamsulhendry@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar