# Mengajar tanpa menggurui # Memberi nasehat tanpa merasa lebih hebat #

Sabtu, 11 Maret 2017

Saya lagi ngopi di Bacok, tapi tidak apa-apa. ; Teman saya di Palu, juga tidak apa-apa. ; Bentuk Baku untuk Mahasiswa Semester 9 S.1 PGSD UT UPBJJ Batam Subpokjar Dabo Singkep

Sampai sekarang masih banyak kita lihat kesalahan dibuat orang dalam menuliskan kata berawalan di- atau berkata depan di. Dalam surat-surat kabar dan majalah pun masih banyak kita temukan kesalahan, padahal mudah sekali membedakan di yang harus dituliskan terpisah dari kata yang mengikutinya dan di yang harus diserangkaikan.
Awalan di- hanya terdapat pada kata kerja baik kata kerja itu berakhiran –kan atau –i maupun tanpa akhiran-akhiran itu. Kata kerja yang berawalan di- adalah semua kata yang menjadi jawab pertanyaan diapakan dia atau diapakan benda itu. Kata kerja berawalan di- mempunyai bentuk lawan awalan me-. Apabila ada lawan bentuknya dengan awalan me-, pastilah di pada kata itu adalah awalan dan oleh karena itu haruslah diserangkaikan.
Kata depan di memang harus ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya karena di jenis ini mempunyai kedudukan sebagai kata. Fungsinya menyatakan tempat. Cara mengenalinya mudah sekali. Semua kata yang menjadi jawab pertanyaan di mana pastilah kata yang mengandung kata depan di. Oleh karena itu, jawaban itu harus dituliskan dengan dua patah kata yang terpisah.
Perhatikan :
Saya lagi ngopi di Bacok, tetapi tidak apa-apa. Saya ngopi lagi.
Teman saya 3 hari di Palu, juga tidak apa-apa.
Pengusaha itu dibacok penjahat.
Paku itu telah dipalu dengan kuat oleh seorang tukang kayu berpengalaman.
Satu lagi kesalahan yang sering terjadi adalah pemakaian tanda koma di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya :
Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
Surat biasa, surat kilat, ataupun surat khusus memerlukan perangko.
Satu, dua, ... tiga !
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga
Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi

Pembakuan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya dan bermacam ragam penuturnya, mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak selalu tak terelakkan karena kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana. Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia.
Ragam bahasa yang beraneka macam itu masih tetap disebut bahasa Indonesia. Kita mengenal ragam menurut golongan penutur bahasa dan ragam menurut jenis pemakaian bahasa. Ragam yang ditinjau dari sudut pandangan penutur dapat diperinci menurut patokan (1) daerah, (2) pendidikan, dan (3) sikap penutur.
Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Logat daerah bahasa Indonesia yang sekarang kita kenal, berkat perhubungan yang lebih sempurna lewat kapal, pesawat, mobil, radio, surat kabar, dan televisi, agaknya tidak akan berkembang menjadi bahasa tersendiri. Logat daerah paling kentara karena tata bunyinya. Ciri-ciri khas yang meliputi tekanan, turun naiknya nada, dan panjang pendaknya bunyi bahasa membangun aksen yang berbeda-beda.
Ragam bahasa menurut pendidikan formal, yang menyilangi ragam dialek, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Tata bunyi Indonesia golongan yang kedua itu, berbeda dengan fonologi kaum terpelajar. Bahasa orang yang berpendidikan – yang lazim ditautkan dengan bahasa persekolahan – berciri pemeliharaan. Badan pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, badan kehakiman, pers, radio, televisi, mimbar agama, dan profesi ilmiah, pendek kata, setiap lembaga yang hendak berbahasa dengan khalayak ramai akan menggunakan ragam bahasa orang berpendidikan.
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap-tiap pemakai bahasa. Ragam ini, yang dapat disebut langgam atau gaya, pemilihannya tergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak berbicara atau terhadap pembacanya. Sikapnya itu dipengaruhi, antara lain, oleh umur dan kedudukan yang disapa, pokok persoalan yang hendak disampaikannya, dan tujuan penyampaian informasinya.
Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat diperinci sebagai berikut : (1) ragam dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan; (2) ragam menurut sarananya; dan (3) ragam yang mengalami gangguan percampuran.
Berdasarkan bidang wacana, ragam bahasa meliputi ragam ilmiah dan populer.
Berdasarkan sarana, ragam bahasa meliputi ragam lisan dan tulisan.
Berdasarkan pendidikan, ragam bahasa meliputi ragam baku dan tidak baku.
Ragam bahasa baku menggunakan kaidah bahasa yang lebih lengkap dibandingkan dengan bahasa tidak baku. Ragam bahasa baku memiliki sifat keseragaman kaidah yang akan membawa kemantapan dinamis yang berupa aturan yang tetap. Baku atau standar artinya tidak dapat berubah setiap saat. Isi bahasa baku mengungkapkan pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal.
Situasi diglosia dapat disaksikan di dalam masyarakat bahasa jika dua ragam-pokok bahasa – yang masing-masing mungkin memiliki berjenis subragam lagi – dipakai secara berdampingan untuk fungsi kemasyarakatan yang berbeda-beda. Ragam pokok yang pertama dapat disebut ragam tinggi dan ragam pokok yang kedua dapat dinamai ragam rendah. Ragam yang tinggi digunakan, misalnya, untuk pidato resmi, khutbah, kuliah, atau ceramah; penyiaran lewat radio dan televisi; penulisan yang bersifat resmi; tajuk rencana dan makalah surat kabar; dan susastra, khususnya puisi. Ragam yang rendah biasanya dipakai, misalnya, di dalam percakapan yang akrab di lingkungan keluarga atau dengan teman sebaya; di pasar dalam tawar-menawar; di dalam seni dan sastra rakyat; di dalam penulisan yang tidak resmi seperti surat pribadi kepada yang karib.
Di dalam situasi diglosia ada tradisi keilmuan yang memilih ragam pokok yang tinggi sebagai dasar usaha pembakuan. Di Indonesia pun hal itu terjadi, bahkan dapat dikatakan bahwa ada kecenderungan untuk mendasarkan penyusunan tata bahasa itu pada ragam tinggi bahasa tulisan.
Ragam bahasa orang yang berpendidikan, yakni bahasa dunia pendidikan, merupakan pokok yang sudah agak banyak ditelaah orang. Ragam itu jugalah yang kaidah-kaidahnya paling lengkap diperikan jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain. Ragam itu tidak saja ditelaah dan diperikan, tetapi juga diajarkan di sekolah. Apa yang dahulu disebut bahasa Melayu Tinggi dikenal juga sebagai bahasa sekolah. Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan bahwa ragam itu memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi karena ragam itu juga yang dipakai oleh kaum yang berpendidikan dan yang kemudian dapat menjadi pemuka di berbagai bidang kehidupan yang penting. Pejabat pemerintah, guru, hakim, pengacara, perwira, sastrawan, pemimpin perusahaan, wartawan, generasi demi generasi terlatih dalam ragam sekolah itu. Ragam itulah yang dijadikan tolok bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Fungsinya sebagai tolok menghasilkan nama bahasa baku atau bahasa standar baginya.
Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kemantapan itu tidak kaku, tetapi cukup luwes sehingga memungkinkan perubahan yang bersistem dan teratur di bidang kosa kata dan peristilahan, dan mengizinkan perkembangan berjenis ragam yang diperlukan di dalam kehidupan modern.
Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaannya. Perwujudannya dalam kalimat, paragraf, dan satuan-bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Proses pencendekiaan bahasa itu amat penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber pada bahasa asing, harus dapat dilangsungkan lewat ragam baku bahasa Indonesia.
Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa atau penyeragaman variasi bahasa. Itulah ciri ketiga bahasa yang baku.
Jika bahasa sudah memiliki baku atau standar, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat keputusan pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada khalayak, dengan lebih mudah dapat dibuat pembedaan antara bahasa yang benar atau betul. Kaidah ejaan dan pembentukan istilah kita sudah distandarkan, kaidah pembentukan kita yang sudah teradat dapat dianggap baku.
Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu, dianggap berbahasa dengan efektif. Bahasanya membuahkan efek atau hasil karena serasi dengan peristiwa atau keadaan yang dihadapinya. Orang yang berhadapan dengan sejumlah lingkungan hidup harus memilih salah satu ragam yang cocok dengan situasi itu. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku. Dalam tawar-menawar di pasar, misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan, atau kecurigaan.
Marilah kita perhatikan latihan berikut yang telah dilaksanakan pada pertemuan kelima yakni mengubah bentuk takbaku menjadi bentuk baku :
Bentuk-bentuk takbaku : standard, standarisasi, produktip, produktifitas, photocopy, dipersilahkan, nyonyah, mamah papah, entar deh, belon, ampat, telor, insyap, kemaren, Senen, Rebo, Kemis, sekolahan, kuburan, jalanan
standard standar
standardization standardisasi ; kata serapan yang berakhiran -tion menjadi -si
productive produktif ; kata serapan yang berakhiran –ive menjadi -if
productivity produktivitas ; kata serapan yang berakhiran –ty menjadi –tas
photocopy fotokopi ; kata serapan yang menggunakan ph menjadi f dan huruf c di muka a, u, o, dan konsonan menjadi k
dipersilahkan  dipersilakan   nyonyah  nyonya  mamah papah  mama papa
sekolahan  → sekolah        kuburan   kubur        jalanan jalan
Penggunaan akhiran –an pada kata sekolahan, kuburan, dan jalanan tidak berfungsi, tidak mengubah makna kata, dan juga tidak mengubah kategori kata. Pembubuhan akhiran –an seperti itu tidak perlu. Karena itu, sebaiknya dihindari.
Perhatikan pula :
dia punya harga → harganya                   dia punya istri  → istrinya
selain daripada itu → selain itu                pada umumnya → umumnya
yang mana berarti → artinya                    lagi 3 menit → 3 menit lagi
pemberian tahu → pemberitahuan           pertanggungan jawab → pertanggungjawaban
semua negara-negara Asean → semua negara Asean        para murid-murid → para murid
Nanti saya bilang sama dia.              →    Nanti saya beritahukan padanya.
Saya akan belikan.                            →     Akan saya belikan.
Banjir serang kampung itu.               →       Banjir menyerang kampung itu.
Anak itu lari dengan kencang.           →       Anak itu berlari dengan kencang.
Saya sudah antar surat itu.               →   Sudah saya antar surat itu. (kalimat pasif)
                                                           Saya sudah mengantar surat itu. (kalimat aktif)
Bikin bersih kelas kita !                     →       Bersihkan kelas kita !
                                                                      Membuat kelas kita menjadi bersih. (struktur kalimat yang salah)
Bikin rapi meja kalian !                     →   Rapikan meja kalian !
Kamu kasih tahu orang tua kamu !  →   Kamu beritahukan orang tuamu !
Dia orang sudah tiba di Batam.        →   Dia sudah tiba di Batam.
Gimana cara pakai alat ini ?            →   Bagaimana cara memakai alat ini ?
Ia mengirim surat ke saya.                →   Ia mengirim surat kepada saya.
                                                                      Surat itu sudah saya terima. (tidak sesuai dengan bentuk takbaku)
Badu pergi sama abangnya.             →  Badu pergi dengan abangnya.
Sampai ketemu lagi, ya !                 →   Sampai bertemu lagi, ya !
Sudah diketemukan bukumu yang hilang itu ? → Sudah ditemukan bukumu yang hilang itu ?
Saya malu diketawain orang.          →   Saya malu ditertawakan orang.
Jangan ketawa !                               →    Jangan tertawa !
Prefiks ke- pada kata ketemu, diketemukan, diketawain, ketawa, merupakan pengaruh bahasa daerah.

Perkuliahan belum juga jalan.         →   Perkuliahan belum juga berjalan.
Murid sudah kumpul.                      →   Murid sudah berkumpul.

Bagusan bajuku dari bajumu.      → Lebih bagus bajuku daripada bajumu.
Bandingkan :
Bajumu lebih bagus daripada bajuku.
Lebih bagus bajuku dari bajumu.

Sepedanya adik baru dibeli ayah.    → Sepeda adik baru dibeli ayah.
Bandingkan :
Adik baru dibeli ayah sepeda.
Ayah baru membeli sepeda adik.
Ayah baru membelikan sepeda untuk adik.
Sepeda adik sudah dibeli ayah.
Sepeda adik yang baru dibeli ayah.
Ayah membelikan adik sepeda baru
Anaknya kucing kami mati.              → Anak kucing kami mati.
Para tetamu sudah pada datang.     → Tetamu sudah datang. ; Para tamu sudah datang.
Dia suka datang terlambat.              → Dia sering datang terlambat.
Bandingkan :
Dia senang datang terlambat.
Dia datang terlambat.
Hotel di mana ayah menginap sebulan yang lalu mahal sewanya.
Bentuk baku : Hotel tempat ayah menginap sebulan yang lalu mahal sewanya.
Bandingkan : Sebulan yang lalu hotel tempat ayah menginap mahal sewanya.
Di hotel mana ayah menginap sebuan yang lalu sewanya mahal.
Ayah menginap di hotel yang mahal sewanya.
Rumah di mana saya diam terbuat dari bambu.
Bentuk baku : Rumah tempat saya diam terbuat dari bambu.
Rumah ini terlalu besar, saya mencari yang kecilan.
Bentuk Baku: Rumah ini terlalu besar, saya mencari yang kecil.
Surat yang mana menyatakan persetujuan itu, sudah lama disampaikan.
Bentuk baku : Surat yang menyatakan persetujuan itu, sudah lama disampaikan.
Bandingkan : Surat yang disampaikan sudah lama menyatakan persetujuan itu.
Lemari yang mana di dalamnya disimpan buku-buku itu dipindahkan ke ruang perpustakaan.
Bentuk baku : Lemari yang di dalamnya disimpan buku-buku itu dipindahkan ke ruang perpustakaan.
Bandingkan :
Lemari yang mana tersimpan buku itu dipindahkan ke ruang perpustakaan.
Semua buku yang tersimpan di lemari telah dipindahkan ke ruang perpustakaan.
Buku yang tersimpan di lemari dipindahkan ke ruang perpustakaan.
Lemari buku itu dipindahkan ke ruang perpustakaan.


Sumber :
Ambary, Abdullah. 1984. Intisari Tatabahasa Indonesia. Bandung : Djatnika
Badudu, J.S. 1983. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta : Gramedia
Badudu, J.S. 1983. Membina Bahasa Indonesia Baku Seri 2. Bandung : Pustaka Prima
Badudu, J.S. 1984. Membina Bahasa Indonesia Baku Seri 1. Bandung : Pustaka Prima
Badudu, J.S. 1985. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung : Pustaka Prima
Badudu, J.S. 1986. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar II. Jakarta : Gramedia
Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar. Jakarta : Pustaka Jaya
Fokker, A.A. 1983. Pengantar Sintaksis Indonesia. Jakarta : Pradnya Paramita
Keraf, Gorys. 1984. Tatabahasa Indonesia. Flores : Nusa Indah
Moeliono, Anton M., dkk. 1980. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta : Balai Pustaka
Moeliono, Anton M., dkk. 1984. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta : Balai Pustaka
Moeliono, Anton M., dkk. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Parera, Jos Daniel. 2000. Keberbahasaan dan Kepenulisanan Bahasa Indonesia untuk Penulis dan Penyunting Buku Pelajaran. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional
Razak, Abdul. 1985. Kalimat Efektif : Struktur, Gaya, dan Variasi. Jakarta : Gramedia
Tjiptadi, Bambang, dan St. Negoro. 1983. Rangkuman Tata Bahasa Indonesia. Jakarta : Yudhistira

Wahai pembaca yang budiman,
Sedikit pun tak terbersit dalam pikiranku agar ada pembenaran dari anda.
Hanya satu pintaku,
kirimkanlah pembetulan kepadaku
agar tulisanku semakin bercahaya meski bersahaya.
Silakan layangkan saran dan kritik anda melalui surel : syamsulhendry@gmail.com

Nomenklatur Sekolah se-Kecamatan Singkep Selatan


Sumber : http://referensi.data.kemdikbud.go.id/index11.php?kode=310407&level=3

Nomenklatur Sekolah se-Kecamatan Singkep Pesisir


Sumber : http://referensi.data.kemdikbud.go.id/index11.php?kode=310406&level=3

Nomenklatur Sekolah se-Kecamatan Singkep