# Mengajar tanpa menggurui # Memberi nasehat tanpa merasa lebih hebat #

Selasa, 05 April 2011

Sejarah Museum Linggam Cahaya


Catatan Kecil
Awal Pembangunan
Museum Mini Lingga

oleh : MUHAMMAD ISHAK THAIB

Bermula dari tanda-tanda masih adanya sisa benda-benda budaya dan bersejarah baik yang masih tersimpan di rumah-rumah penduduk maupun adanya penawaran dari masyarakat terutama dari para pengumpul “barang-barang antik” kepada penulis.

Kemudian tekad untuk mengumpulkan benda-benda peninggalan semakin menguat, tatkala banyak tersiar kabar bahwa benda-benda peninggalan yang ada di Daik sudah banyak “terlepas” melalui bisnis tembaga besar-besaran dan perburuan barang antik yang merajalela beberapa tahun silam bahkan masih terjadi saat ini.

Memang permasalahan telah “raibnya” benda budaya dan bersejarah di Daik, sangat panjang untuk didiskusikan karena keadaan masyarakat yang terhimpit ekonomi tidak akan mampu bertahan dengan saran dan anjuran, sedangkan di sisi lain telah tercipta pula peluang usaha bisnis antik yang selalu datang dan merayu.

Berdasarkan “tak pernah terlambat untuk berbuat, bertindak cepat supaya selamat”, pada bulan Agustus 2001 penulis mencoba mengumpulkan setiap benda-benda budaya atau bersejarah yang ditawarkan sebatas kemampuan dan sejak inilah penulis baru mengenal lebih mendalam nama-nama benda budaya dan bersejarah seperti paha, senjong, embat-embat, kain telepok, dan lain-lain. Yang kesemuanya banyak dan pernah diproduksi di Daik. Selanjutnya penulis berusaha berkonsultasi dengan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Riau ( Bapak Ansar Ahmad, S.E. ) dan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Riau ( Bapak Drs. Robert Iwan Loriaux ) bahwa dalam rangka penyelamatan benda-benda peninggalan budaya / sejarah dan mendukung program wisata Kabupaten Kepulauan Riau perlu dibangun sebuah museum di Daik Bunda Tanah Melayu. Usulan ini tidak sekali-kali bermaksud mengesampingkan Pemerintah Kecamatan Lingga sebelumnya yang “mungkin” telah menggagas ke arah pemikiran yang sama.

Guna meyakinkan bagi para pembuat kebijakan, pada hari Senin, 1 Oktober 2001, telah siap diupayakan pemajangan benda-benda budaya di rumah kediaman Bapak Said Abdul Hamid jalan Robat Daik kehadapan Bapak Bupati Kepulauan Riau ( Bapak H. Huzrin Hood ), Wakil Bupati Kepulauan Riau (Bapak Ansar Ahmad, S.E.), Anggota DPRD, Kepala Dinas Instansi Kabupaten Kepulauan Riau yang waktu itu berkunjung ke Daik bersempena dengan acara pembukaan KNPI CUP Wilayah Singkep, Lingga, dan Senayang. Namun sayang, waktu jualah yang membatasi waktu itu sehingga niat tersebut belum dapat terkabulkan.

Kegagalan itu bukan harus menjadi bencana dan putus asa karena pada tanggal 29 Oktober 2001 penulis mencoba mengajak Bapak Wakil Bupati ( Bapak Ansar Ahmad, S.E. ) dan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Riau (Bapak Drs. Robert Iwan Loriaux) yang ketika itu mengunjungi Kecamatan Lingga dalam rangka penutupan KNPI CUP, untuk bersilaturrahmi ke rumah kediaman Bapak Said Abdul Hamid guna melihat-lihat koleksi benda-benda budaya dan bersejarah yang dikumpul sejak tahun 1963.

Dari kunjungan tersebut ternyata mendapat tanggapan yang sangat positif, baik dari Wakil Bupati maupun Kepala Dinas Pariwisata. Salah satu kalimat yang diucapkan Bapak Wakil Bupati saat itu kepada penulis adalah, “Saya tak sangka ada benda-benda seperti itu di Daik, padahal saya sudah beberapa kali pergi ke Daik.”

Fokus awal pembangunan museum semula ditujukan pada rumah Bapak Said Abdul Hamid atau di sekitar kediamannya. Namun, pada saat itu waktu sangat terbatas dan belum adanya titik temu kesepakatan, sementara jadwal pembangunan semakin mendesak untuk segera membuat keputusan tentang persiapan lokasi pembangunan museum.

Memahami keadaan tersebut pada Sabtu, 27 April 2002, dilaksanakan pertemuan dengan tokoh masyarakat dan LSM di kediaman Camat Lingga, dihadiri Bapak R. Ruslan, Syaiful Anwar Madjid, Ismail Ahmad, Hasan Basri Hamzah, M. Amin Komeng, E. Arsyad, Sulaiman Ahmad, Abdullah H.M.Y., R.M. Amin, H. A. Gani A.R., Huzuan H.M. Ali, Abdullah Hamid, Khairul Basyar, dan Agus Karyadi ( Lurah Daik ) telah menghasilkan beberapa pilihan lokasi pembangunan yaitu :

1.      Di rumah Pak Datuk ( Rumah Almarhum E. Muhammad bin E. Kahar )
2.      Samping Kantor Camat Lingga ( Lapangan Hang Tuah )
3.      Di jalan menuju Istana Damnah ( pada tanah Bapak Sulaiman Atan )

Alternatif ketiga merupakan usulan dari Bapak Ismail Ahmad ( Mantan Lurah Daik ) yang mengatakan bahwa ada masyarakat ( Bapak Sulaiman Atan ) yang bersedia menghibahkan tanah miliknya untuk pembangunan museum dengan harapan kepada pemerintah, kiranya kepada pemberi hibah dan / atau keluarganya dapat dibantu untuk bekerja di museum ( penjaga museum ). Usulan ini juga mendapat tanggapan yang baik dan hampir dimupakati oleh seluruh peserta pertemuan.

Waktu terus berjalan dan mendesak sementara pilihan pertama belum ada tanda-tanda dapat direalisasikan, sedangkan pilihan kedua kurang disepakati mengingat terlalu dekat dengan kantor camat dan lahan pun sangat terbatas sehingga keputusan pembangunan museum di jalan menuju Istana Damnah pada tanah hibah Bapak Sulaiman Atan seluas 2.600 m2 yang berjarak sekitar 10 m dari makam Yamtuan Muda X Raja Muhammad Yusuf.

Pembangunan museum dibangun pada bulan Agustus 2002 melalui proyek dari Dinas Kebudayaan, Seni, dan Pariwisata Provinsi Riau Tahun Anggaran 2002 dengan dana sekitar Rp 412.000.000,00 oleh pelaksana / kontraktor CV Putri Permata Tanjungpinang, sedangkan rumah penjaga museum dibangun pada tahun yang sama melalui proyek dari Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Riau dengan jumlah dana sebesar Rp 165.674.000,00.
Setelah selesai dibangun diadakan doa selamat pada hari Rabu, 7 Mei 2003 yang dihadiri lebih kurang 50 orang dengan sajian hidangan nasi dagang serta disejalankan penyerahan Surat Keputusan Penjaga Museum kepada Sulaiman Atan dan Penjaga Replika Istana Damnah kepada Ramlan Hitam. Kesempatan ini juga diadakan penyerahan pertama sumbangan kepada museum sebagai langkah motivasi dan ”maksud tersembunyi” kepada masyarakat untuk sama-sama ikut peduli menambah koleksi di museum. Sumbangan pertama berasal dari penulis ( Camat ) berupa 1 buah kukur, kemudian diikuti Ketua PKK Kecamatan Lingga, Ibu Noni Stiawati ( istri penulis ), yaitu 1 buah tempat bara, dan Zahari ( staf kantor camat ) berupa 1 buah tempayan. Penulis sangat yakin dengan semangat dan budaya Melayu yang sangat melekat pada masyarakat Lingga, sumbangan-sumbangan tersebut akan segera menyusul dan juga menjadi catatan sejarah bagi keberadaan museum ini.

Untuk mengisi museum, pada hari Sabtu, 14 Juni 2003, telah diserahkan seluruh benda-benda budaya dan bersejarah yang telah dinilai sebelumnya oleh Tim Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional ( Pimpinan : Drs. Sindu Galba ) dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau yang datang ke Daik pada bulan November 2002 melalui pengadaan Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Riau TA 2002 ke Museum Daik yang sebelumnya dititipkan sementara di kediaman Rumah Dinas Camat Lingga. Sedangkan foto-foto pembesar kesultanan dan keadaan ”tempo doeloe” telah diserahkan lebih awal melalui Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Riau.

”Pembangunan tidak pernah berhenti dan segala uapaya terus dicari”. Begitulah semangat untuk mewujudkan suatu harapan. Walapun sebuah museum sudah didirikan  sebagian kecil benda-benda budaya dan bersejarah telah diletakkan, tetapi himbauan dan usulan tak pernah surut. Anjuran ke masyarakat pada setiap kesempatan terus digaungkan, baik melalui maklumat, surat, maupun rapat supaya masyarakat berminat dan sepakat meletakkan benda-benda budaya dan bersejarah di museum agar lebih selamat, terawat, dan bermanfaat.

Begitu juga  dengan usulan melengkapi peralatan museum agar tertata, terpelihara, dan lebih aman terus dilakukan. Termasuk juga pengaturan pertamanan, jalan, penghijauan, dan seterusnya harus dipikirkan. Tak lupa juga mencari nama museum yang patut untuk diberi.

Kini museum telah ada, tidak tahu apakah ia sebagai ”penyelamat”, banyak manfaat, tempat istirahat, rumah yang banyak diminat, atau sebagai tanda Daik pernah ”hebat”. Adapun pertimbangannya yang paling penting menurut hemat penulis, kita harus berbuat untuk kemajuan Lingga. Bak sebuah pantun :

Gunung Daik bercabang tige
Berada di Bunde Tanah Melayu
Kite sepakat membangun Lingge
Mewujudkan masyarakat sejahtere dan maju

Paling tidak museum ini dapat memberikan pengetahuan yang tak ternilai kepada setiap generasi atau memberikan pengetahuan sejarah karena sejarah adalah fakta yang bermakna

Terima kasih kepada Bapak Gubernur Riau dan Kepala Dinas Kebudayaan, Seni, dan Pariwisata Provinsi Riau, Bapak Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Riau. Terlebih lagi kepada masyarakat Kecamatan Lingga dan warga Lingga di perantauan yang telah memberikan dukungan penuh terhadap pembangunan museum. Mudah-mudahan upaya-upaya revitalisasi, relokasi, peduli, dan entah apa lagi terhadap potensi Lingga tidak berhenti sampai di sini. Majulah Melayuku, Majulah Museumku, semuanya sangat tergantung pada kemauan dan kerja keras kita.

Daik, 16 Juli 2003

Penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar