# Mengajar tanpa menggurui # Memberi nasehat tanpa merasa lebih hebat #

Rabu, 11 Mei 2016

Bom di Ujung Tanjung


Sayup terdengar alunan tembang lawas, “ … dermaga saksi bisu … .“ Seorang perjaka tercenung lunglai di ujung bom Dabo Singkep. Orang-orang sibuk dengan kail, pancing, dan jaring berhanyut, dia hanya tercenung seumpama tak bermaya. Sekejap kemudian dia memandangi ponselnya tak berkedip. Sesekali menunduk, sesekali menerawang, sesekali melenguh, sesekali berdecak. Entah apa pasalnya sehingga dia semacam tak tentu arah.  
Kasihan aku melihatnya. Khawatir pula dia tercampak di ujung bom itu. Kusapa dia. Tak lama kemudian kami akrab selayaknya sahabat. Kami mulai bercakap-cakap tentang isu-isu politik, ekonomi, dan pendidikan negeri ini. Pelan-pelan, lambat laun, pembicaraan kami beralih. Kuajak dia bercerita tentang duka dan luka lara. Tak sadar lalu dia bercerita. Apakah telah terhapus luka dengan air mata?
Bermula kisahnya seorang perjaka bersahabat dengan seorang adik tingkatnya yang berbeda asal muasal. Sang perjaka berasal dari Dabo Singkep sedangkan sang perawan berasal dari suatu tanjung. Sang perjaka itu diketahui bernama Ian Alfian Marge dan sang perawan bernama Anti Rianti Susanti Mahrez.
Mereka memadu kasih asmara. Sampai kini, setelah berpisah sekian lama, mereka masih berkasih mesra meski hanya via BBM, FB, WA, tweeter, atau semacam itulah.
Dengan kerinduan yang meledak-ledak, Ian pergi mengunjungi sang kekasih. Lima kabupaten disinggahinya, lebih dari dua puluh kecamatan ditempuhnya, tak terhitung pula desa yang telah dilaluinya. Berpuluh-puluh laut, selat, dan sungai dilayarinya. Berpuluh-puluh pulau telah pula ditengoknya. Darat laut bukanlah halangan. Ian bertekad untuk menemui gadis pujaan hatinya.
Tibalah Ian di bom tanjung itu. Lama Ian terjengkit terjenguk mencari rupa sang kekasih. Dia berharap sang kekasih menunggu di situ. Penuh harap, dengan sabar dia menunggu sang kekasih. Apa daya ? Sang kekasih tak kunjung tiba. Tak kuasa Ian membujuk rindu nan menggebu-gebu.
Dua jam sudah Ian menunggu di situ. Kekasih pujaan hati tak kunjung tiba. Hilang sudah kesabarannya. Dengan sedikit taktik diplomatis, tanya sana tanya sini. Akhirnya, dia menemukan rumah gadis itu.
Sudah tiga jam dia mencari. Ketuk pintu sekali dua. Ketuk pintu lagi sekali dua. Tak juga ada sahutan di sana.
Hampir hilang asa. Sekali lagi dia mengetuk pintu rumah sang gadis. Tidak ada juga suara sahutan di sana. Mentari sudah di ambang petang. Sekejap lagi malam menjelang. Dia pulang dengan hampa.
Dia bergegas kembali ke bom di tanjung itu. Syukurlah, dia mendapatkan penginapan di sana.
Malam pun tiba. Dia kembali berkemas dan bergegas menuju rumah gadis itu lagi. Tak sabar ingin bertemu. Berkecamuk rasa dalam hati. Terbersit tanya di kepala, adakah dia setia ?
Ian tiba di rumah sang pujaan. Ternyata si dia tidak sedang di rumah. Si dia sedang beraktivitas hingga pukul 22.00 nanti.
Ian segera meluncur ke lokasi kegiatan si dia. Tak lebih dari 3 menit mereka bercerita. Ian kembali ke bom di tanjung itu.
Maksud hati hendak melelapkan mata. Penat. Namun, apa daya. Mata tak lena. Terbayang si dia yang mempesona. Putar ke kanan, tak kena. Putar ke kiri pun tak kena. Tak sadar pukul berapa dia terlelap dalam senyap.
Pagi-pagi benar Ian sudah bersiap-siap hendak balik ke kampung halaman. Penuh kehampaan. Masih ada secercah harapan. “Kiranya pagi ini dia akan melambaikan tangan mengantar keberangkatanku,” hati Ian berkata.
Di ujung bom tanjung itu, Ian terduduk, terdiam. Menanti sang kekasih melambai dari kejauhan.
Sayup terdengar di dalam kapal itu, suara nyanyian sebuah tembang lawas, “Saat kita berpisah kau pegang erat tanganku. Sepertinya tak merelakan kepergianku ‘tuk meninggalkanmu. Dermaga saksi bisu. … . Lambaian tanganmu masih kuingat selalu. Itu yang terakhir kumelihat dirimu. … .”
Lama menunggu. Kapal berlepas tali untuk segera berangkat. Tak juga tampak rupa sang kekasih. Dipandanginya bom itu dari ujung sampai ke pangkal berulang kali.
Tak lama kemudian, kapal pun berangkat. Bom semakin kecil tampak dari kejauhan. Tidak kunjung nampak juga sang pujaan hati. Aduh… begitu hampanya perasaan.
“Lebih bagus jelangkung lagi, datang dijemput. Nah …! Ini, datang tak dijemput, pulang tak diantar.” gumamnya dalam hati.
“Oleh karena hati sudah terpikat, aku tetap mencintaimu.” batin Ian menggumam.
                                                                                                                                                    
Saya mohon maaf bila tiba-tiba terdapat kesamaan nama dan kisah ini pada diri anda.
Sedikit pun tak terbersit dalam pikiran saya agar ada pembenaran dari anda, wahai pembaca yang budiman.
Hanya satu pintaku, kirimkanlah pembetulan kepadaku agar tulisanku semakin bercahaya meski bersahaya.
Silakan layangkan saran dan kritik anda melalui surel : syamsulhendry@gmail.com

1 komentar: