# Mengajar tanpa menggurui # Memberi nasehat tanpa merasa lebih hebat #

Gurindam 12


BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah
Krisis multidimensi telah mengakibatkan bangsa Indonesia menjadi semakin suram dan tidak menentu arahnya. Mulai dari krisis ekonomi sampai krisis moral semakin hari semakin mengikis pilar-pilar kehidupan bangsa Indonesia seakan tidak akan pernah berhenti. Dalam permasalahan moral terjadi fenomena (hal-hal yang dapat disajikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam); gejala; fakta; kenyataan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 315) paradoks (pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran ; bersifat paradoks dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 828) yang semestinya tidak terjadi. Hal ini agaknya disebabkan bangsa Indonesia yang  diklaim (klaim : pernyataan tentang suatu fakta atau kebenaran sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 574) sebagai negeri yang mayoritas beragama Islam justru memiliki perilaku dan moral yang tidak mencerminkan nilai-nilai agama Islam.
Krisis multidimensi yang telah menggasak bangsa Indonesia terjadi akibat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam ini telah berjalan jauh dari porosnya. Ada oknum pejabat dan ada oknum rakyat, ada oknum jenderal dan ada oknum kopral, beberapa oknum bangsa Indonesia telah bertindak di luar nilai dan budaya leluhurnya. Sekalipun sesungguhnya Indonesia sudah mengembangkan pendidikan nilai atau pendidikan budi pekerti – dulu disebut pendidikan humaniora – sejak 1970-an.
Meskipun pendidikan humaniora sebagai suatu “tema” pendidikan yang tidak populer lagi pada saat ini, secara substansial misi pendidikan humaniora tetap mendapatkan perhatian dalam pendidikan nasional. Dalam lima tahun terakhir ini, Departemen Pendidikan Nasional telah banyak melahirkan buku-buku yang secara substansial mengandung misi pendidikan humaniora tersebut. Sebut saja buku Pedoman Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan Siswa SLTP/SMU/SMK, buku Bahan Dasar Peningkatan Wawasan Keagamaan (Islam) Guru Bukan Pendidikan Agama SLTP dan SLTA, buku Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan melalui Kerjasama Sekolah dengan Orang Tua dan Masyarakat, buku Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan melalui Kegiatan Ekstrakurikuler, buku Penciptaan Suasana Sekolah yang Kondusif bagi Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan Siswa, dan Naskah Keterkaitan Sebelas Mata Pelajaran di SLTP dengan Imtaq. Semua buku tersebut diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional dalam rangka Integrasi Pendidikan Agama Islam ke dalam berbagai mata pelajaran.
Buku lainnya adalah Pedoman Umum Pendidikan Budi Pekerti pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah yang merupakan Buku I, buku Pedoman Penciptaan Suasana Sekolah yang Kondusif dalam rangka Pembudayaan Budi Pekerti Luhur bagi Warga Sekolah yang merupakan Buku II, dan buku Model Pengintegrasian Budi Pekerti ke dalam Sebelas Mata Pelajaran. Semua buku tersebut diterbitkan oleh Bagian Proyek Pendidikan Imtaq, Kewarganegaraan, dan Budi Pekerti, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004.
Nilai ditanamkan melalui sumber yang berbeda. Sumber itu dapat berupa keluarga, masyarakat, agama, media massa, tradisi, atau kelompok sebaya. Dengan mengetahui sumber dan sarana yang menanamkan nilai, kita dapat memahami kekuatan nilai pada pribadi seseorang sekaligus kita dapat merancang sarana untuk dapat mengubahnya.
Ketika nilai sudah dihubungkan dengan suatu objek atau dipersepsi dari suatu sudut pandang tertentu, makna yang terkandung di dalamnya memiliki tafsiran yang bermacam-macam. Ada nilai menurut agama, pendidikan, ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, antropologi, politik, sains. Tentu saja, nilai menurut masing-masing sudut pandang tidaklah sama. Kalaupun mungkin sama, tentu saja masih ada terdapat perbedaan-perbedaan meskipun hanya sedikit.
Seorang raja Melayu yang bernama Raja Ali Haji adalah tokoh terkenal dan dihormati dalam sejarah kehidupannya. Pada tahun 1868, utusan Abu Bakar (Temenggung Abu Bakar merupakan salah seorang Temenggung Kerajaan Riau Lingga yang berkedudukan di Pahang), dikirimkan menemui Raja Ali Haji sebab dia “seorang raja yang tua lagi berilmu”. Raja Ali Haji boleh dikatakan mewakili golongan elit Riau. Dia keturunan Bugis-Melayu dan cucu Raja Haji (syahid 1784). Beberapa kali berkunjung ke Pulau Pinang, Timur Tengah, Betawi, dan Singapura bersama ayahnya. Dia mendapat didikan yang baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Arab dan bercampur gaul dengan orang pintar dan sarjana-sarjana Belanda. Pada akhir abad ke-19 dia dijadikan sebagai contoh teladan masyarakat. (Zahrah Ibrahim (penyunting), Tradisi Johor – Riau : Kertas Kerja Hari Sastera 1983, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1987, h. 117)
Raja Ali Haji adalah sarjana bahasa Arab dan dia tentu mengetahui bahwa sejarah dianggap sebagai pelajaran ilmiah oleh ulama. Raja Ali Haji mengajar bahasa Arab, Ushuluddin, fiqh, tasawwuf. Salah seorang muridnya ialah saudara sepupunya yang bernama Raja Abdullah (kemudian menjadi Yamtuan Muda), dalam Zahrah Ibrahim. Dalam setiap karyanya tampak sekali pemikiran-pemikirannya di bidang keagamaan. Hal ini disebabkan karena Raja Ali Haji, menurut Hasan Junus, “sebagai ulama-pengarang dan pengarang-ulama, sumber rujukannya al-Quran dan al-Hadist”. ( Fakhrunnas M.A. Jabbar, Catatan Malam Raja Ali Haji : Mengarang dengan Rujukan Al-Quran dan Hadist, Berita Buana, 21 Mei 1985, dikutip dari Alimuddin Hassan Palawa, Sejarah Pentadbiran dan Persuratan Melayu Riau : Meneroka Tradisi Intelektual “Mazhab Penyegat”, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2002, h. 26 )
Raja Ali Haji adalah pengarang yang produktif. Kebanyakan karyanya berunsur didaktis. Dia memikul tanggung jawab atas pemeliharaan dan penegakan adab dan adat dalam masyarakatnya dan bersikap bahwa orang-orang besar itu orang yang memeliharakan adab dan adat. Karya-karyanya sangat sarat dengan pesan-pesan moral-agama.
Gurindam Dua Belas yang termasyhur itu memiliki nilai religius yang tidak mungkin dipungkiri. Untuk membuktikan hal tersebut, penulis berpikir bahwa perlu dilakukan sebuah penelitian terhadap nilai-nilai religius (nilai-nilai moral-agama) yang terdapat dalam Gurindam Dua Belas dengan judul “Nilai-nilai Religius dalam Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas”.

2.      Alasan Pemilihan Judul
Penulis memilih judul Nilai-nilai Religius dalam Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas karena penulis meyakini bahwa Raja Ali Haji adalah penulis yang ulama dan ulama yang penulis. Dalam setiap karyanya tampak sekali pemikiran-pemikirannya di bidang keagamaan. Hal ini disebabkan karena Raja Ali Haji, menurut Hasan Junus, “sebagai ulama-pengarang dan pengarang-ulama, sumber rujukannya al-Quran dan al-Hadist” dalam Alimuddin. Karya-karyanya sangat sarat dengan pesan-pesan moral-agama.
Gurindam Dua Belas yang termasyhur itu tentu memiliki nilai-nilai religius. Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji sangat luas dikenal terutama karena senantiasa ada dalam buku-buku pelajaran kesusastraan Indonesia. Isi gurindam yang terdiri dari dua belas pasal ini apabila dibuatkan bandingannya sama seperti air sulingan yang menghasilkan saripati dari keluasan petunjuk dan nasihat yang sesuai dengan jalan sufisme. Apabila karya-karya Raja Ali Haji yang keluasan dan keragamannya mencakup berbagai bidang seperti bidang bahasa, sejarah, agama, dan hukum, dan sebagainya disandingkan dan dibandingkan maka akan terlihat rangkaian benang merah yang mempersatukan satu karya dengan karya lainnya.
Hal ini lebih jelas senantiasa dapat kita jumpai pada karya-karya Raja Ali Haji yang lain. Terutama apabila karya-karya tersebut disandingkan dan dibandingkan serta dikaitkan dengan Gurindam Dua Belas dengan karya-karyanya di bidang hukum dan pemerintahan seperti Tsamarat al-Muhimmah dan Muqaddima Fi Intizam serta karya-karya lainnya seperti keterangan yang bersifat sufistik dalam Kitab Pengetahuan Bahasa maka akan timbul gambaran bahwa karya terkenal ini merupakan padatan dalam bentuk puisi dan wacana sufisme dari hampir semua karya-karya Raja Ali Haji. ( Hasan Junus, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia, Pemerintah Kota Tanjungpinang, 2004, h. 83 )
Karya ini dapat digolongkan dalam syi’r al-irsyadi atau puisi didaktik karena berisikan nasihat dan petunjuk untuk kehidupan yang diridhai Allah dengan sandaran tersirat ilmu tasawuf. Dalam gurindam itu dapat dijumpai terjemahan kreatif sebuah hadis yang paling luas dikenal di kalangan sufisme yaitu Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu menjadi “Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal Tuhan yang bahri” sebagaimana terdapat pada Gurindam Dua Belas pasal yang pertama. Atau masih dalam pasal yang pertama terdapat pula pelajaran dasar ilmu tasawuf yaitu “Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang yang makrifat”.
Apakah yang empat itu ? Ada tafsiran mengatakan bahwa yang empat itu adalah Allah, diri sendiri, dunia, dan akhirat. Akan tetapi, berdasarkan buku-buku panduan ilmu tasawuf akan lebih tepat kiranya apabila makna yang empat itu adalah syariat, tarikat, hakikat, dan ma’rifat.
Gurindam Dua Belas dapat dipandang sebagai sari dari dua karya Raja Ali Haji yang dikarangnya setelah itu, yaitu Muqaddima Fi Intizam dan Tsamarat al-Muhimmah. Dalam dua karya yang disebut terakhir seluruh isi gurindam yang tersurat dan yang tersirat dipaparkan dengan rinci dan meluas dan dengan menunjuk kepada sumber rujukan. (Hasan Junus, Raja Ali Haji : Budayawan di Gerbang Abad XX, Pemerintah Kota Tanjungpinang, 2002, h. 170)
Tsamarat al-Muhimmah selain berisi tentang hukum tata negara, juga berisi nasehat dalam bidang tasawuf. Karya ini mempertegas unsur-unsur tasawuf yang ada dalam Gurindam Dua Belas. Maka tidak aneh kalau kemudian Abdul Hadi W.M. mengategorikan Raja Ali Haji sebagai sufi-penyair. (Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985, h. 296, dikutip dari Alimuddin Hassan, Proyek Proposal : Persuratan Intelektual Melayu-Riau : Meneroka Pemikiran Politik Raja Ali Haji di tengah Pemikiran Agama dan Budaya-Politik Islam Melayu, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003, h. 8)
Ketertarikan Raja Ali Haji dengan tasawuf, khususnya ajaran Imam al-Ghazali, bukan hanya nampak dalam Tuhfat al-Nafis, tetapi juga dalam Gurindam Dua Belas, Bustan al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa. (Abdul Hadi W.M., Raja Ali Haji : Ulil Albab di Persimpangan Zaman, lampiran dari Hasan Junus, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia, Pemerintah Kota Tanjungpinang, 2004, h. 292)
Isi Gurindam Dua Belas menggambarkan sebuah tarikat. Konsep tasawuf dalam Gurindam Dua Belas sama dengan tasawuf Al-Ghazali. Akhirnya dapat dikatakan bahwa Gurindam Dua Belas adalah sebuah sastra sufi. Gurindam Dua Belas berisi ajaran tasawuf untuk mencapai tauhid sejati. Seseorang dapat mencapai makrifat jika mengenal Allah, diri, dunia, dan akhirat. Pemikiran tasawuf Raja Ali Haji termasuk dalam tasawuf transendentalis (transendental : menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian; sukar dipahami; gaib; abstrak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 1208). Melalui Gurindam Dua Belas, pengarang ingin menyampaikan ajaran tasawuf yang bersumber dari ajaran agama yang benar pada pembaca dan penguasa. Para pembaca dan penguasa diharapkan dapat menghayati diri dan hidupnya dalam menuju kehidupan akhirat. Akhirat hanya dapat dipahami oleh orang yang hatinya terbuka pada kebenaran ilahi.
Pada masa sekarang, ajaran tasawuf dalam Gurindam Dua Belas dapat berarti ajaran moral sebagai sarana pembebasan manusia dari belenggu nafsu dirinya. Manusia modern pada umumnya terbelenggu oleh kekuasaan dirinya. Mereka lupa bahwa masih ada kekuatan lain, yang Mahadahsyat, yaitu Tuhan. Ajaran moral ini dapat bermanfaat bagi semua umat manusia yang hidup di abad globalisasi. (Ahmad Badrun, Gurindam Dua Belas : Sebuah Pertemuan dengan Raja Ali Haji, lampiran, op.cit., h. 406 – 407)
3.      Penegasan Istilah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, perlu ditegaskan terhadap istilah dari judul penelitian ini, yakni :
Nilai-nilai Religius adalah nilai-nilai moral-agama, yaitu nilai-nilai kebaikan yang ditinjau dari segi moral dan segi agama. Nilai moral-agama merupakan nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist.
Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas adalah Pasal Ketiga dari Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang terdiri dari 12 pasal.

4.      Permasalahan
a.      Pembeberan Masalah
Raja Ali Haji memang tokoh kebanggaan orang Melayu, kebanggaan bangsa Indonesia, karena ia dikenal di berbagai Negara ASEAN, khususnya Malaysia, Singapore, Brunai Darussalam, Thailand Selatan, masyarakat pulau Mindanau Philipina Selatan, dan bahkan naskah gurindam 12 dibawa seorang ulama besar ke Afrika Selatan.
Nama besar Raja Ali Haji sebagai peletak dasar dan sekaligus pengawal bahasa Melayu Riau yang kemudian menjadi bahasa Indonesia telah diakui sejumlah pakar bahasa, baik dalam maupun luar negeri. Karya monumental itu, yaitu kitab Pengetahuan Bahasa merupakan kamus monolingual (hanya mengenal atau mampu berbicara dalam satu bahasa) yang pada bagian awalnya membicarakan tata bahasa. Bustanul Al Katbibin menguraikan gramatika, fonologi, dan sistem ejaan bahasa Melayu, dan Gurindam Dua Belas sebuah karya sastra yang dapat menjadi pegangan rohani masyarakat hingga hari ini.
Raja Ali Haji adalah sosok dan figur yang sangat gigih dan teguh dalam perjuangan kesastraan Melayu Riau yang bernafaskan religi keislaman yang kemudian membahana dalam kesusastraan bangsa Indonesia dan menjadi sendi-sendi dasar bahasa Indonesia sebagai bahasa  pemersatu dan perekat bangsa.
Abdul Hadi W.M., dalam tulisannya Raja Ali Haji : Ulil Albab di Persimpangan Jalan, dengan jelas dan tegas mengatakan, Raja Ali Haji seorang cendekiawan yang menguasai banyak bidang keilmuan seperti sejarah, ilmu bahasa, undang-undang, ilmu kalam, tasawuf, politik, dan ketatanegaraan. Tentang bahasa, ditegas Raja Ali Haji bahwa kerusakan bahasa merupakan pertanda rusaknya kebudayaaan. (Hasan Junus, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia, Pemerintah Kota Tanjungpinang, 2004, h. 220)
Guna lebih menonjolkan Raja Ali Haji sebagai pejuang bahasa, Ahmad Badrun mengkaji khusus Gurindam Dua Belas dengan judul Gurindam Dua Belas : Sebuah Pertemuan dengan Raja Ali Haji. Bahasa Gurindam Dua Belas lebih mudah dipahami dan sama dengan bahasa Indonesia modern padahal karya itu diciptakan jauh sebelum diikrarkan Sumpah Pemuda 1928. Kedua jarak penciptaan Gurindam Dua Belas dengan kehidupan kita sekarang lebih kurang 160 tahun. Gurindam Dua Belas ini adalah salah satu karya puisi Raja Ali Haji yang diciptakan dengan sungguh-sungguh yang memperlihatkan kepeloporan dalam meningkatkan kualitas bahasa Melayu menjadi bahasa modern. Kepeloporan itu merupakan salah satu sumbangan yang bernilai tinggi dalam menumbuhkembangkan Bahasa Melayu yang kemudian menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia dalam Hasan Junus, ibid., h. 223.
Agak ironis memang, orang banyak tahu siapa Raja Ali Haji ketika ia dinisbahkan pada Gurindam Dua Belas. Akan tetapi, sedikit orang yang tahu banyak siapa sesungguhnya tokoh yang satu ini.
Mengingat hal-hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji sebagaimana banyak ketertarikan Raja Ali Haji untuk membukukan pengalaman dan pengetahuan keislamannya ke dalam berbagai tulisannya.

b.      Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya tema yang akan dikaji, diperlukan batasan-batasan masalah. Dalam kajian ini penulis hanya membahas dan mengkaji nilai-nilai religius yang terdapat dalam Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Penulis hanya mengkaji Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas. Kalaupun nantinya penulis mengungkap karya-karya Raja Ali Haji yang lain, itu hanyalah sebagai pengantar untuk melengkapi dan memperkuat keabsahan hasil penelitian ini.
Pengertian nilai religius dalam penelitian ini haruslah diartikan sebagai kelompok kata. Ketika kita memisahkan kata nilai dengan kata religius, kita bisa menafsirkan dua kata ini sebagai kata yang tidak mendunia. Artinya, kata itu tidak bisa dicampursatukan. Nilai religius dalam penelitian ini adalah nilai-nilai kebaikan, kebenaran, dan keindahan yang dipandang dari sudut pandang agama.
Penulis akan meneliti :
Pertama, nilai religius yang bagaimana saja yang terkandung dalam Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas,
Kedua, apakah Raja Ali Haji menulis Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas berdasarkan Al-Quran atau tidak. Dalam hal ini penulis hanya meneliti ada tidaknya ayat-ayat Al-Quran yang tersirat dalam Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas dengan cara mencantumkan ayat-ayat Al-Quran yang senada dengan bait-bait dalam Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas,
Ketiga, selain itu, penulis juga meneliti hubungan Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas dengan hadist Rasulullah s.a.w. Dalam hal ini penulis hanya meneliti ada tidaknya hubungan antara Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas dengan Al-Hadist dengan cara mencantumkan sabda-sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang senada dengan bait-bait dalam Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas.

c.       Perumusan Masalah
Mengingat luasnya tema yang akan dikaji, diperlukan rumusan-rumusan masalah. Dalam mengkaji nilai religius yang terdapat dalam Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang tersohor itu, penulis berusaha mengungkapkan nilai-nilai religius (nilai moral-agama) yang terdapat hanya dalam Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas.
Penelitian ini diharapkan dapat menjawab beberapa masalah pokok dengan rumusan sebagai berikut :
C     Pertama, nilai-nilai religius yang bagaimana saja yang terkandung dalam Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas?
C     Kedua, apakah Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas ditulis Raja Ali Haji berdasarkan al-Quran ?
C     Ketiga, apakah Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas ditulis Raja Ali Haji berdasarkan al-Hadist ?

5.      Tujuan dan Manfaat Penelitian
Telaah terhadap Gurindam Dua Belas ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.      untuk memperlihatkan bahwa Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas memiliki nilai religius yang sangat tinggi, penulis menguraikan dan mempertautkan isi gurindam dengan nilai-nilai religius (nilai moral-agama) yang nantinya akan dapat menunjukkan benar-salah (secara intelektual), baik-buruk (secara etika), dan molek-takmolek (secara estetika / praktika).
2.      untuk membuktikan bahwa Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas ditulis berdasarkan Al-Quran, penulis menyalin apa yang termaktub dalam al-Quran yang maknanya berpadan dengan isi Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas itu sendiri.
3.      untuk membuktikan bahwa Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas ditulis berdasarkan Al-Hadist, penulis menyalin apa yang telah disabdakan Rasulullah dalam al-Hadist yang isinya berpadan dengan isi Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas itu sendiri.
Setelah mendapatkan informasi tentang ada tidaknya nilai-nilai religius dalam Gurindam Dua Belas, ada tidaknya hubungan Gurindam Dua Belas dengan Al-Quran dan Al-Hadist, penulis berharap kiranya telaah ini dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Mifthahul ‘Ulum Tanjungpinang. Penulis pun berharap agar telaah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis.
Semoga telaah ini nantinya dapat mengurangi faktor takberadab dalam seluruh lapisan masyarakat yang pada akhirnya akan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, berakhlak, dan berdaya.

6.      Kerangka Teoritis
Nilai memiliki beragam definisi bergantung pada cara pandang seseorang dalam memahami nilai. Nilai ditanamkan melalui sumber yang berbeda. Sumber itu dapat berupa keluarga, masyarakat, agama, media massa, tradisi, atau kelompok sebaya. Dengan mengetahui sumber dan sarana yang menanamkan nilai, kita dapat memahami kekuatan nilai pada pribadi seseorang sekaligus kita dapat merancang sarana untuk dapat mengubahnya.
Ketika nilai sudah dihubungkan dengan suatu objek atau dipersepsi dari suatu sudut pandang tertentu, makna yang terkandung di dalamnya memiliki tafsiran yang bermacam-macam. Ada nilai menurut agama, pendidikan, ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, antropologi, politik, sains. Tentu saja, nilai menurut masing-masing sudut pandang tidaklah sama. Kalaupun mungkin sama, tentu saja masih terdapat perbedaan-perbedaan meskipun hanya sedikit.
Definisi nilai sering dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda. Seorang ulama menafsirkan nilai dari sudut pandangnya sendiri tentang akhlak. Seorang ekonom lebih melihat nilai dari sudut pandang nilai secara material yang berkaitan dengan jumlah nominal dari nilai tukar barang. Seorang sosiolog menafsirkan nilai dari sudut pandangnya sendiri tentang keinginan, kebutuhan, kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan, dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada wujud tingkah lakunya yang unik. Seorang antropolog melihat nilai sebagai harga yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum, dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia.
Memang, nilai memiliki beragam definisi bergantung pada cara pandang seseorang dalam memahami nilai. Berikut ini penulis mencoba memberikan definisi nilai menurut beberapa sumber.
Menurut Gordon Allport (1964), nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Bagi Allport  – seorang ahli psikologi –   nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Seperti ahli psikologi pada umumnya, keyakinan ditempatkan sebagai wilayah psikologis yang lebih tinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, dan kebutuhan. Karena itu, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indahnya pada wilayah ini merupakan hasil dari serentetan proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya. (Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 9)
Lain lagi menurut Kupperman (1983), nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif. Definisi ini memiliki tekanan utama pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Definisi ini lebih mencerminkan pandangan sosiolog. Seperti sosiolog pada umumnya, Kupperman memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial sebab dengan penegakan norma seseorang justru dapat merasa tenang dan terbebas dari segala tuduhan masyarakat yang akan merugikan dirinya. Oleh sebab itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat. (Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 9)
Menurut Hans Jonas (Bertens; 1999), nilai adalah alamat sebuah kata “ya” atau kalau diterjemahkan secara kontekstual, nilai adalah sesuatu yang ditunjukkan dengan kata “ya”. Definisi ini merupakan definisi yang memiliki kerangka lebih umum dan luas daripada dua definisi sebelumnya. Kata “ya” dapat mencakup nilai keyakinan individu secara psikologis, maupun nilai patokan normatif secara sosiologis. Penggunaan kata alamat dalam definisi itu dapat mewakili arah tindakan yang ditentukan oleh keyakinan individu maupun norma sosial. (Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 9)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2001, nilai memiliki enam makna dasar. Pertama, nilai diartikan sebagai harga (dalam arti taksiran harga). Kedua, nilai diartikan sebagai harga uang (dibandingkan dengan harga uang yang lain). Ketiga, nilai diartikan sebagai angka kepandaian; ponten. Keempat, nilai diartikan sebagai banyak sedikitnya isi; kadar; mutu. Kelima, nilai diartikan sebagai sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Keenam, nilai diartikan sebagai sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.
Sementara itu, Kluckhon (Brameld; 1957) mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, definisi itu memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dalam pengertian yang lebih spesifik andaikata dikaji secara mendalam. Namun, Brameld hanya mengungkap enam implikasi penting, yaitu : (1) nilai merupakan bentuk yang melibatkan proses kognitif (logis dan rasional) dan proses senang tidaknya hati; (2) nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi selalu tidak bermakna apabila diverbalisasi; (3) Apabila hal ini berkenaan dengan budaya, nilai diungkapkan dengan cara yang unik oleh individu atau kelompok; (4) karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu diyakini bahwa nilai pada dasarnya dipersamakan daripada keinginan, ia didefinisikan berdasarkan keperluan sistem kepribadian dan sosio-budaya untuk mencapai keteraturan atau untuk menghargai orang lain dalam kehidupan sosial; (5) pilihan di antara nilai-nilai alternatif dibuat dalam konteks ketersediaan tujuan antara dan tujuan akhir; dan (6) nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya, dan pada saat yang sama ia adalah norma-norma yang telah disadari.
Menurut Dr. Rahmat Mulyana (2004 : 10), nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Walaupun ciri-ciri spesifik seperti norma, keyakinan, cara, tujuan, sifat, dan ciri-ciri nilai tidak diungkapkan secara eksplisit, definisi ini sudah cukup mewakili definisi-definisi di atas. Kalau dibandingkan dengan definisi nilai dari Hans Jonas, definisi baru ini secara eksplisit menyertakan proses pertimbangan nilai, tidak hanya sekedar alamat dari sebuah kata “ya”.
Nilai itu ada, tapi tidak mudah untuk dipahami. Sifatnya yang abstrak dan tersembunyi di belakang fakta menjadi salah satu sebab sulitnya nilai dipahami. Sebagai tema yang terkait dengan fakta, nilai lahir dari sebuah konsekuensi penyikapan atau penilaian atas sesuatu hal yang faktual. Dengan kata lain, ketika seseorang melihat suatu kejadian, merasakan suatu suasana, mempersepsi suatu benda, atau merenungkan suatu peristiwa, maka di sanalah kira-kira nilai itu ada. Jarak antara nilai dan fakta bersifat relatif bergantung pada pengalaman dan pengetahuan seseorang atau sesuatu fakta yang tengah dihadapi.
Salah satu cara yang digunakan untuk menjelaskan nilai adalah dengan cara membandingkannya dengan fakta. Fakta adalah sesuatu yang ada atau tengah berlangsung begitu saja. Fakta dapat ditemui dalam konteks peristiwa yang unsur-unsurnya dapat diuraikan satu per satu secara rinci. Fakta pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Sementara itu, nilai menunjukkan pada suatu tema yang memikat atau menghimbau kita, ketika kita berada pada posisi sedang memaknai fakta tersebut. Nilai lahir dalam suasana apresiasi ketika setiap orang dengan beragam pengalaman dan pemahamannya, merujuk pada kadar nilai yang berbeda. Di sini dapat ditegaskan bahwa nilai memiliki relativitas, sedangkan fakta memiliki objektivitas.
Seperti pandangan ahli nilai pada umumnya, Ambroise memandang nilai sebagai realitas abstrak. Nilai dirasakan dalam diri seseorang sebagai pendorong dan prinsip hidup. Karena itu, nilai menduduki tempat penting dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat ketika seseorang lebih baik mengorbankan hidupnya ketimbang mengorbankan nilai. Nilai yang menjadi sesuatu yang abstrak dapat dilacak dari tiga realitas, yaitu : pola tingkah laku, pola berpikir, dan pola bersikap. Untuk mengetahui nilai kita tidak dapat memisahkan satu pun dari ketiga realitas itu. (Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 23)
Pelacakan nilai dari pola tingkah laku, pola berpikir, dan pola bersikap dapat dilakukan dengan cara mengamati kecenderungan seseorang dalam berperilaku. Ambroise menekankan bahwa dalam pengamatan ketiga realitas nilai itu terdapat perbedaan kultural antara suatu masyarakat atau bangsa dengan yang lainnya. Hal itu dapat menyebabkan perbedaan dalam perwujudan nilai, meski nilai yang dirujuknya sama. Misalnya, orang-orang tua di Tanjungpinang akan sangat risih melihat amoi-amoi Singapura bermini-ria. Akan tetapi, orang-orang tua di Singapura tidak bergeming – no problem kata mereka - melihat budak-budak Tanjungpinang berseragam singkat.
Prinsip-prinsip relativitas nilai yang diketengahkan Ambroise ada tiga. Pertama, nilai itu relatif. Kedua, nilai tidak selalu disadari. Ketiga, nilai adalah landasan bagi perubahan. Nilai merupakan daya pendorong bagi kehidupan seseorang atau kelompok. Oleh karena fungsi tersebut, nilai berperan dalam proses perubahan sosial. Karena nilai berperan sebagai pendorong dalam hidup, untuk mengubah orang atau masyarakat, kita harus berusaha mengubah nilainya. (Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 24)
Secara hakiki, sebenarnya nilai agama merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Cakupan nilainya pun lebih luas. Struktur mental manusia dan kebenaran mistik-transendental merupakan dua sisi unggul yang dimiliki nilai agama. Nilai tertinggi yang harus dicapai adalah keselarasan semua unsur kehidupan; antara kehendak manusia dengan perintah Tuhan, antara ucapan dan tindakan, atau antara iktikad dengan perbuatan. Tuhan lebih mengetahui apa yang mesti diperbuat manusia sebab Tuhanlah yang menciptakan manusia.
Agama merupakan sumber sistem nilai. Agama merupakan petunjuk, pedoman, dan pendorong bagi umat manusia untuk menyelesaikan berbagai masalah hidupnya seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, dan militer. Dengan begitu akan terbentuk pola motivasi, tujuan hidup, dan perilaku manusia yang menuju kepada keridhaan Allah. Memang, budaya itu dilahirkan dari agama Islam.
Agama Islam adalah agama Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia yang mengandung ketentuan-ketentuan keimanan (aqidah) dan ketentuan-ketentuan ibadah dan mu’amalah (syariah) yang menentukan proses berpikir, merasa, dan berbuat dan proses terbentuknya qalbu yang menawan.
Dunia kini telah maju. Orang tidak perlu berusaha untuk membuktikan bahwa apabila dunia ini mempunyai pencipta, maka Ia harus Pencipta Yang Mahaesa. Tuhan dari orang-orang Israil, Tuhan dari orang-orang Hindu, Tuhan dari negeri Tiongkok dan Tuhan dari negeri Iran adalah tidak berbeda. Juga Tuhan dari negeri Arab, Afganistan, dan Eropa adalah tidak berlainan. Juga Tuhan dari orang-orang Mongol dan Tuhan orang-orang Semit adalah tidak berbeda. Tuhan adalah esa dan hukum yang mengatur dunia ini juga satu hukum dan sistem yang menghubungkan satu bagian dari dunia ini dengan lainnya adalah juga satu sistem. Ilmu pengetahuan memberikan keyakinan bahwa semua perubahan alami dan mekanis di mana saja adalah pernyataan daripada hukum yang sama. Dunia ini hanya mempunyai satu prinsip ialah gerak, sebagaimana pernyataan daripada ahli-ahli filsafat materialis. Atau dunia ini hanya mempunyai seorang Pencipta. Apabila demikian halnya, maka pernyataan seperti Tuhan orang-orang Israil, Tuhan orang-orang Arab, Tuhan orang-orang Hindu adalah tidak berarti sama sekali. Tetapi apabila tuhan itu satu mengapa dunia ini mempunyai banyak agama ?  Apakah agama-agama itu hasil daripada pemikiran otak manusia ? Apakah karena itu, maka tiap-tiap bangsa dan tiap-tiap kelompok umat manusia menyembah Tuhannya sendiri? Apabila agama-agama itu bukan produksi daripada otak manusia, mengapa ada perbedaan antara satu agama dengan agama lain? Apabila dulu ada alasan tentang adanya perbedaan ini, apakah dewasa ini masih tepat bahwa perbedaan-perbedaan itu terus berlangsung?
Persoalan apakah agama itu merupakan produksi daripada pemikiran manusia, maka jawabnya sudah barang tentu ialah bahwa ia bukan merupakan hasil pemikiran manusia dan sebabnya adalah banyak. Agama-agama yang merata di dunia ini mempunyai ciri-ciri yang khas.
Pertama, menurut ukuran yang biasa, maka pembawa agama adalah orang-orang biasa. Mereka tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang tinggi. Sungguhpun demikian, mereka berani memberikan ajaran, baik kepada orang-orang besar maupun orang-orang kecil, dan dalam waktu yang tertentu mereka dengan pengikut-pengikutnya meningkat daripada kedudukan yang rendah sampai kepada kedudukan yang tinggi. Ini membuktikan bahwa mereka itu dibantu oleh Kekuasaan yang Mahaagung.
Kedua, semua pembawa agama itu adalah orang-orang yang sejak sebelum jadi Nabi dihargai dan dinilai tinggi oleh masyarakatnya karena ketinggian budi pekertinya, sekalipun oleh orang-orang yang kemudian hari menjadi musuhnya, setelah mereka itu menyatakan tentang kenabiannya. Oleh karena itu, tidak masuk akal sama sekali bahwa mereka yang tidak pernah dusta terhadap manusia dengan serta merta berdusta terhadap Tuhannya. Pengakuan yang universal tentang kesucian dari kehidupannya sebelum mereka itu menyiarkan agama yang mereka bawa adalah suatu bukti tentang kebenaran pengakuan mereka.
Ketiga, bahwa pembawa agama itu tidak mempunyai kekuasaan dan alat-alat yang pada umumnya dapat dikatakan menjamin sukses kepemimpinannya. Umumnya mereka sedikit sekali mengetahui tentang seni atau kebudayaan masanya. Sungguhpun demikian, apa yang mereka ajarkan adalah sesuatu yang lebih maju daripada apa yang ada dalam masa itu; tidak sama dengan apa yang berlaku pada masanya. Dengan mengambil ajaran-ajarannya itu, maka manusia akan sampai kepada peradaban dan kebudayaan yang tinggi dan sanggup mempertahankan kebesarannya itu untuk berabad-abad lamanya. Kemenangan yang demikian itu adalah mustahil dengan tidak adanya bantuan dari Tuhan yang Mahakuasa.
Keempat, apabila diperhatikan ajaran-ajaran yang dibawa oleh pembawa-pembawa agama itu , maka dapat diketahui bahwa ajaran-ajaran itu selalu bertentangan dengan pikiran-pikiran yang hidup dalam waktu itu. Apabila ajarannya itu sama dengan pikiran-pikiran yang hidup di dalam waktunya, maka hal itu dapat dikatakan bahwa ajaran mereka itu merupakan pernyataan saja dari pada pikiran-pikiran yang ada pada waktu itu. Sebaliknya, apa yang mereka ajarkan adalah sangat berlainan dengan alam pikiran yang ada dalam waktunya. Pertentangan yang sengit lalu timbul menjadi daerah tempat penyiaran agama itu seolah-olah menjadi terbakar. Sungguhpun demikian, mereka yang menentang ajaran-ajaran itu akhirnya tunduk. Ini membuktikan bahwa pembawa-pembawa agama bukanlah orang-orang yang tidak memenuhi kehendak masanya, tetapi mereka adalah Nabi-nabi dan Rasul-rasul dalam arti sebagaimana mereka sendiri mengakuinya.
Kelima, pendiri-pendiri daripada agama-agama itu semua menunjukkan tanda-tanda bukti dan mukjizat-mukjizat. Setiap orang dari mereka menerangkan sejak permulaan bahwa ajarannya itu akan berhasil dan bahwa mereka yang berusaha untuk menghancurkan itu, akan hancur sendiri. Padahal mereka tidak mempunyai kekuatan-kekuatan lahir. Ditambah lagi bahwa ajaran-ajaran mereka itu bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan dan kebiasaan masyarakat dan menimbulkan pertentangan yang luar biasa. Sunguhpun demikian mereka berhasil dan apa yang mereka katakan itu benar-benar terjadi. Mengapa kata-kata mereka itu terbukti dan janji-janjinya itu bisa terlaksana?
Memang, selain nabi ada juga jenderal-jenderal dan diktator-diktator yang mendapatkan sukses para nabi itu, sukses yang dikatakan terlebih dahulu, yang disandarkan kepada Tuhan sejak daripada permulaannya, sukses yang menjadi taruhan dari seluruh kehormatannya dan yang dapat dicapai sekalipun adanya oposisi yang luar biasa. Akan tetapi, mereka tidaklah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan alam pikiran pada waktunya. Juga mereka tidak mengatakan bahwa Tuhan telah menjanjikan mereka kemenangan, sekalipun ada tantangan yang bagaimanapun. Juga mereka tidak harus berhadapan dengan oposisi yang besar dari orang-orang yang sezaman dengan mereka. Tetapi apabila mereka kalah, sebenarnya mereka tidak kehilangan apa-apa. Mereka masih dianggap besar dan tinggi oleh rakyatnya dan tidak takut apa-apa.
Hal yang sedemikian itu adalah sangat berbeda dengan Nabi Musa a.s., Nabi ‘Isa a.s., dan Nabi Muhammad s.a.w. Memang, mereka tidak gagal. Tetapi andaikata mereka itu gagal mereka akan kehilangan segala-galanya. Mereka tidak akan dibangga-banggakan oleh masyarakatnya, tapi mereka akan dimaki-maki sebagai nabi palsu dan pembohong. Sejarah tidak akan menghargai sedikitpun kepada mereka dan hinaan dan cercaan selama-lamanya adalah sebagai pembalasan bagi mereka.
Sewaktu orang mempelajari peradaban dan kebudayaan pelbagai negeri, orang akan mendapatkan bahwa dalam beberapa periode, peradaban sesuatu negeri itu demikian maju hingga kalau tidak memperhitungkan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh mesin dalam abad modern ini maka kemajuan-kemajuan yang diperoleh dalam zaman-zaman yang lalu daripada sejarah umat manusia itu rupa-rupanya tidak demikian berbeda daripada kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam waktu kita sekarang ini.
Perlu diterangkan di sini bahwa peradaban adalah suatu konsep yang murni materialistik. Apabila kemajuan materi tercapai maka terdapatlah kenikmatan dalam hidup ini. Kenikmatan dalam hidup ini merupakan peradaban. Tetapi kebudayaan adalah lain dari peradaban. Menurut pertimbangan yang wajar hubungan antara kebudayaan dengan peradaban adalah seperti hubungan antara jiwa manusia dengan tubuhnya. Perbedaan-perbedaan dalam peradaban adalah perbedaan-perbedaan dalam kemajuan materi, tetapi perbedaan-perbedaan kebudayaan, disebabkan karena perbedaan kemajuan rohani. Kebudayaan dari suatu golongan dapatlah dikatakan terdiri dari ide-ide yang tumbuh di bawah pengaruh ajaran-ajaran agama. Ajaran-ajaran agama itulah yang memberikan dasar kebudayaan.
Dalam sesuatu waktu peradaban dan kebudayaan kadang-kadang terpisah, kadang-kadang tidak. Bisa juga sesuatu bangsa pada sesuatu zaman mencapai peradaban yang tinggi, tetapi tidak mencapai kebudayaan yang besar. Kadang-kadang sebaliknya, sesuatu negeri mencapai kebudayaan yang tinggi, tetapi peradabannya tidak. Romawi dalam zaman kebesarannya adalah pemilik peradaban yang besar, tetapi tidak mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Proses dan tingkatan peradaban dan kebudayaan itu menunjukkan bahwa kedua-duanya juga mengalami kemajuan. Kebudayaan umat manusia dan peradabannya harus sampai kepada kesempurnaan yang stabil dan pertumbuhannya itu harus mendapat bimbingan dari ajaran-ajaran agama. Agama-agama sebelum Islam tidak sanggup menampung dan memberikan bimbingan itu. Ini menunjukkan perlunya Al Quran diturunkan yang akan memberi petunjuk kepada seluk-beluk tingkah laku umat manusia dengan pelbagai macam ragamnya sesuai dengan revolusi kebudayaan umat manusia. (Departemen Agama Republik Indonesia, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989, h. 40 – 51)
Agama adalah risalah yang disampaikan Tuhan kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dan hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, dirinya sebagai hamba Allah, manusia, dan alam sekitarnya.
Oleh karena agama Islam itu membawa peraturan-peraturan Allah yang wajib dipatuhi, manusia Islam bukan saja menjauhkan diri dari kemungkaran dan selalu berbuat kebajikan, melainkan juga mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran itu. Bahkan agama Islam menyebabkan manusia memiliki sifat kompetitif dalam kebaikan dan sifat futuristik.
Agama Islam adalah jaminan kebahagiaan bagi seluruh manusia dan jin di dunia dan akhirat. Islam mengantarkan manusia kepada keridhaan Ilahi. Islam membawa manusia kepada surga, selamat dari bencana dunia dan akhirat. Islam menghindarkan manusia dari kesesatan.
Ketika manusia menjadikan kesempurnaan Islam sebagai maksud hidupnya, pertama kali Allah akan memberkahi kehidupannya. Lalu Allah s.w.t. menjaga kehidupannya sebagaimana Allah s.w.t. menjaga Baitullah (Ka’bah). Allah s.w.t. akan menolongnya sebagaimana Allah menolong para Anbiya a.s., masalahnya akan diselesaikan oleh Allah s.w.t. dengan Kudrat-Nya, dan keturunannya pun akan dijaga oleh Allah s.w.t. dalam keturunan yang saleh.
Orang-orang pengamal Islam adalah orang-orang yang utama di sisi Allah s.w.t. di sisi mereka ada Allah s.w.t., di belakang mereka ada Allah s.w.t., di setiap masalah mereka ada Allah s.w.t. senantiasa membantu dan menjaga.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kesempurnaan Islam adalah rohani yang suci dari segala kotoran hati. Jasadnya bersih dari amal perbuatan yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi s.a.w. Ridha Allah s.w.t. hanya terletak pada Islam secara kaffah. Dengan demikian, setiap gerakan hati ataupun badan seorang muslim dalam mentaati agama, itu mengandung kebahagiaan.
Jika jalan meraih kesuksesan hidup itu melalui agama, Allah s.w.t. akan memberikan kesuksesan itu. Akan tetapi, jika manusia berusaha meraih kesuksesan melalui materi dan kekayaan, Allah s.w.t. justru akan memberinya kesuksesan yang sementara.
Apabila manusia baik, seluruh alam akan menjadi baik. Sejauh mana usaha kebaikan manusia diwujudkan, sejauh itu pula alam akan memberikan balasan kebaikan yang setimpal bagi manusia. Sebaliknya, sejauh mana manusia mengabaikan usaha kebaikan pada diri dan jiwanya, sejauh itu pulalah alam semesta akan menjadi musuh baginya. Kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesesatan, kemuliaan dan kehinaan, keselamatan dan malapetaka, kehidupan dan kematian, kesehatan dan kesakitan, semuanya datang dari Allah s.w.t. Seluruh keadaan di dunia ini berhajat kepada Allah s.w.t. dan dalam kekuasaan Allah s.w.t.
Bila kita jalani kehidupan ini hanya sekedar memuaskan nafsu dan syahwat saja, berarti jalan yang ditempuh adalah jalan setan. Musuh yang senantiasa menginginkan manusia terjauh dari kebahagiaan yang sesungguhnya. Musuh yang akan membawa manusia kepada kegagalan di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, bila manusia menjalani hidup dan kehidupan ini berpegang pada tali agama Allah s.w.t., niscaya manusia akan selamat di dunia maupun di akhirat dan tidak akan tersesat selama-lamanya seperti yang telah diperingatkan Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya yang artinya:      “Aku tinggalkan untuk kalian yang jika kalian berpegang teguh padanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, sesuatu yang sudah jelas, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.”  (Departemen Agama Republik Indonesia, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989, h. 84)

Dengan menuruti hukum Allah s.w.t. dan sunnah Rasulullah s.a.w., niscaya Allah s.w.t. menjanjikan kebahagiaan. Segala perbuatan yang berdasarkan aturan Allah s.w.t. dan sunnah Rasul-Nya, akan dinilai sebagai perbuatan yang berpahala, bernilai agama.
Hukum Allah s.w.t. dan sunnah Rasul-Nya adalah suci. Diri manusia ini kotor, najis, karena diciptakan dari air mani dan diciptakan dari tempat keluar kotoran. Benda-benda yang di luar indah-indah, tetapi ketika dimasukkan ke dalam perut manusia, ia akan keluar menjadi najis yang busuk dan kotor menjijikkan. Untuk mensucikan diri kita, manusia hendaklah mentaati Allah s.w.t. dan mengikuti cara hidup Rasulullah s.a.w.
Krisis multidimensi tidak akan melanda bangsa Indonesia. Krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya tak akan mengikis pilar-pilar kehidupan bangsa Indonesia apabila semua komponen bangsa Indonesia melaksanakan nilai-nilai agama secara kaffah. Bangsa Indonesia yang diklaim sebagai negeri yang mayoritas beragama Islam yang memiliki perilaku dan moral yang mencerminkan nilai-nilai agama Islam akan menciptakan dan melahirkan peradaban baru dalam sejarah dunia.
Nilai-nilai agama Islam itu terdapat dalam Al-Quran dan Al-Hadist seperti yang telah dicontohteladani oleh Rasulullah s.a.w. Dalam konteksnya dengan kebudayaan, Al-Quran dan Al-Hadist itu merupakan inspirasi dalam berbagai karya seni. Ada kaligrafi, ada pantun, ada syair, dan ada gurindam.
Agama dan budaya merupakan dua entitas (wujud; satuan yang berwujud dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 304) yang absurd (tidak masuk akal; mustahil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 3) untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Karenanya, dalam pentas sejarah perkembangan peradaban anak manusia di belahan dunia mana pun, agama dan budaya selalu mengalami pergumulan secara sangat signifikan dan tak terkecuali pada belahan dunia Melayu. Agama dan budaya dalam dunia Melayu mempunyai pertalian yang saling terkait-padu, saling jalin-berkelindan antara keduanya. Dengan kata lain, agama (baca : Islam) dan budaya (baca: Melayu) sudah menyatu dan senyawa dalam kehidupan (keseharian) orang-orang Melayu. Bahkan agama Islam memberikan isi pada definisi tentang “Kemelayuan”. Maka seseorang dapat dianggap “Melayu”, apabila telah memenuhi persyaratan, di antaranya : beragama Islam. (Judith Nagata, Adat in the City : Some Perfections and Practise Among Urban Malays, BKI, Deel 130, 1974, h. 91, dikutip dari Alimuddin Hassan, Proyek Proposal : Persuratan Intelektual Melayu-Riau : Meneroka Pemikiran Politik Raja Ali Haji di tengah Pemikiran Agama dan Budaya Politik Islam Melayu, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003, h. 1)
Namun segera harus ditambahkan, meskipun agama dan budaya absurd dipisahkan, tetapi dikarenakan dua entitas yang distingtif (distingtif : Ling bersifat membedakan antara satuan bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 270), tentu dapat dibedakan. Perbedaan prinsip antara agama dan budaya setidaknya dengan dua alasan: pertama, “argumen ideal-epistimologis” (epistemologi : cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 306). Bahwa agama adalah kebenaran bersumber dari wahyu sebagai ciptaan Tuhan. Untuk itu, kebenaran yang dikandungnya bersifat absolut dan universal, berlaku untuk semua waktu dan ruang. Sementara budaya adalah kebenaran berasal dari akal sebagai ciptaan manusia. Karenanya, kebenaran yang dikandungnya bersifat relatif dan lokal, terbatasi oleh waktu dan ruang. Maka ketika kedua kebenaran ini dikonfrontir, tentu saja, kebenaran absolut-universal (agama) akan menang melawan kebenaran relatif-lokal (budaya). (Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Paramadina, Jakarta, 1995, h. 36, dikutip dari Alimuddin Hassan, idem, h. 1)
Telaah mengenai Raja Ali Haji sudah banyak dilakukan. Studi mengenai predikat ulama yang disandang Raja Ali Haji telah dilakukan banyak orang. Namun, telaah mengenai Gurindam Dua Belas yang merupakan buah tangan Raja Ali Haji belum banyak dilakukan orang.
Ada sekian banyak tulisan yang merancukan tokoh Raja Ali Haji dengan Raja Haji, dengan Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau VIII, dengan Raja Ali Kelana. Padahal kerancuan sederhana seperti itu sebenarnya sama sekali tidak perlu terjadi apabila orang dituntun untuk memahami kebudayaan Melayu.
Cukup banyak nama Ali dalam runtunan peristiwa penting di Riau. Ini sering menjadi punca kerancuan bagi orang-orang yang kurang teliti mengikuti peristiwa tersebut. Selain Ali bin Raja Ahmad atau Raja Ali Haji, ada Ali Yang Dipertuan Muda Riau V (1784 – 1806) yaitu Raja Ali Ibni Daeng Kamboja, ada Ali yang menjadi Yang Dipertuan Muda Riau VIII (1845 – 1857) yaitu Raja Ali bin Raja Ja’far, ada Ali yang menjadi Kelana terakhir pada Kerajaan Riau Lingga yaitu Raja Ali Kelana atau dikenal juga dengan nama Raja Haji Ali bin Ahmadi.

Berdasarkan karya-karya yang dapat dikumpulkan dan dikenal baik secara luas atau secara terbatas, dapatlah dibuat ranji silsilah pengarang-pengarang Riau yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang rapat dengan Raja Ali Haji :
Raja Haji
 



        














Raja Ahmad Engku Haji Tua
 



Raja  Ja’far
 



















R. Abdul Hamid
 

Text Box: Raja Ali Haji
Raja Ali
 

Raja Abdullah
 


























Raja Abdul Mutalib
 

R.M. Yusuf Al-Ahmadi
 


R.M. Tahir
 














Raja Ali Kelana
 

Badriah M. Tahir
 

R.H.M. Said
 









Berdasarkan ranji di atas, Raji Ali Haji adalah cucu dari Raja Haji Sekurang-kurangnya ada tiga sumber bacaan yang dapat dipakai untuk mengenal orang ini. Pertama Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali Haji, sang cucu. Kedua, De Negerlanders in Djohor en Siak karangan Elisa Netscher dan ketiga Geschiedenis van Indonesie karya H.J. de Graaf. Tuhfat Al-Nafis menempatkan Raja Haji di tempat yang sangat terhormat. Ia berperang dengan kompeni Belanda di Melaka dan tewas dalam pertarungan di Teluk Ketapang. Gelar posthumousnya yaitu Marhum Teluk Ketapang. Karena kematiannya dianggap sebagai mati syahid, gelar posthumousnya yang lain adalah Raja Haji Fisabililah.. Ali adalah nama sebenar dari Raja Ali Haji. Dalam buku-buku lama, nama Raja Ali Haji dikenal pula sebagai Raja Ali Al-Hajj, Raja Ali ibni Raja Haji Ahmad, dan Al-Hajj Ali ibni Ahmad Al-Riauwiyah. (Hasan Junus, Raja Ali Haji dan Karya-karyanya, dikutip dari Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas, Pekanbaru, 1989, h. 4) Bila kita merujuk pada istilah sekarang, nama Raja Ali Haji adalah Haji Raja Ali.
Raja Ali Haji adalah Raja Ali Al-Hajj ibni Raja Ahmad Al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah atau Engku Haji Ali Ibni Engku Haji Ahmad Riau. Dilahirkan di akhir tahun 1808 di Pulau Penyengat. Ayahnya bernama Raja Ahmad dan ibunya bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor.
Raja Ali Haji tokoh terkenal dan dihormati dalam sejarah kehidupannya. Pada tahun 1868, utusan Abu Bakar (Temenggung Abu Bakar merupakan salah seorang Temenggung Kerajaan Riau Lingga yang berkedudukan di Pahang) dikirimkan menemui Raja Ali Haji sebab dia “seorang raja yang tua lagi berilmu”. Raja Ali Haji boleh dikatakan mewakili golongan elit Riau. Dia keturunan Bugis-Melayu dan cucu Raja Haji (syahid 1784). Beberapa kali berkunjung ke Pulau Pinang, Timur Tengah, Betawi, dan Singapura bersama ayahnya. Dia mendapat didikan yang baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Arab dan bercampur gaul dengan orang pintar dan sarjana-sarjana Belanda. Pada akhir abad ke-19 dia dijadikan sebagai contoh teladan masyarakat. (Zahrah Ibrahim, op.cit., h. 117)
Raja Ali Haji adalah sarjana bahasa Arab dan dia tentu mengetahui bahwa sejarah dianggap sebagai pelajaran ilmiah oleh ulama. Raja Ali Haji mengajar bahasa Arab, ushuluddin, fiqh, tasawwuf. Salah seorang muridnya ialah saudara sepupunya yang bernama Raja Abdullah (kemudian menjadi Yamtuan Muda).( ibid., h. 114) Dalam setiap karyanya tampak sekali pemikiran-pemikirannya di bidang keagamaan. Hal ini disebabkan karena Raja Ali Haji, menurut Hasan Junus, “sebagai ulama-pengarang dan pengarang-ulama, sumber rujukannya al-Quran dan al-Hadist”. (Fakhrunnas M.A. Jabbar, loc.cit.)
Raja Ali Haji adalah seorang sastrawan, sejarawan, budayawan, ulama, dan pemikir politik. Raja Ali Haji telah mengarang berbagai Kitab, meliputi bahasa, sastra, sejarah, hukum, dan agama. Diperkirakan beliau telah mengarang sampai belasan buku, di antaranya :
a.       Hikayat (Sultan) Abdul Muluk
Sebuah karya berbentuk syair yang berisi kisah pengalaman seorang putera raja yang bernama Abdul Muluk. Ditulis bersama adiknya Raja Zaleha. Dari buku inilah berasal teater “Dul Muluk” di Sumatera Selatan. Ditulis tahun 1846 dan diterbitkan pada tahun 1847, 1860, dan 1892. Dialihaksara ke huruf Latin dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1934.
b.      Gurindam Dua Belas
Sebuah karya berbentuk gurindam yang berisi nasehat dan pengajaran yang dibagi atas 12 pasal. Karya ini ditulis pada tahun 1846 dan diterbitkan tahun 1853.
c.       Bustan Al-Katibin
Sebuah karya prosa berupa tatabahasa Melayu dan tataejaan bahasa Melayu huruf Arab-Melayu. Ditulis pada tahun 1850, diterbitkan pada tahun 1909.
d.      Pengetahuan Bahasa
Sebuah kamus satu bahasa yang pertama disusun oleh orang Melayu tentang bahasanya. Ditulis pada tahun 1858 dan diterbitkan pada tahun 1927 oleh Al-Ahmadiah Press, Singapura; dialihaksarakan ke huruf Latin oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau pada tahun 1987.
e.       Salasilah Melayu dan Bugis
Sebuah esai sejarah perbauran antara raja-raja Melayu dan Bugis. Ditulis pada tahun 1865 dan diterbitkan oleh Al-Imam di Singapura pada tahun 1900.
f.        Tuhfat Al-Nafis
Sebuah esai sejarah Kerajaan Riau dan negeri-negeri yang bertetangga. Ditulis pada tahun 1865 dan diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1865. Kemudian diterbitkan kembali pada tahun 1932. Dialihaksarakan ke huruf Latin pada tahun 1965 dan 1975.
g.       Mukaddimah fi Intizam waza’if al-Malik
Sebuah buku untuk pegangan pemerintahan. Dituliskan pada tahun 1857. diterbitkan pertama kali di Lingga pada tahun 1886.
h.       Tsamarat al-Muhimmah
Sebuah buku tentang hukum, pemerintahan, dan pengadilan. Buku ini dicetak pertama kali di Lingga pada tahun 1886.
i.         Syair Hukum Nikah
Sebuah karya berbentuk syair yang berisi panduan hidup berumah tangga. Ditulis pada tahun 1866.
j.        Syair Sinar Gemala Mestika Alam
Sebuah karya berbentuk syair yang berisi tentang peringatan Maulud Nabi Muhammad s.a.w. Buku ini dicetak pada tahun 1893 dan diterbitkan pertama kali oleh Mathba’at Al-Riauwiyah di Pulau Penyengat pada tahun 1895.
k.      Syair Suluh Pegawai
Sebuah karya berbentuk syair yang berisi panduan hidup berumah tangga. Ditulis pada tahun 1866. Isinya hampir sama dengan Syair Hukum Nikah. Diterbitkan di Singapura pada tahun 1923.
l.         Syair Siti Shihanah
Sebuah karya berbentuk syair yang berisi panduan berumah tangga khusus bagi kaum wanita. Diterbitkan di Singapura pada tahun 1923.
Raja Ali Haji adalah pengarang yang produktif. Kebanyakan karyanya berunsur didaktis. Dia memikul tanggung jawab atas pemeliharaan dan penegakan adab dan adat dalam masyarakatnya dan bersikap bahwa orang-orang besar itu orang yang memeliharakan adab dan adat. Karya-karyanya sangat sarat dengan pesan-pesan moral-agama.
Karya terkenal yang dihasilkannya seperti Tuhfat Al-Nafis (Hadiah yang berharga) yang tampaknya merupakan karya bersama, dimulai oleh Raja Ahmad tetapi disunting dan diperbanyak oleh anaknya dan selesai pada akhir tahun 1860.
Persepsi Raja Ali Haji mengenai masa lampau tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pemikiran keagamaannya yang pada dasarnya dipengaruhi tulisan Abu Hamid Al-Ghazali yang wafat pada 1111 M. Pada akhir abad ke-18, karya Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Revitalisasi Ilmu-ilmu Agama) diperkenalkan kembali pada dunia Islam dan perhatian yang timbul berlanjut sepanjang periode kebangkitan Kaum Wahabi. Kekaguman Raja Ali Haji terhadap al-Ghazali dapat dilihat pada seringnya ia mengacu pada Ihya, bahkan sering menyarankan bagian-bagian tertentu untuk dibaca lebih lanjut. Penjabarannya mengenai ciri-ciri pemerintahan, Tsammarat Al-Muhimmah, menampakkan sedikit persamaan dengan karya al-Ghazali. Nasihat al-Mulk (Nasihat untuk Raja-raja), uraian terkenal mengenai pemerintahan gaya Islam.
Kedua karya tersebut mencerminkan pandangan bahwa negara dan kewajiban utama masyarakat adalah penciptaan iklim yang mendorong pelaksanaan agama yang wajar sehingga tiap orang dapat melaksanakan tugas spiritualnya dan mempersiapkan dirinya untuk hari kiamat.
Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa dan Bustan al-Katibin, Raja Ali Haji menekankan bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan meletusnya konflik dalam masyarakat adalah ketaatan pada hukum Allah, pemahaman dan pendalaman Al-Quran di bawah guru yang ahli. Bagi Raja Ali Haji, perilaku yang benar dinyatakan menurut perintah ajaran Islam. Dengan bimbingan agama, sifat tersebut yang menjadikan manusia lebih tinggi derajatnya dari makhluk lain di dunia , mendekatkannya kepada Tuhan, malu (rendah hati), ilmu (-pengetahuan), dan akal (nalar) dapat dipelihara. Memiliki pengetahuan, pengertian, dan rendah hati, manusia tidak akan sombong atau mengagungkan dirinya sendiri. Sebaliknya memiliki keinginan untuk mendalami kebenaran Tuhan dan akhirat, masyarakat akan mendapat ketenangan jika mereka masing-masing berusaha menjaga malu, ilmu, dan akal.
Meskipun demikian, sifat tersebut senantiasa terancam oleh ketidaktahuan manusia, karenanya usaha keagamaan tidak boleh terhenti, harus terus-menerus diusahakan. Seperti dinyatakan al-Ghazali, Pem-bangkangan terhadap Tuhan, karena mengikuti hawa nafsu adalah penyakit yang terparah yang menyedihkan . Manusia dapat menyamai malaikat dengan memurnikan keinginannya, tetapi dapat tenggelam setingkat hewan bila mengikuti hawa nafsunya.
Tulisan-tulisan Raja Ali Haji menunjukkan bahwa ia lebih daripada seorang sejarawan dalam arti sempit. Ia adalah seorang guru, seorang teolog, seseorang dengan komitmen memelihara nilai-nilai tertentu dan cita-cita dengan rasa tanggung jawab yang dalam terhadap masyarakatnya. Pengertiannya dari masa lalu erat hubungannya dengan pandangan religiusnya yang pada pikirannya didasari karya alim-ulama Islam yang sangat dihormati.
Agama Islam mengandung nilai-nilai yang sangat kondusif bagi pengembangan budaya. Agama Islam adalah agama yang mengandung semangat keagamaan yang rasional dan sekaligus melahirkan daya intelektualisme kepada penganutnya. Semangat rasionalisme dan intelektualisme tidak termanifestasi pada masa sebelum Islam.
Adapun mengenai gurindam, berikut ini beberapa definisi gurindam :
(1)   Gurindam adalah puisi lama yang terdiri dari 2 baris dalam 1 bait, bersajak a-a. Kalimat pertama menyatakan perbuatan dan baris kedua menyatakan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Isinya selalu mengandung nasihat bagi para pembaca. (Syamsir Arifin, Kamus Sastra Indonesia, Angkasa Raya, Padang, 1991, h. 51)
(2)   Gurindam adalah satu bentuk dalam kesusastraan lama yang berasal dari kesusastraan Tamil, yakni salah sebuah daerah di India bagian selatan. Perkataan gurindam berarti perhiasan atau bunga. Bentuk ikatan ini mempunyai syarat-syarat sebagai berikut : (a) jumlah baris setiap bait terdiri atas 2 (dua) baris, (b) jumlah suku kata dalam setiap baris biasanya 10 hingga 14 suku kata, (c) sajaknya berumus a-a, biasanya bersajak sempurna, tetapi banyak pula gurindam yang bersajak paruh, (d) Gurindam terdiri atas 2 (dua) kalimat tunggal yang membentuk kalimat majemuk. Baris (kalimat) yang pertama merupakan sebab atau alasan, sedangkan baris (kalimat) yang kedua merupakan akibat atau balasan apa yang tersebut dalam baris (kalimat) yang pertama, (e) isi gurindam senantiasa berupa nasihat, petuah, atau filsafat. Di sinilah letak keistimewaan isi puisi berbentuk gurindam. (Abdullah Ambary, Intisari Sastra Indonesia, Djatnika, Bandung, 1974, h. 31 – 32)
(3)   Gurindam adalah sajak dua baris yang mengandung petuah atau nasihat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, h. 377)
(4)   Gurindam yaitu perkataan yang bersajak juga pada akhir pasangannya tetapi sempurna perkataannya dengan satu pasangannya sahaja. Syahdan jadilah seperti sajak yang pertama itu syarat dan sajak yang kedua itu jadi seperti jawab. (Raja Ali Haji, Gurindam 12, Yayasan Khazanah Melayu, Tanjungpinang, 2002, h. 2)
Raja Ali Haji memberikan ta’rif atau definisi gurindam seperti berikut: “Adapun arti gurindam itu yaitu perkataan yang bersajak juga pada akhir pasangannya tetapi sempurna perkataannya dengan satu pasangan sahaja. Jadilah seperti sajak yang pertama itu syarat dan sajak yang kedua itu jadi seperti jawab.
Jadi, gurindam adalah sajak yang terdiri dari dua baris yang mengandung petuah atau nasihat. Baris pertama berkaitan erat dengan baris kedua sebab baris pertama merupakan syarat bagi baris kedua.
Gurindam yang terkenal adalah Gurindam Dua Belas. Disebut Gurindam Dua Belas karena gurindam ini terdiri atas dua belas pasal.Gurindam Dua Belas merupakan buah karya Raja Ali Haji. Karya ini ditulis tahun 1846 dan diterbitkan pertama kali tahun 1853.

7.      Sistematika Penulisan
Halaman Judul
Pengajuan Skripsi
Pengesahan Pembimbing
Motto dan Persembahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I         PENDAHULUAN
I.1         Latar Belakang
I.2         Alasan Pemilihan Judul
I.3         Penegasan Istilah
I.4         Permasalahan
             a. Pembeberan Masalah
             b. Batasan Masalah
             c. Rumusan Masalah
I.5         Tujuan dan Manfaat Penelitian
I.6         Kerangka Teoritis
I.7         Sistematika Skripsi
BAB II        TINJAUAN PUSTAKA
II.1       Defenisi Nilai
II.2       Agama
II.3       Raja Ali Haji dan Gurindam Dua Belas
BAB III       METODE  PENELITIAN
III.1      Subjek dan Objek Penelitian
III.2      Populasi dan Sampel
III.3      Teknik Penelitian dan Analisis Data
BAB IV      PENYAJIAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
       IV.1     Penyajian Hasil Penelitian
       IV.2     Pembahasan
BAB V        KESIMPULAN DAN SARAN
V.1       Kesimpulan
V.2       Saran-saran
Daftar Kepustakaan
Lampiran-lampiran
Riwayat Hidup

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.      Defenisi Nilai
Nilai memiliki beragam definisi bergantung pada cara pandang seseorang dalam memahami nilai. Nilai ditanamkan melalui sumber yang berbeda. Sumber itu dapat berupa keluarga, masyarakat, agama, media massa, tradisi, atau kelompok sebaya. Dengan mengetahui sumber dan sarana yang menanamkan nilai, kita dapat memahami kekuatan nilai pada pribadi seseorang sekaligus kita dapat merancang sarana untuk dapat mengubahnya.
Ketika nilai sudah dihubungkan dengan suatu objek atau dipersepsi dari suatu sudut pandang tertentu, makna yang terkandung di dalamnya memiliki tafsiran yang bermacam-macam. Ada nilai menurut agama, pendidikan, ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, antropologi, politik, sains. Tentu saja, nilai menurut masing-masing sudut pandang tidaklah sama. Kalaupun mungkin sama, tentu saja masih terdapat perbedaan-perbedaan meskipun hanya sedikit.
Definisi nilai sering dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda. Seorang ulama menafsirkan nilai dari sudut pandangnya sendiri tentang akhlak. Seorang ekonom lebih melihat nilai dari sudut pandang nilai secara material yang berkaitan dengan jumlah nominal dari nilai tukar barang. Seorang sosiolog menafsirkan nilai dari sudut pandangnya sendiri tentang keinginan, kebutuhan, kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan, dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada wujud tingkah lakunya yang unik. Seorang antropolog melihat nilai sebagai harga yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum, dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia.
Memang, nilai memiliki beragam definisi bergantung pada cara pandang seseorang dalam memahami nilai. Berikut ini penulis mencoba memberikan definisi nilai menurut beberapa sumber.
Menurut Gordon Allport (1964), nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Bagi Allport  – seorang ahli psikologi –   nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Seperti ahli psikologi pada umumnya, keyakinan ditempatkan sebagai wilayah psikologis yang lebih tinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, dan kebutuhan. Karena itu, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indahnya pada wilayah ini merupakan hasil dari serentetan proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya. (Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 9)
Lain lagi menurut Kupperman (1983), nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif. Definisi ini memiliki tekanan utama pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Definisi ini lebih mencerminkan pandangan sosiolog. Seperti sosiolog pada umumnya, Kupperman memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial sebab dengan penegakan norma seseorang justru dapat merasa tenang dan terbebas dari segala tuduhan masyarakat yang akan merugikan dirinya. Oleh sebab itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat. (Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 9)
Menurut Hans Jonas (Bertens; 1999), nilai adalah alamat sebuah kata “ya” atau kalau diterjemahkan secara kontekstual, nilai adalah sesuatu yang ditunjukkan dengan kata “ya”. Definisi ini merupakan definisi yang memiliki kerangka lebih umum dan luas daripada dua definisi sebelumnya. Kata “ya” dapat mencakup nilai keyakinan individu secara psikologis, maupun nilai patokan normatif secara sosiologis. Penggunaan kata alamat dalam definisi itu dapat mewakili arah tindakan yang ditentukan oleh keyakinan individu maupun norma sosial. (Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 9)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2001, nilai memiliki enam makna dasar. Pertama, nilai diartikan sebagai harga (dalam arti taksiran harga). Kedua, nilai diartikan sebagai harga uang (dibandingkan dengan harga uang yang lain). Ketiga, nilai diartikan sebagai angka kepandaian; ponten. Keempat, nilai diartikan sebagai banyak sedikitnya isi; kadar; mutu. Kelima, nilai diartikan sebagai sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Keenam, nilai diartikan sebagai sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.
Sementara itu, Kluckhon (Brameld; 1957) mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, definisi itu memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dalam pengertian yang lebih spesifik andaikata dikaji secara mendalam. Namun, Brameld hanya mengungkap enam implikasi penting, yaitu : (1) nilai merupakan bentuk yang melibatkan proses kognitif (logis dan rasional) dan proses senang tidaknya hati; (2) nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi selalu tidak bermakna apabila diverbalisasi; (3) Apabila hal ini berkenaan dengan budaya, nilai diungkapkan dengan cara yang unik oleh individu atau kelompok; (4) karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu diyakini bahwa nilai pada dasarnya dipersamakan daripada keinginan, ia didefinisikan berdasarkan keperluan sistem kepribadian dan sosio-budaya untuk mencapai keteraturan atau untuk menghargai orang lain dalam kehidupan sosial; (5) pilihan di antara nilai-nilai alternatif dibuat dalam konteks ketersediaan tujuan antara dan tujuan akhir; dan (6) nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya, dan pada saat yang sama ia adalah norma-norma yang telah disadari. (Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 10)
Menurut Dr. Rahmat Mulyana (2004 : 10), nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Walaupun ciri-ciri spesifik seperti norma, keyakinan, cara, tujuan, sifat, dan ciri-ciri nilai tidak diungkapkan secara eksplisit, definisi ini sudah cukup mewakili definisi-definisi di atas. Kalau dibandingkan dengan definisi nilai dari Hans Jonas, definisi baru ini secara eksplisit menyertakan proses pertimbangan nilai, tidak hanya sekedar alamat dari sebuah kata “ya”.
Nilai itu ada, tapi tidak mudah untuk dipahami. Sifatnya yang abstrak dan tersembunyi di belakang fakta menjadi salah satu sebab sulitnya nilai dipahami. Sebagai tema yang terkait dengan fakta, nilai lahir dari sebuah konsekuensi penyikapan atau penilaian atas sesuatu hal yang faktual. Dengan kata lain, ketika seseorang melihat suatu kejadian, merasakan suatu suasana, mempersepsi suatu benda, atau merenungkan suatu peristiwa, maka di sanalah kira-kira nilai itu ada. Jarak antara nilai dan fakta bersifat relatif bergantung pada pengalaman dan pengetahuan seseorang atau sesuatu fakta yang tengah dihadapi.
Salah satu cara yang digunakan untuk menjelaskan nilai adalah dengan cara membandingkannya dengan fakta. Fakta adalah sesuatu yang ada atau tengah berlangsung begitu saja. Fakta dapat ditemui dalam konteks peristiwa yang unsur-unsurnya dapat diuraikan satu per satu secara rinci. Fakta pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Sementara itu, nilai menunjukkan pada suatu tema yang memikat atau mengimbau kita ketika kita berada pada posisi sedang memaknai fakta tersebut. Nilai lahir dalam suasana apresiasi ketika setiap orang dengan beragam pengalaman dan pemahamannya, merujuk pada kadar nilai yang berbeda. Di sini dapat ditegaskan bahwa nilai memiliki relativitas, sedangkan fakta memiliki objektivitas.
Seperti pandangan ahli nilai pada umumnya, Ambroise memandang nilai sebagai realitas abstrak. Nilai dirasakan dalam diri seseorang sebagai pendorong dan prinsip hidup. Karena itu, nilai menduduki tempat penting dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat ketika seseorang lebih baik mengorbankan hidupnya daripada mengorbankan nilai. Nilai yang menjadi sesuatu yang abstrak dapat dilacak dari tiga realitas, yaitu : pola tingkah laku, pola berpikir, dan pola bersikap. Untuk mengetahui nilai kita tidak dapat memisahkan satu pun dari ketiga realitas itu. (Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 23)
Pelacakan nilai dari pola tingkah laku, pola berpikir, dan pola bersikap dapat dilakukan dengan cara mengamati kecenderungan seseorang dalam berperilaku. Ambroise menekankan bahwa dalam pengamatan ketiga realitas nilai itu terdapat perbedaan kultural antara suatu masyarakat atau bangsa dengan yang lainnya. Hal itu dapat menyebabkan perbedaan dalam perwujudan nilai, meski nilai yang dirujuknya sama. Misalnya, orang-orang tua di Tanjungpinang akan sangat risih melihat amoi-amoi Singapura bermini-ria. Akan tetapi, orang-orang tua di Singapura tidak bergeming – no problem kata mereka - melihat budak-budak Tanjungpinang berseragam singkat.
Prinsip-prinsip relativitas nilai yang diketengahkan Ambroise ada tiga. Pertama, nilai itu relatif. Kedua, nilai tidak selalu disadari. Ketiga, nilai adalah landasan bagi perubahan. Nilai merupakan daya pendorong bagi kehidupan seseorang atau kelompok. Oleh karena fungsi tersebut, nilai berperan dalam proses perubahan sosial. Karena nilai berperan sebagai pendorong dalam hidup, untuk mengubah orang atau masyarakat, kita harus berusaha mengubah nilainya. (Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 24)
Secara hakiki, sebenarnya nilai agama merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Cakupan nilainya pun lebih luas. Struktur mental manusia dan kebenaran mistik-transendental merupakan dua sisi unggul yang dimiliki nilai agama. Nilai tertinggi yang harus dicapai adalah keselarasan semua unsur kehidupan; antara kehendak manusia dengan perintah Tuhan, antara ucapan dan tindakan, atau antara iktikad dengan perbuatan. Tuhan lebih mengetahui apa yang mesti diperbuat manusia sebab Tuhanlah yang menciptakan manusia.
2.      Agama
Agama merupakan sumber sistem nilai. Agama merupakan petunjuk, pedoman, dan pendorong bagi umat manusia untuk menyelesaikan berbagai masalah hidupnya seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, dan militer. Dengan begitu akan terbentuk pola motivasi, tujuan hidup, dan perilaku manusia yang menuju kepada keridhaan Allah. Memang, budaya itu dilahirkan dari agama Islam.
Agama Islam adalah agama Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia yang mengandung ketentuan-ketentuan keimanan (aqidah) dan ketentuan-ketentuan ibadah dan mu’amalah (syariah) yang menentukan proses berpikir, merasa, dan berbuat dan proses terbentuknya qalbu yang menawan.
Dunia kini telah maju. Orang tidak perlu berusaha untuk membuktikan bahwa apabila dunia ini mempunyai pencipta, maka Ia harus Pencipta Yang Mahaesa. Tuhan dari orang-orang Israil, Tuhan dari orang-orang Hindu, Tuhan dari negeri Tiongkok dan Tuhan dari negeri Iran adalah tidak berbeda. Juga Tuhan dari negeri Arab, Afganistan, dan Eropa adalah tidak berlainan. Juga Tuhan dari orang-orang Mongol dan Tuhan orang-orang Semit adalah tidak berbeda. Tuhan adalah esa dan hukum yang mengatur dunia ini juga satu hukum dan sistem yang menghubungkan satu bagian dari dunia ini dengan lainnya adalah juga satu sistem.
Persoalan apakah agama itu merupakan produksi daripada pemikiran manusia, maka jawabnya sudah barang tentu ialah bahwa ia bukan merupakan hasil pemikiran manusia dan sebabnya adalah banyak. Agama-agama yang merata di dunia ini mempunyai ciri-ciri yang khas.
Pertama, menurut ukuran yang biasa, maka pembawa agama adalah orang-orang biasa. Kedua, semua pembawa agama itu adalah orang-orang yang sejak sebelum jadi Nabi dihargai dan dinilai tinggi oleh masyarakatnya karena ketinggian budi pekertinya, sekalipun oleh orang-orang yang kemudian hari menjadi musuhnya, setelah mereka itu menyatakan tentang kenabiannya. Ketiga, bahwa pembawa agama itu tidak mempunyai kekuasaan dan alat-alat yang pada umumnya dapat dikatakan menjamin sukses kepemimpinannya. Keempat, apabila diperhatikan ajaran-ajaran yang dibawa oleh pembawa-pembawa agama itu, maka dapat diketahui bahwa ajaran-ajaran itu selalu bertentangan dengan pikiran-pikiran yang hidup dalam waktu itu. Kelima, pendiri-pendiri daripada agama-agama itu semua menunjukkan tanda-tanda bukti dan mukjizat-mukjizat. Mereka menerangkan bahwa ajarannya itu akan berhasil dan siapa yang berusaha untuk menghancurkan itu, akan hancur sendiri. Padahal mereka tidak mempunyai kekuatan-kekuatan lahir dan lagi ajaran-ajaran mereka itu bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan dan kebiasaan masyarakat dan menimbulkan pertentangan yang luar biasa. Sunguhpun demikian mereka berhasil dan apa yang mereka katakan itu benar-benar terjadi. Kata-kata mereka itu terbukti dan janji-janjinya itu bisa terlaksana.
Memang, selain nabi ada juga jenderal-jenderal dan diktator-diktator yang mendapatkan sukses, tetapi mereka tidaklah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan alam pikiran pada waktunya. Mereka tidak mengatakan bahwa Tuhan telah menjanjikan mereka kemenangan, sekalipun ada tantangan yang bagaimanapun. Mereka tidak harus berhadapan dengan oposisi yang besar dari orang-orang yang sezaman dengan mereka. Apabila mereka kalah, sebenarnya mereka tidak kehilangan apa-apa. Mereka masih dianggap besar dan tinggi oleh rakyatnya dan tidak takut apa-apa.
Hal itu sangat berbeda dengan Nabi Musa a.s., Nabi ‘Isa a.s., dan Nabi Muhammad s.a.w. Memang, mereka tidak gagal. Tetapi andaikata mereka itu gagal, mereka akan kehilangan segala-galanya. Mereka tidak akan dibangga-banggakan oleh masyarakatnya, tapi mereka akan dimaki-maki sebagai nabi palsu dan pembohong. Sejarah tidak akan menghargai sedikit pun kepada mereka dan hinaan dan cercaan selama-lamanya adalah sebagai pembalasan bagi mereka.
Sewaktu orang mempelajari peradaban dan kebudayaan pelbagai negeri, orang akan mendapatkan bahwa dalam beberapa periode, peradaban sesuatu negeri itu demikian maju hingga kalau tidak memperhitungkan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh mesin dalam abad modern ini maka kemajuan-kemajuan yang diperoleh dalam zaman-zaman yang lalu daripada sejarah umat manusia itu rupa-rupanya tidak demikian berbeda daripada kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam waktu kita sekarang ini.
Peradaban adalah suatu konsep yang murni materialistik. Apabila kemajuan materi tercapai maka terdapatlah kenikmatan dalam hidup ini. Kenikmatan dalam hidup ini merupakan peradaban. Tetapi kebudayaan adalah lain dari peradaban.
Menurut pertimbangan yang wajar hubungan antara kebudayaan dengan peradaban adalah seperti hubungan antara jiwa manusia dengan tubuhnya. Perbedaan-perbedaan dalam peradaban adalah perbedaan-perbedaan dalam kemajuan materi, tetapi perbedaan-perbedaan kebudayaan, disebabkan karena perbedaan kemajuan rohani. Kebudayaan dari suatu golongan dapatlah dikatakan terdiri dari ide-ide yang tumbuh di bawah pengaruh ajaran-ajaran agama. Ajaran-ajaran agama itulah yang memberikan dasar kebudayaan.
Dalam suatu waktu peradaban dan kebudayaan kadang-kadang terpisah, kadang-kadang tidak. Bisa juga sesuatu bangsa pada sesuatu zaman mencapai peradaban yang tinggi, tetapi tidak mencapai kebudayaan yang besar. Kadang-kadang sebaliknya, sesuatu negeri mencapai kebudayaan yang tinggi, tetapi peradabannya tidak. Romawi dalam zaman kebesarannya adalah pemilik peradaban yang besar, tetapi tidak mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Proses dan tingkatan peradaban dan kebudayaan itu menunjukkan bahwa kedua-duanya juga mengalami kemajuan. Kebudayaan umat manusia dan peradabannya harus sampai kepada kesempurnaan yang stabil dan pertumbuhannya itu harus mendapat bimbingan dari ajaran-ajaran agama. Agama-agama sebelum Islam tidak sanggup menampung dan memberikan bimbingan itu. Ini menunjukkan perlunya Al Quran diturunkan yang akan memberi petunjuk kepada seluk-beluk tingkah laku umat manusia dengan pelbagai macam ragamnya sesuai dengan revolusi kebudayaan umat manusia. (Departemen Agama Republik Indonesia, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989, h. 40 – 51)
Agama adalah risalah yang disampaikan Tuhan kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dan hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, dirinya sebagai hamba Allah, manusia, dan alam sekitarnya.
Oleh karena agama Islam itu membawa peraturan-peraturan Allah yang wajib dipatuhi, manusia Islam bukan saja menjauhkan diri dari kemungkaran dan selalu berbuat kebajikan, melainkan juga mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran itu. Bahkan agama Islam menyebabkan manusia memiliki sifat kompetitif dalam kebaikan dan sifat futuristik.
Agama Islam adalah jaminan kebahagiaan bagi seluruh manusia dan jin di dunia dan akhirat. Islam mengantarkan manusia kepada keridhaan Ilahi. Islam membawa manusia kepada surga, selamat dari bencana dunia dan akhirat. Islam menghindarkan manusia dari kesesatan.
Ketika manusia menjadikan kesempurnaan Islam sebagai maksud hidupnya, pertama kali Allah akan memberkahi kehidupannya. Lalu Allah s.w.t. menjaga kehidupannya sebagaimana Allah s.w.t. menjaga Baitullah (Ka’bah). Allah s.w.t. akan menolongnya sebagaimana Allah menolong para Anbiya a.s., masalahnya akan diselesaikan oleh Allah s.w.t. dengan Kudrat-Nya, dan keturunannya pun akan dijaga oleh Allah s.w.t. dalam keturunan yang saleh.
Orang-orang pengamal Islam adalah orang-orang yang utama di sisi Allah s.w.t. di sisi mereka ada Allah s.w.t., di belakang mereka ada Allah s.w.t., di setiap masalah mereka ada Allah s.w.t. senantiasa membantu dan menjaga.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kesempurnaan Islam adalah rohani yang suci dari segala kotoran hati. Jasadnya bersih dari amal perbuatan yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi s.a.w. Ridha Allah s.w.t. hanya terletak pada Islam secara kaffah. Dengan demikian, setiap gerakan hati ataupun badan seorang muslim dalam mentaati agama, itu mengandung kebahagiaan.
Jika jalan meraih kesuksesan hidup itu melalui agama, Allah s.w.t. akan memberikan kesuksesan itu. Akan tetapi, jika manusia berusaha meraih kesuksesan melalui materi dan kekayaan, Allah s.w.t. justru akan memberinya kesuksesan yang sementara.
Apabila manusia baik, seluruh alam akan menjadi baik. Sejauh mana usaha kebaikan manusia diwujudkan, sejauh itu pula alam akan memberikan balasan kebaikan yang setimpal bagi manusia. Sebaliknya, sejauh mana manusia mengabaikan usaha kebaikan pada diri dan jiwanya, sejauh itu pulalah alam semesta akan menjadi musuh baginya. Kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesesatan, kemuliaan dan kehinaan, keselamatan dan malapetaka, kehidupan dan kematian, kesehatan dan kesakitan, semuanya datang dari Allah s.w.t. Seluruh keadaan di dunia ini berhajat kepada Allah s.w.t. dan dalam kekuasaan Allah s.w.t.
Bila kita jalani kehidupan ini hanya sekedar memuaskan nafsu dan syahwat saja, berarti jalan yang ditempuh adalah jalan setan. Musuh yang senantiasa menginginkan manusia terjauh dari kebahagiaan yang sesungguhnya. Musuh yang akan membawa manusia kepada kegagalan di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, bila manusia menjalani hidup dan kehidupan ini berpegang pada tali agama Allah s.w.t., niscaya manusia akan selamat di dunia maupun di akhirat dan tidak akan tersesat selama-lamanya seperti yang telah diperingatkan Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya yang artinya:      “Aku tinggalkan untuk kalian yang jika kalian berpegang teguh padanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, sesuatu yang sudah jelas, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.”  (Departemen Agama Republik Indonesia, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989)

Dengan menuruti hukum Allah s.w.t. dan sunnah Rasulullah s.a.w., niscaya Allah s.w.t. menjanjikan kebahagiaan. Segala perbuatan yang berdasarkan aturan Allah s.w.t. dan sunnah Rasul-Nya, akan dinilai sebagai perbuatan yang berpahala, bernilai agama.
Hukum Allah s.w.t. dan sunnah Rasul-Nya adalah suci. Diri manusia ini kotor, najis, karena diciptakan dari air mani dan diciptakan dari tempat keluar kotoran. Benda-benda yang di luar indah-indah, tetapi ketika dimasukkan ke dalam perut manusia, ia akan keluar menjadi najis yang busuk dan kotor menjijikkan. Untuk mensucikan diri kita, manusia hendaklah mentaati Allah s.w.t. dan mengikuti cara hidup Rasulullah s.a.w.
Krisis multidimensi tidak akan melanda bangsa Indonesia. Krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya tak akan mengikis pilar-pilar kehidupan bangsa Indonesia apabila semua komponen bangsa Indonesia melaksanakan nilai-nilai agama secara kaffah. Bangsa Indonesia yang diklaim sebagai negeri yang mayoritas beragama Islam yang memiliki perilaku dan moral yang mencerminkan nilai-nilai agama Islam akan menciptakan dan melahirkan peradaban baru dalam sejarah dunia.
Nilai-nilai agama Islam itu terdapat dalam Al-Quran dan Al-Hadist seperti yang telah dicontohteladani oleh Rasulullah s.a.w. Dalam konteksnya dengan kebudayaan, Al-Quran dan Al-Hadist itu merupakan inspirasi dalam berbagai karya seni. Ada kaligrafi, ada pantun, ada syair, dan ada gurindam.
Agama dan budaya merupakan dua entitas (wujud; satuan yang berwujud dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 304) yang absurd (tidak masuk akal; mustahil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 3) untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Karenanya, dalam pentas sejarah perkembangan peradaban anak manusia di belahan dunia mana pun, agama dan budaya selalu mengalami pergumulan secara sangat signifikan dan tak terkecuali pada belahan dunia Melayu. Agama dan budaya dalam dunia Melayu mempunyai pertalian yang saling terkait-padu, saling jalin-berkelindan antara keduanya. Dengan kata lain, agama (baca : Islam) dan budaya (baca: Melayu) sudah menyatu dan senyawa dalam kehidupan (keseharian) orang-orang Melayu. Bahkan agama Islam memberikan isi pada definisi tentang “Kemelayuan”. Maka seseorang dapat dianggap “Melayu”, apabila telah memenuhi persyaratan, di antaranya : beragama Islam. (Judith Nagata, Adat in the City : Some Perfections and Practise Among Urban Malays, BKI, Deel 130, 1974, h. 91, dikutip dari Alimuddin Hassan, Proyek Proposal : Persuratan Intelektual Melayu-Riau : Meneroka Pemikiran Politik Raja Ali Haji di tengah Pemikiran Agama dan Budaya Politik Islam Melayu, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003, h. 1)
Namun segera harus ditambahkan, meskipun agama dan budaya absurd dipisahkan, tetapi dikarenakan dua entitas yang distingtif, tentu dapat dibedakan. Perbedaan prinsip antara agama dan budaya setidaknya dengan dua alasan: pertama, “argumen ideal-epistimologis”[1]. Bahwa agama adalah kebenaran bersumber dari wahyu sebagai ciptaan Tuhan. Untuk itu, kebenaran yang dikandungnya bersifat absolut dan universal, berlaku untuk semua waktu dan ruang. Sementara budaya adalah kebenaran berasal dari akal sebagai ciptaan manusia. Karenanya, kebenaran yang dikandungnya bersifat relatif dan lokal, terbatasi oleh waktu dan ruang. Maka ketika kedua kebenaran ini dikonfrontir, tentu saja, kebenaran absolut-universal (agama) akan menang melawan kebenaran relatif-lokal (budaya).[2]
3.      Raja Ali Haji dan Gurindam Dua Belas
Telaah mengenai Raja Ali Haji sudah banyak dilakukan. Studi mengenai predikat ulama yang disandang Raja Ali Haji telah dilakukan banyak orang. Namun, telaah mengenai Gurindam Dua Belas yang merupakan buah tangan Raja Ali Haji belum banyak dilakukan orang.
Ada sekian banyak tulisan yang merancukan tokoh Raja Ali Haji dengan Raja Haji, dengan Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau VIII, dengan Raja Ali Kelana. Padahal kerancuan sederhana seperti itu sebenarnya sama sekali tidak perlu terjadi apabila orang dituntun untuk memahami kebudayaan Melayu.[3]
Cukup banyak nama Ali dalam runtunan peristiwa penting di Riau. Ini sering menjadi punca kerancuan bagi orang-orang yang kurang teliti mengikuti peristiwa tersebut. Selain Ali bin Raja Ahmad atau Raja Ali Haji, ada Ali Yang Dipertuan Muda Riau V (1784 – 1806) yaitu Raja Ali Ibni Daeng Kamboja, ada Ali yang menjadi Yang Dipertuan Muda Riau VIII (1845 – 1857) yaitu Raja Ali bin Raja Ja’far, ada Ali yang menjadi Kelana terakhir pada Kerajaan Riau Lingga yaitu Raja Ali Kelana atau dikenal juga dengan nama Raja Haji Ali bin Ahmadi.[4]
Raja Haji
 



        














Raja Ahmad Engku Haji Tua
 



Raja  Ja’far
 



















R. Abdul Hamid
 

Text Box: Raja Ali Haji
Raja Ali
 

Raja Abdullah
 


























Raja Abdul Mutalib
 

R.M. Yusuf Al-Ahmadi
 


R.M. Tahir
 














Raja Ali Kelana
 

Badriah M. Tahir
 

R.H.M. Said
 









Berdasarkan ranji di atas[5], Raji Ali Haji adalah cucu dari Raja Haji[6]. Ali adalah nama sebenar dari Raja Ali Haji. Dalam buku-buku lama, nama Raja Ali Haji dikenal pula sebagai Raja Ali Al-Hajj, Raja Ali ibni Raja Haji Ahmad, dan Al-Hajj Ali ibni Ahmad Al-Riauwiyah.[7] Bila kita merujuk pada istilah sekarang, nama Raja Ali Haji adalah Haji Raja Ali.
Raja Ali Haji adalah Raja Ali Al-Hajj ibni Raja Ahmad Al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah atau Engku Haji Ali Ibni Engku Haji Ahmad Riau. Dilahirkan di akhir tahun 1808 di Pulau Penyengat. Ayahnya bernama Raja Ahmad dan ibunya bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor.
Raja Ali Haji tokoh terkenal dan dihormati dalam sejarah kehidupannya. Pada tahun 1868, utusan Abu Bakar dikirimkan menemui Raja Ali Haji sebab dia “seorang raja yang tua lagi berilmu”. Raja Ali Haji boleh dikatakan mewakili golongan elit Riau. Dia keturunan Bugis-Melayu dan cucu Raja Haji (syahid 1784). Beberapa kali berkunjung ke Pulau Pinang, Timur Tengah, Betawi, dan Singapura bersama ayahnya. Dia mendapat didikan yang baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Arab dan bercampur gaul dengan orang pintar dan sarjana-sarjana Belanda. Pada akhir abad ke-19 dia dijadikan sebagai contoh teladan masyarakat. [8]
Raja Ali Haji adalah sarjana bahasa Arab dan dia tentu mengetahui bahwa sejarah dianggap sebagai pelajaran ilmiah oleh ulama. Raja Ali Haji mengajar bahasa Arab, ushuluddin, fiqh, tasawwuf. Salah seorang muridnya ialah saudara sepupunya yang bernama Raja Abdullah (kemudian menjadi Yamtuan Muda).[9] Dalam setiap karyanya tampak sekali pemikiran-pemikirannya di bidang keagamaan. Hal ini disebabkan karena Raja Ali Haji, menurut Hasan Junus, “sebagai ulama-pengarang dan pengarang-ulama, sumber rujukannya al-Quran dan al-Hadist”.[10]
Raja Ali Haji adalah seorang sastrawan, sejarawan, budayawan, ulama, dan pemikir politik. Raja Ali Haji telah mengarang berbagai Kitab, meliputi bahasa, sastra, sejarah, hukum, dan agama. Diperkirakan beliau telah mengarang sampai belasan buku, di antaranya :
a.       Hikayat (Sultan) Abdul Muluk
b.      Gurindam Dua Belas
c.       Bustan Al-Katibin
d.      Pengetahuan Bahasa
e.       Salasilah Melayu dan Bugis
f.        Tuhfat Al-Nafis
g.       Mukaddimah fi Intizam waza’if al-Malik
h.       Tsamarat al-Muhimmah
i.         Syair Hukum Nikah
j.        Syair Sinar Gemala Mestika Alam
k.      Syair Suluh Pegawai
l.         Syair Siti Shihanah
Raja Ali Haji adalah pengarang yang produktif. Kebanyakan karyanya berunsur didaktis. Dia memikul tanggung jawab atas pemeliharaan dan penegakan adab dan adat dalam masyarakatnya dan bersikap bahwa orang-orang besar itu orang yang memeliharakan adab dan adat. Karya-karyanya sangat sarat dengan pesan-pesan moral-agama.
Persepsi Raja Ali Haji mengenai masa lampau tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pemikiran keagamaannya yang pada dasarnya dipengaruhi tulisan Abu Hamid Al-Ghazali yang wafat pada 1111 M. Pada akhir abad ke-18, karya Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Revitalisasi Ilmu-ilmu Agama) diperkenalkan kembali pada dunia Islam dan perhatian yang timbul berlanjut sepanjang periode kebangkitan Kaum Wahabi. Kekaguman Raja Ali Haji terhadap al-Ghazali dapat dilihat pada seringnya ia mengacu pada Ihya, bahkan sering menyarankan bagian-bagian tertentu untuk dibaca lebih lanjut. Penjabarannya mengenai ciri-ciri pemerintahan, Tsammarat Al-Muhimmah, menampakkan sedikit persamaan dengan karya al-Ghazali. Nasihat al-Mulk (Nasihat untuk Raja-raja), uraian terkenal mengenai pemerintahan gaya Islam.
Kedua karya tersebut mencerminkan pandangan bahwa negara dan kewajiban utama masyarakat adalah penciptaan iklim yang mendorong pelaksanaan agama yang wajar sehingga tiap orang dapat melaksanakan tugas spiritualnya dan mempersiapkan dirinya untuk hari kiamat.
Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa dan Bustan al-Katibin, Raja Ali Haji menekankan bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan meletusnya konflik dalam masyarakat adalah ketaatan pada hukum Allah, pemahaman dan pendalaman Al-Quran di bawah guru yang ahli. Bagi Raja Ali Haji, perilaku yang benar dinyatakan menurut perintah ajaran Islam. Dengan bimbingan agama, sifat tersebut yang menjadikan manusia lebih tinggi derajatnya dari makhluk lain di dunia , mendekatkannya kepada Tuhan, malu (rendah hati), ilmu (-pengetahuan), dan akal (nalar) dapat dipelihara. Memiliki pengetahuan, pengertian, dan rendah hati, manusia tidak akan sombong atau mengagungkan dirinya sendiri. Sebaliknya memiliki keinginan untuk mendalami kebenaran Tuhan dan akhirat, masyarakat akan mendapat ketenangan jika mereka masing-masing berusaha menjaga malu, ilmu, dan akal.
Meskipun demikian, sifat tersebut senantiasa terancam oleh ketidaktahuan manusia, karenanya usaha keagamaan tidak boleh terhenti, harus terus-menerus diusahakan. Seperti dinyatakan al-Ghazali, Pem-bangkangan terhadap Tuhan, karena mengikuti hawa nafsu adalah penyakit yang terparah yang menyedihkan . Manusia dapat menyamai malaikat dengan memurnikan keinginannya, tetapi dapat tenggelam setingkat hewan bila mengikuti hawa nafsunya.
Tulisan-tulisan Raja Ali Haji menunjukkan bahwa ia lebih daripada seorang sejarawan dalam arti sempit. Ia adalah seorang guru, seorang teolog, seseorang dengan komitmen memelihara nilai-nilai tertentu dan cita-cita dengan rasa tanggung jawab yang dalam terhadap masyarakatnya. Pengertiannya dari masa lalu erat hubungannya dengan pandangan religiusnya yang pada pikirannya didasari karya alim-ulama Islam yang sangat dihormati.
Agama Islam mengandung nilai-nilai yang sangat kondusif bagi pengembangan budaya. Agama Islam adalah agama yang mengandung semangat keagamaan yang rasional dan sekaligus melahirkan daya intelektualisme kepada penganutnya. Semangat rasionalisme dan intelektualisme tidak termanifestasi pada masa sebelum Islam.
Adapun mengenai gurindam, berikut ini beberapa definisi gurindam :
(1)   Gurindam adalah puisi lama yang terdiri dari 2 baris dalam 1 bait, bersajak a-a. Kalimat pertama menyatakan perbuatan dan baris kedua menyatakan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Isinya selalu mengandung nasihat bagi para pembaca.[11]
(2)   Gurindam adalah satu bentuk dalam kesusastraan lama yang berasal dari kesusastraan Tamil, yakni salah sebuah daerah di India bagian selatan. Perkataan gurindam berarti perhiasan atau bunga. Bentuk ikatan ini mempunyai syarat-syarat sebagai berikut : (a) jumlah baris setiap bait terdiri atas 2 (dua) baris, (b) jumlah suku kata dalam setiap baris biasanya 10 hingga 14 suku kata, (c) sajaknya berumus a-a, biasanya bersajak sempurna, tetapi banyak pula gurindam yang bersajak paruh, (d) Gurindam terdiri atas 2 (dua) kalimat tunggal yang membentuk kalimat majemuk. Baris (kalimat) yang pertama merupakan sebab atau alasan, sedangkan baris (kalimat) yang kedua merupakan akibat atau balasan apa yang tersebut dalam baris (kalimat) yang pertama, (e) isi gurindam senantiasa berupa nasihat, petuah, atau filsafat. Di sinilah letak keistimewaan isi puisi berbentuk gurindam.[12]
(3)   Gurindam adalah sajak dua baris yang mengandung petuah atau nasihat.[13]
(4)   Gurindam yaitu perkataan yang bersajak juga pada akhir pasangannya tetapi sempurna perkataannya dengan satu pasangannya sahaja. Syahdan jadilah seperti sajak yang pertama itu syarat dan sajak yang kedua itu jadi seperti jawab.[14]
Jadi, gurindam adalah sajak yang terdiri dari dua baris yang mengandung petuah atau nasihat. Baris pertama berkaitan erat dengan baris kedua sebab baris pertama merupakan syarat bagi baris kedua.
Gurindam yang terkenal adalah Gurindam Dua Belas. Disebut Gurindam Dua Belas karena gurindam ini terdiri atas dua belas pasal. Gurindam Dua Belas merupakan buah karya Raja Ali Haji. Karya ini ditulis tahun 1846 dan diterbitkan pertama kali tahun 1853.
Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji sangat luas dikenal rakyat Indonesia terutama karena senantiasa ada dalam buku-buku pelajaran kesusastraan Indonesia. Sutan Takdir Alisyahbana dalam bukunya Puisi Lama menyertakan karya ini. Demikian juga dengan penulis-penulis seperti Madong Lubis, Sabaruddin Ahmad, Zubir Usman, dan Abdullah Ambary. Akan tetapi, selain dari E. Netscher (1853) baru Abdul Hadi W.M. dalam antologi Sastra Sufi (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985) menyertakan karya Raja Ali Haji ini selengkapnya.
Tulisan-tulisan yang tersebar tentang Gurindam Dua Belas baik berupa tulisan umum maupun telaah ilmiah pun telah dibuat, antara lain oleh Shaleh Saidi, Raja Ali Haji dan Gurindam Dua Belas yang diterbitkan oleh Direktorat Bahasa dan Kesusastraan / Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Singaraja, 1969.
Singkatnya, isi gurindam yang terdiri dari dua belas pasal karya Raja Ali Haji ini apabila dibuatkan bandingannya samalah seperti air sulingan yang menghasilkan saripati dari keluasan petunjuk dan nasihat yang sesuai dengan jalan sufisme. Apabila karya-karya Raja Ali Haji yang keluasan dan keragamannya mencakup berbagai bidang seperti bidang bahasa, sejarah, agama, dan hukum, dan sebagainya disanding dan dibandingkan maka akan terlihat rangkaian benang merah yang mempersatukan satu karya dengan karya lainnya.
Hal ini lebih jelas senantiasa dapat kita jumpai pada karya-karya Raja Ali Haji yang lain. Terutama apabila karya-karya tersebut disanding dan dibandingkan serta dikaitkan dengan Gurindam Dua Belas dengan karya-karyanya di bidang hukum dan pemerintahan seperti Tsamarat Al-Muhimmah dan Muqaddima Fi Intizam serta karya-karya lainnya seperti keterangan yang bersifat sufistik dalam Kitab Pengetahuan Bahasa maka akan timbul gambaran bahwa karya terkenal ini merupakan padatan dalam bentuk puisi dari wacana sufisme dari hampir semua (kalau tidak memang semuanya) karya-karya Raja Ali Haji.
Barangkali kedudukan Gurindam Dua Belas sebagaimana tersebut di atas yang menyebabkan karya ini menjadi demikian terkenal. Kalau hal seperti inilah yang menjadi alasan mengapa hanya Gurindam Dua Belas saja yang mengisi lembaran-lembaran pada bagian karya Raja Ali Haji dalam antologi-antologi dan / atau buku-buku pelajaran kesusastraan Indonesia yang lama, maka pekerjaan tersebut bukan saja dapat dipahami namun juga patut dipuji. Mudah-mudahan memang demikian alasan yang tak terkatakan ada di dalam lubuk hati atau uap pikiran para penyusun antologi dan buku-buku pelajaran sastra Indonesia yang dahulu-dahulu itu. Kalau bukan itulah alasannya maka penyusunan buku-buku harus diubah, juga dengan mempertimbangkan karya-karya Raja Ali Haji dalam embrio cerita pendek yang dengan bagus dilanjutkan oleh temannya Haji Ibrahim.[15]
Melalui Gurindam Dua Belas itu Raja Ali Haji menunjukkan minatnya yang besar terhadap tradisi dan puitika Melayu. Raja Ali Haji begitu menguasai puitika Melayu itu sehingga untuk kepentingan pengajaran dia menggubah ajaran itu dalam bentuk gurindam. Gurindam yang memendam ajaran tauhid dan akhlak Islami menempatkan Raja Ali Haji pada posisi pujangga berikut fatwanya.
Gurindam Dua Belas diawali dengan pernyataan rendah hati Raja Ali Haji dalam bentuk syair sebagai berikut :
Dengarkan Tuan suatu rencana
Mengarang di dalam gundah gulana
Barangkali gurindam kurang kena
Tuan betulkan dengan sempurna
Selanjutnya, baca pernyataan gurindam sebagai pengantar,
Persimpanan yang indah-indah
Yaitulah ilmu yang memberi faedah
Aku hendak bertutur
Akan gurindam yang beratur
Begitulah Raja Ali Haji mengawali ajarannya dalam susun kata yang tiada cela. Bagaimana kita diminta “betulkan dengan sempurna” gurindam yang sempurna itu sebagai gurindam, tentulah sia-sia karena bentuk gurindam itu sudah sempurna.
Dari segi isi ajaran yang disampaikan, Raja Ali Haji memulai dengan pernyataan iman tauhid sebagai berikut :
Barang siapa tiada memegang agama
Sekali-kali tiada boleh dibilang nama

Barang siapa mengenal yang empat
Maka yaitulah orang yang makrifat

Empat hal itu mencakup kenal akan Allah, kenal akan diri sendiri, dan kenal akan dunia. Itulah yang menjadi dasar tauhid seorang hamba dan dinyatakan dalam rangkaian kata yang teratur sebagai gurindam.
Pada Gurindam Dua Belas pasal yang kedua dikemukakan ikhwal prinsip Islam yang mencakupi syahadat, sembahyang, berpuasa, berzakat, dan berhaji. Kelima rukun Islam itu dinyatakan dalam lima gurindam, satu rukun dalam satu gurindam. Di sinilah letak kekuatan sistematika ajaran Islam yang disampaikannya.
Hal berikutnya diajarkan adalah ilmu tasawuf dengan penekanan pada budi pekerti. Dalam pasal ketiga, misalnya dikemukakan, “Apabila terpelihara mata/ sedikitlah cita-cita // Apabila terpelihara kuping / kabar yang jahat tiadalah damping” dan seterusnya berurusan dengan ikhwal menjaga anggota tubuh yang lainnya juga mulai dari lidah, tangan, perut, hingga kaki. Pada pasal keempat dikemukakan ikhwal menjaga hati; Hati itu kerajaan di dalam tubuh / Jikalau zalim segala anggota pun rubuh. Pasal ini terdiri atas sebelas gurindam dengan keteraturan rima yang tetap terjaga.
Pasal lima hingga pasal delapan berkaitan dengan ajaran tentang bagaimana berhubungan dengan orang lain, pendeknya bermasyarakat, misalnya anjuran : Jika hendak mengenal orang berbangsa / Lihat kepada budi dan bahasa // Jika hendak mengenal orang yang baik perangai / Lihatlah pada ketika bercampur dengan orang ramai. Pada pasal ini pula diungkapkan ajaran kepada anak, misalnya : Apabila anak tidak dilatih / Jika besar bapaknya letih. Ajaran yang berkaitan dengan keluarga itu ditegaskan lagi dalam pasal sepuluh, seperti jangan durhaka kepada bapak, hendaklah hormat kepada ibu, jangan lalai kepada anak, kepada istri (dan gundik) jangan lupa. Peringatan akan bahaya setan dan iblis masuk juga dalam gurindam kesembilan yang menekankan pentingnya memelihara akhlak dari perilaku setan dan iblis, dikemukakan : Tahu Pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan / Bukannya manusia yaitulah setan // Kejahatan seorang perempuan tua / Itulah iblis punya punggawa // Kebanyakan orang yang muda-muda / Di situlah setan tempatnya berkuda. Peringatan ini diakhiri dengan anjuran : Adapun orang tua yang hemat / Setan tak suka membuat sahabat // Jika orang muda kuat berguru / Dengan setan jadi berseteru. Gurindam Dua Belas ditutup dengan pernyataan : Akhirat itu terlalu nyata / Kepada hati yang tidak buta.
Begitulah isi fatwa sang Pujangga, Raja Ali Haji. Ada sistematika isi ajaran yang dilatarbelakangi dengan nilai-nilai tauhid dan tasawuf. Perumpamaan yang ada di dalamnya mengingatkan kita pada tradisi kaum sufi dalam mengemukakan ajarannya kepada sang murid. Demikian juga ikhwal yang menyangkut penataan antarhubungan dimulai dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan masyarakat. Sistematika ajaran yang disampaikan demikian teratur disampaikan dalam bentuk yang teratur pula, yakni gurindam. Atas dasar ini dapat disebut Raja Ali Haji itu pujangga agama artinya pujangga penganjur ditegakkan nilai-nilai keberagamaan dalam lingkungan terkecil hingga lingkungan yang lebih luas.[16]
Dendy Sugono dan A. Rozak Zaidan menempatkan Raja Ali Haji sebagai munsyi dan pujangga. Dalam konteks zaman yang sarat dengan intrik dan konflik kepentingan antarsesama Melayu dan Bugis, Raja Ali Haji berhasil mempersembahkan karya yang tidak mungkin dilupakan generasi sekarang. Rintisannya dalam bidang kajian kebahasaan dan leksikografi hendaknya diletakkan dalam perspektif zamannya. Dengan cara itu dapat diberikan penghargaan yang selayaknya. Sebagai pujangga, sumbangannya pada tradisi puitika Melayu melalui Gurindam Dua Belas menempatkan dirinya pada posisi terhormat. Gurindam menjadi bentuk khas yang diwariskan kepada generasi berikutnya yang dengan model puitika gurindam dapat bertutur dengan santun dan puitis. Lebih lanjut, Dendy Sugono dan A. Rozak Zaidan menyebut Raja Ali Haji sebagai pujangga agama artinya pujangga penganjur ditegakkan nilai-nilai keberagamaan dalam lingkungan terkecil hingga lingkungan yang lebih luas.
Gurindam Dua Belas terdapat kata-kata yang berpasangan. Kata-kata itu digunakan secara metaforis dan umpamaan. Penggunaan kata seperti itu ada hubungannya dengan sifat gurindam yang terdiri dari dua larik dan sama atau menyerupai kalimat majemuk. Tiap-tiap larik ada kata kuncinya. Kata kunci pada larik pertama berhubungan dengan kata kunci pada larik kedua. Hubungan makna kedaua kata itu ada yang bersifat sebab akibat dan ada pula yang bersifat pernyataan-penjelasan.
Hanya Raja Ali Haji yang mengetahui dengan pasti mengapa gurindamnya dinamai Gurindam Dua Belas. Sebagai seorang ulama, guru, dan penyair, Raja Ali Haji tidak sembarangan menggunakan nama. Nama itu mempunyai makna tertentu dan ada hubungannya dengan tujuan yang ingin dicapainya. Kata dua belas adalah indeks jumlah pasal dalam Gurindam Dua Belas. Jumlah pasal itu mungkin ada hubungannya dengan jumlah bulan dalam setahun sehingga kata dua belas dapat berarti ‘bilangan bulan’. Bilangan bulan berarti ‘kehidupan’. Gurindam Dua Belas adalah gurindam tentang kehidupan.
Pasal pertama Gurindam Dua Belas adalah bagian yang paling mendasar. Kata agama dan makrifat merupakan kata kunci. Kata agama berarti ‘aturan’ atau ‘landasan’. Kata makrifat berasal dari tasawuf yang berarti ‘mengenal Tuhan dengan hati’.
Konsep makrifat dalam Gurindam Dua Belas adalah mengenal Allah, diri sendiri, dunia, dan akhirat. Mengenal Allah adalah melaksanakan suruhan dan perintah-Nya, yaitu “tidak menyalah” yang  berarti ‘pasrah’. Mengenal diri disamakan dengan mengenal Tuhan. Artinya, langkah awal mengenal Tuhan adalah terlebih dahulu mengenal diri sendiri. Manusia adalah bagian alam dan alam adalah tanda keberadaan Tuhan. Kemudian kata dunia disamakan dengan “barang yang terpedaya”. Dunia berarti ‘sesuatu yang tidak berarti’. Dalam hal ini akhirat dikontraskan dengan dunia. Dunia adalah mudarat. Mudarat berarti ‘kerugian’, ‘tak berguna’. Gambaran tentang dunia adalah sama dengan konsep zuhud dalam tasawuf. Dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, pengembara mengabaikan kehidupan kematerian. Cinta pada materi akan menghambat perjalanan menuju Tuhan. Cinta kepada Tuhan lebih utama. Gambaran masalah itu terdapat pada kutipan pasal 2.
Pasal kedua adalah penjabaran larik ketiga pasal pertama, yaitu mengenal yang empat. Mengenal yang empat berarti memahami makna takut. Takut dalam konteks taqwa. Hakekat taqwa adalah melaksanakan sembahyang, puasa, zakat, dan haji. Gambaran tentang taqwa terlihat pada kutipan pasal 2.
Dalam pasal 2 terlihat bahwa orang yang tidak sembahyang diumpamakan dengan rumah tidak bertiang. Tiang merupakan komponen dasar yang membuat bangun rumah berdiri tegak. Orang yang tidak berpuasa dianggap tidak mendapat dua termasa atau tamasya. Tamasya berarti kenikmatan. Dua tamasya berarti dua kenikmatan yaitu kenikmatan beribadah dan kenikmatan akhirat mendapatkan pahala. Dalam hal ini terjadi metafora puasa dengan kenikmatan. Puasa sama dengan kenikmatan. Metafora yang sama terdapat pada kata zakat dan berkat, haji dan janji. Harta yang tidak dizakatkan tidak akan mendapat berkat. Zakat adalah berkat. Haji adalah rukun Islam yang terakhir. Sebagai salah satu rukun Islam, haji harus dilaksanakan oleh muslim yang telah memenuhi persyaratan. Upaya untuk memenuhi persyaratan itu diibaratkan sebuah janji.
Pasal ketiga sampai pasal keempat adalah berbicara tentang diri manusia. Pasal ketiga khusus membicarakan fungsi indra atau alat tubuh yang lain. Hakekat kehidupan manusia adalah memanfaatkan indra atau anggota tubuh pada fungsinya yang benar. Kalau penggunaannya tidak benar, resiko sudah menunggu. Mata, kuping, lidah, tangan, perut, kelamin, dan kaki, kalau tidak difungsikan dengan benar akan menjadi sumber bencana. Mata disamakan dengan cita-cita atau keinginan. Dengan mata kita dapat melihat berbagai hal sehingga timbul keinginan. Cita-cita dalam konteks ini berarti “keinginan jelek”. Kuping disamakan dengan kabar. Sebab melalui kuping kita mendengarkan bermacam-macam kabar. Dalam hal ini kuping dilihat dari segi fungsinya. Penyamaan alat tubuh dengan fungsinya terlihat juga pada pasangan kata lidah dan faedah, tangan dan berat dan ringan. Penyamaan kata perut dengan fi’il tidak senonoh, dan kaki dengan rugi lebih dititikberatkan pada akibat. Kalau orang makan banyak akan kentut, bersendawa, dan berak. Artinya, kita disuruh makan secukupnya. Frasa anggota tengah berarti kemaluan. Anggota tengah disamakan dengan hilang semangat. Orang yang menggunakan anggota tengahnya secara sembarangan bisa jadi akan mendapat penyakit kelamin yang dapat menyebabkan lemah syahwat. Hal itu terlihat pada kutipan pasal 3.
Metafora yang menarik juga terdapat pada pasal keempat. Hati dimetaforakan dengan raja. Raja adalah penguasa dalam tubuh. Penguasa dapat berbuat anarkis dan membawa kehancuran bagi tubuh. Hati adalah pengendali semua perilaku manusia. Kata hati dikontraskan dengan lalim. Kontras makna itu sama kontras kata tubuh dan rubuh. Kata hati berkaitan dengan tubuh dan kata lalim berkaitan dengan rubuh.
Inti pasal keempat adalah pada larik yang berbunyi : Hati itu kerajaan di dalam tubuh / Jika lalim segala anggota pun rubuh. Larik-larik berikutnya hanya penjabaran dari kedua larik itu. Masalah dengki diumpamakan anak panah yang dapat menusuk diri sendiri. Kata pikir dikontraskan dengan tergelincir. Kata pikir berarti ‘aktivitas intelektual’. Kata tergelincir berarti bahaya yang tidak disangka. Kedua kata itu sengaja dipertentangkan untuk mendapatkan efektivitas makna. Mengumpat dan memuji pun harus dipikirkan agar tidak tergelincir. Kata marah disamakan dengan hilang akal. Hilang akal berarti ‘lupa diri’ atau ‘gila’. Perumpamaan yang menarik adalah pada kata bohong ‘dusta’ dan pekong ‘penyakit kulit’. Pekong adalah metafora dari mulut. Penyakit kulit berarti menjijikkan atau berbahaya. Mulut adalah sama dengan berbahaya. Bohong berarti berbahaya. Metafora yang sama dengan itu, yaitu perkataan kotor dan ketor. Dalam hal ini yang dibandingkan adalah sifatnya. Perkataan kotor dan ketor adalah dua kata yang bermakna sama yaitu kotor. “Orang yang amat celaka” disamakan dengan aib dirinya. Celaka dan aib mempunyai makna yang sama, yaitu ‘tidak beruntung’. Bakhil ‘pelit’ dimetaforakan dengan perampok ‘pencuri’. Perampok kemudian berarti ‘penjahat’ dan penjahat adalah ‘musuh’. Bakhil disamakan dengan musuh karena tidak ada keinginan untuk membantu orang lain. Frasa ‘sudah besar’ dikontraskan dengan kasar. Sudah besar berarti dewasa, sedangkan kata kasar berarti tidak berbudi, ‘tidak sopan’. Orang dewasa haruslah berbudi. Perbandingan yang mirip adalah “salah diri” dengan “orang lain” dan takabur dengan sapih. Kesalahan diri hanya diketahui melalui orang lain. Orang yang takabur akan mendapat penyakit.
Permasalahan yang disampaikan pada pasal kelima dan keenam adalah mengenal orang lain. Secara garis besar, isi dua pasal Gurindam Dua Belas tersebut merupakan nasihat untuk mengenal dan berkomunikasi dengan orang lain. Pasal kelima menggambarkan ciri pengenal orang yang baik, sedangkan pasal keenam merupakan anjuran untuk menemukan orang yang dapat diajak untuk berkomunikasi. Pada pasal 5 hanya ada tiga orang yang digambarkan cirinya, yaitu orang yang berbudi, orang berbahagia, dan orang yang berilmu. Kata berbangsa dipasangkan dengan kata budi dan bahasa. Berbangsa berarti “berperadaban” yang artinya sama dengan budi dan bahasa. Budi dan bahasa berarti ‘sopan’. Kata itu hampir sama artinya dengan kata mulia, berakal, dan baik perangai.
Penggunaan kata-kata yang bersinonim menunjukkan bahwa pengarang adalah orang yang luas pengetahuan bahasanya. “Orang yang berbahagia” disamakan dengan “memeliharakan yang sia-sia”. Frasa “orang yang berbahagia” berarti ‘orang yang tenang dan tidak mempunyai masalah’. Frasa itu disamakan dengan frasa “memeliharakan yang sia-sia” yang berarti ‘menghargai atau peduli pada hal-hal kecil’. Ciri orang berilmu adalah “bertanya dan belajar”. Belajar dan bertanya berarti ‘mencari’. Orang berilmu adalah orang yang rajin mencari. Kata berakal disamakan dengan bekal. Berakal berarti ‘berpikir’. Orang yang berpikir akan mencari bekal hidup. Frasa “baik perangai” dikaitkan dengan “orang ramai”. Baik perangai berarti ‘baik budi’. Orang yang baik perangai hanya dapat dilihat dalam hubungan-nya dengan orang banyak.
Kalau pada pasal kelima digunakan kalimat pengandaian, pada pasal keenam digunakan kalimat perintah. Kalimat perintah bermakna ‘kepastian’ sebagai kebalikan makna kalimat pengandaian. Pada pasal ini kata “sahabat” dipadankan dengan “obat”, kata guru dikontraskan dengan seteru, istri dengan diri, kawan dengan setiawan, dan abdi dengan budi. Kata sahabat berarti “teman” dan kata obat berarti “penawar”. Teman disamakan dengan penawar. Kata guru berarti “pengajar” dan kata seteru berarti “musuh”. Dalam hal ini guru dianggap penyelemat dari musuh. Kata istri berarti ‘pendamping hidup’ atau ‘kawan dekat’. Kata diri berarti ‘pribadi’. Kawan dekat adalah sama dengan diri pribadi. Kata kawan dan setiawan mempunyai makna yang hampir sama dengan pasangan kata istri dan diri. Kata abdi disamakan dengan budi. Kedua kata itu mempunyai makna yang sama, yaitu ‘sopan’.
Isi pasal ketujuh dan pasal kedelapan hampir sama dengan isi pasal ketiga dan keempat. Dalam kedua pasal itu dibicarakan permasalahan diri manusia secara umum. Yang menarik dalam pasal ketujuh adalah penggunaan frasa yang bermakna kontras. Pada larik berikutnya digunakan frasa “melebih-lebihkan suka” dan “hampirkan duka”. Kata melebih-lebihkan maknanya kontras dengan kata hampirkan. Kata suka berkontras dengan duka. Penggunaan frasa yang sama terlihat pada larik berikutnya, yaitu frasa “kurang siasat” dan “hendak sesat”. Kedua frasa itu memperlihatkan makna yang kontras. “Kurang siasat” dapat berarti ‘kurang pikir’ atau ‘tanpa pikir’ dan “hendak sesat” berarti ‘akan sesat’. Pikir dan sesat dipertentangkan. Selain itu, ada juga frasa yang unsurnya bersifat kontras, yaitu “mencela orang” dan “dirinya kurang”. Kata orang dipertentangkan dengan kata dirinya. Kata mencela dipertentangkan dengan kata kurang. Mencela berarti ‘mengejek’. Orang yang mengejek biasanya menganggap dirinya pandai. Kata mencela mengandung komponen makna ‘pandai’. Kata kurang berarti ‘bodoh’. Dalam hal ini pandai dikontraskan dengan bodoh.
Pemanfaatan makna kontras pada pasal ketujuh terlihat pada pasangan kata kabar dan sabar, kata benar dan honar. Kabar berarti ‘berita’ atau ‘informasi’. Kabar biasanya dibawakan oleh orang atau disiarkan melalui media masa. Itu berarti dalam kabar ada komponen makna ‘aktif’. Kata sabar berarti ‘tenang’ atau ‘menerima’. Pada kata sabar terdapat komponen makna ‘pasif’. Sikap aktif dan pasif dipertentangkan. Kata benar berarti ‘tidak salah’ atau ‘sesuai sebagaimana adanya’ dan honar berarti ‘akal busuk’ atau ‘mengacaukan’. Dalam hal ini dipertentangkan yang baik dan yang tidak baik.
Selain frasa dan kata yang bermakna kontras, dalam pasal ketujuh terdapat pasangan kata yang bersinonim, misalnya berkata-kata dan dusta, dilatih dan letih, tidur dan umur, perkataan yang lemah lembut dan orang mengikut, kasar dan gusar. Kata berkata-kata berarti ‘berbual’ dan bual adalah dusta. Kata dilatih dan letih mempunyai komponen makna yang sama yaitu ‘letih’. Orang yang berlatih akan letih. Kata tidur berarti ‘istirahat tubuh dan kesadaran’. Kata umur berarti ‘lama hidup’ atau ‘usia’. Kedua kata itu mempuyai komponen makna ‘hidup’. Orang yang tidur adalah orang yang hidup. Frasa “perkataan yang lemah lembut” berarti ‘perkataan yang halus’. Frasa ‘orang akan mengikut’ berarti ‘orang akan tunduk atau taat’. Orang yang taat adalah mereka yang berjiwa lembut. Kedua kata itu mempunyai komponen makna ‘halus’.
Isi pasal kedelapan lebih banyak berkaitan langsung dengan diri manusia. Yang menonjol pada pasal itu adalah penggunaan kata atau frasa yang bermakna kontras. Kata diri dikontraskan dengan kata lainnya. Makna kedua larik itu adalah keutamaan menjaga diri sendiri dan orang lain. Makna kedua larik berkaitan dengan larik berikutnya. Dalam larik itu dikontraskan makna frasa “dirinya ia aniaya” dan “jangan kau percaya”. Kata aniaya bermakna ‘menyiksa’, ‘mengabaikan’. Kata percaya bermakna ‘yakin’. Pada keempat larik itu pengarang ingin menyamakan orang yang menganiaya dirinya dengan orang yang tidak boleh dipercaya. Kontras makna yang menarik ialah pada kata membenarkan dan kesalahannya. Kedua kata itu baru lengkap maknanya jika dihubungkan dengan kata-kata sebelumnya. Makna kedua larik itu adalah kebiasaaan membenarkan diri dan menyalahkan orang lain. Makna yang hampir sama dengan kedua larik itu adalah yang terdapat pada larik berikutnya. Pada larik tersebut dipertentangkan frasa “Hendaklah sabar” dan frasa “datangnya kabar”. Frasa hendaklah sabar berarti ‘harap menerima’ dan frasa “datangnya kabar” berarti ‘munculnya berita’. Artinya, jangan memuji diri sendiri tetapi tunggulah orang lain yang memuji kita. Pada larik berikutnya, frasa “menampakkan jasa” disamakan dengan frasa “mengaku kuasa”. Kata menampakkan mempunyai komponen makna yang sama dengan kata mengaku, yaitu ‘mempertunjukkan’ pada orang lain. Jasa yang ditampakkan adalah sama dengan mengaku kuasa.
Pada larik berikutnya digunakan kata kejahatan dan kebajikan, kata sembunyikan dan diamkan. Kata sembunyikan dan diamkan berarti ‘rahasiakan’ atau ‘jangan diperlihatkan’. Kata kebajikan dan kejahatan sebenarnya bermakna kontras. Akan tetapi, dalam konteks ini kedua kata itu digunakan dalam makna yang sama. Maksudnya, kalau seseorang memiliki kejahatan dan kebajikan, sebaiknya kedua hal itu dirahasiakan. Tidak perlu diberitahukan kepada orang lain. Makna yang hampir sama dengan kedua larik itu adalah pada larik berikutnya. Frasa jangan dibuka dan frasa hendaklah sangka mempunyai makna yang sama, yaitu ‘hendaklah ditutup’. Keaiban orang adalah sama dengan keaiban diri dan janganlah menyebarkan keaiban diri dan orang lain.
Ada satu perumpamaan yang menarik pada pasal kesembilan, yaitu pekerjaan tak baik disamakan dengan setan. Sesuatu yang tak baik dibandingkan dengan setan. Setan adalah makhluk tidak baik. Pekerjaan dan setan mempunyai sifat tidak baik. Makna kedua larik itu sama dengan makna larik berikutnya. Pada kedua larik ini kejahatan disamakan dengan perempuan tua. Perempuan tua kemudian disamakan dengan iblis. Kemudian metafora yang sama terdapat pada larik-larik berikutnya, yakni hamba raja disamakan dengan setan dan yang muda-muda disamakan dengan setan, dan perkumpulan laki-laki dan perempuan disamakan dengan setan. Setan berarti ‘sumber bencana’. Pekerjaan tak baik, perempuan tua, hamba-hamba raja, yang muda-muda, dan perkumpulan laki-laki dan perempuan dianggap sebagai sumber bencana.
Ada dua hal yang dianggap musuh setan, yaitu orang tua yang hemat dan orang muda yang kuat berguru (larik 129 dan 130). Sikap hemat dan kuat berguru dipertentangkan dengan setan. Sikap hemat adalah lawan sikap boros. Boros adalah pekerjaan tidak baik. Pekerjaan tidak baik adalah setan. Setan adalah bencana. Kata hemat kemudian disamakan dengan sahabat. Orang muda kuat berguru berarti ‘orang muda rajin belajar’ atau ‘orang muda yang pintar’. Orang muda yang pintar dikontraskan dengan kata setan. Kontras makna seperti itu terlihat pula pada kata berguru dan seteru. “Berguru” bermakna ‘pintar’ sebagai sifat orang muda dipertentangkan dengan “seteru” bermakna ‘bermusuhan’ sebagai sifat setan.
Semua kalimat pada pasal kesepuluh dimulai dengan kata dengan. Kata dengan diikuti kata ganti orang. Penggunaan kata dengan di awal kalimat dapat menekankan makna kata ganti di belakangnya. Kalimat-kalimat pada bagian ini menandai hubungan tujuan.  Penggunaan kata jangan dan hendaklah menandakan bahwa isi kalimat itu harus diperhatikan.
Penggunaan kata-kata yang berpasangan pada pasal kesepuluh cukup menarik. Pada bait pertama terdapat kata durhaka ‘dosa’ dan murka ‘marah’. Kedua kata itu ada hubungan maknanya dengan kata bapa dan Allah. Allah akan marah jika kita berbuat dosa pada bapak. Penggunaan kata yang serupa dengan di atas terlihat juga pada larik-larik berikutnya : hormat dan selamat, lalai dan balai, alpa dan menerpa, adil dan kafil. Kata hormat berarti ‘sopan’, ‘berbuat baik’ dan selamat berarti ‘aman’. Kata sopan dan aman menggambarkan situasi yang menyenangkan. Kata lalai berarti ‘lupa’ dan kata balai berarti ‘gedung’. Gedung berarti ‘hadiah’. Anak yang dididik dengan baik akan mendatangkan hadiah. Kata alpa ‘lupa’ dikontraskan dengan kata menerpa ‘memukul’. Kata lupa dan memukul mempunyai komponen makna yang sama yaitu ‘siksaan’. Kata adil berarti ‘tidak memihak’ dan kemudian berarti ‘berbuat baik’. Kata kafil berarti ‘penjaga’ atau ‘majikan’. Kata majikan berarti ‘pemimpin’. Pemimpin berarti ‘pelindung’ atau ‘melindungi’. Berbuat baik adalah sama dengan melindungi.
Pada pasal kesebelas terdapat pasangan kata : berjasa dengan sebangsa, kepala dan cela, amanat dan khianat, marah dan hajat, dimulai dan melalui, ramai dan perangai. Kata berjasa berarti ‘berguna’ dan sebangsa berarti ‘setanah air’. Setanah air berarti ‘masyarakat kita’. Artinya kita harus berjasa pada masyarakat kita. Kata kepala berarti ‘ketua’ atau ‘otak’. Kata otak berarti ‘berpikir’. Kata cela berarti ‘jelek’. Kata berpikir dan jelek dipertentangkan agar makna gurindam itu menjadi efektif. Dengan adanya kata buang, makna larik ke-2 bait ke-2 menjadi ‘berperangai yang baik’. Orang yang berpikir hendaknya berperangai baik. Pertentangan makna yang sama terdapat pula pada kata amanat dan khianat. Kata amanat berarti ‘sesuatu yang akan disampaikan’ dan khianat berarti ‘curang’. Kata marah berarti ‘tidak senang’ dan kata hajat berarti ‘keinginan’ atau ‘pikiran’. Makna gurindam itu harus dibalik, yaitu dahulukan keinginan baru marah. Kemarahan itu mungkin disebabkan oleh sikap orang lain yang tidak mau menerima pikiran kita yang baik. Kata dimulai berarti ‘mendahului’ dan kata melalui berarti ‘terlambat’. Ini berarti bahwa datang lebih awal lebih baik daripada datang belakangan. Kata ramai berarti ‘ramah’ dan perangai berarti ‘ramah’. Gurindam itu berarti anjuran untuk bersikap ramah.
Gurindam terakhir adalah pasal kedua belas. Pasal ini berisi masalah raja dan menteri, hukum, orang berilmu, kematian, dan akhirat. Pada gurindam pertama kata menteri disamakan dengan duri. Kata menteri berarti ‘pejabat tinggi’, ‘pembantu raja’. Kata duri berarti ‘pelindung kebun’. Gurindam itu berarti kalau raja ‘kepala negara’ bersatu dengan pembantunya, negara akan kuat. Frasa “betul hati” disamakan dengan frasa “sebarang kerja”. Frasa betul hati berarti ‘tunduk’, ‘tidak kritis’. Frasa sebarang kerja berarti ‘kerja asal-asalan’. Artinya, dalam melakukan pekerjaan harus bersikap kritis agar hasilnya baik. Kata hukum dan inayat digunakan dalam pengertian yang sama. Hukum berarti ‘aturan’. Kata aturan berarti ‘pengayoman’ dan pengayoman berarti ‘bantuan’. Kata inayat berarti ‘bantuan’ atau ‘dukungan’. Kata kasihkan berarti ‘cintai’ atau ‘cinta’; kata rahmat berarti ‘karunia’ dan karunia berarti ‘cinta Tuhan’. Kedua kata itu digunakan dalam pengertian yang sama. Artinya, mencintai orang berilmu akan mendapat cinta Tuhan. Pada larik berikutnya ada dua kata yang digunakan dalam pengertian yang sama, yaitu hormat dan mengenal. Kata hormat berarti ‘menghargai’ dan mengenal berarti ‘memahami’. Memahami berarti ‘menghargai’. Kata mati ‘tidak hidup’ dan bakti ‘berbuat baik’ mempunyai hubungan sebab akibat, yaitu dengan mengingat mati, orang akan berbuat baik. Pada larik terakhir kata nyata ‘tampak’ dan tidak buta ‘dapat melihat’ mempunyai makna yang sama. Kata nyata menjelaskan kata akhirat dan kata tidak buta menjelaskan kata hati. Itu berarti bahwa masalah akhirat bersifat abstrak dan hanya dapat dipahami dengan hati yang mendapat cahaya dari Tuhan.
Pasal-pasal Gurindam Dua Belas mempunyai kaitan. Intinya adalah pada pasal pertama. Pasal-pasal lain adalah penjelasan. Dalam pasal pertama terkandung masalah pokok, yaitu agama dan makrifat (larik 1 sampai 4). Makrifat itu adalah mengenal yang empat : Allah, diri sendiri, dunia, dan akhirat. Mengenal yang empat adalah esensi takwa (pasal 2). Esensi takwa itu adalah penjabaran dari pasal pertama, khususnya larik 5 dan 6. Pasal ketiga, keempat, ketujuh, dan pasal kedelapan adalah penjabaran pasal pertama larik 7 dan 8, yaitu masalah mengenal diri. Pasal kelima, keenam, kesembilan, kesepuluh, kesebelas, dan sebagian pasal kedua belas adalah penjabaran dari pasal pertama larik 9 dan 10, yaitu mengenal dunia. Akan tetapi penjabaran tentang masalah mengenal diri dan mengenal dunia sulit dipisahkan karena keduanya berkaitan. Permasalahan manusia dan dunia adalah satu. Esensi permasalahan dunia adalahan permasalahan manusia dalam hubungannya dengan sesamanya. Permasalahan akhirat hanya terlihat pada pasal keduabelas larik 11 – 14. Jalan menuju akhirat akan tercapai jika kita mengenal Allah, diri sendiri, dan dunia. Pintu akhirat adalah kematian. Mengingat kematian akan mengingatkan kita akan ketakwaan. Permasalahan akhirat hanya sedikit disinggung dan itu berarti bahwa akhirat itu akan dicapai dengan mudah kalau kita sudah mengenal Allah, diri sendiri, dan dunia.[17]
Lebih lanjut, Ahmad Badrun menegaskan bahwa isi Gurindam Dua Belas menggambarkan sebuah tarikat. Tarikat adalah jalan yang berpangkal pada syariat. Menurut Qutbaddin al-Ibadi dalam buku Annemarie Schimmel yang berjudul Dimensi Mistik dalam Islam, terjemahan Sapardi Djoko Damono, dkk., diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta, pada 1986, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi. Tidak mungkin ada jalan tanpa ada jalan utama sebagai pangkalnya. Pengalaman mistik tidak mungkin didapat tanpa melaksanakan perintah syariat dengan baik. Jalan itu lebih sempit dan sulit ditempuh. Pengembara harus melalui beberapa maqam untuk mencapai tauhid sempurna: pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan itu Satu. Konsep tarikat dalam Gurindam Dua Belas adalah bertolak dari agama. Dalam koridor agamalah tarikat dilaksanakan. Hanya saja konsep tarikat dalam Gurindam Dua Belas masih bersifat global.
Konsep tasawuf dalam Gurindam Dua Belas sama dengan tasawuf al-Ghazali. Makrifat bagi al-Ghazali tidak dapat dilepaskan dari fana dan merupakan esensi tasawuf. Fana adalah leburnya kesadaran pribadi dalam samudra keilahian. Dalam fana terjadi penghayatan makrifat, yaitu penghayatan langsung tentang Tuhan melalui hati. Makrifat dalam konteks itu berarti penghayatan tentang Tuhan melalui hati. Makrifat adalah level tertinggi dalam tasawuf transendentalis[18].
Akhirnya, Ahmad Badrun mengatakan bahwa Gurindam Dua Belas adalah sebuah sastra sufi. Gurindam Dua Belas berisi ajaran tasawuf untuk mencapai tauhid sejati. Seseorang dapat mencapai makrifat jika mengenal Allah, diri, dunia, dan akhirat. Pemikiran tasawuf Raja Ali Haji termasuk tasawuf transendentalis. Melalui Gurindam Dua Belas, pengarang ingin menyampaikan ajaran tasawuf yang bersumber dari ajaran agama yang benar pada pembaca dan penguasa. Para pembaca dan penguasa diharapkan dapat menghayati diri dan hidupnya dalam menuju kehidupan akhirat. Akhirat hanya dapat dipahami oleh orang yang hatinya terbuka pada kebenaran Ilahi.

BAB III
METODE PENELITIAN

1.      Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah Nilai Religius dan objek penelitian ini adalah Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas. Nilai-nilai Religius adalah nilai-nilai moral-agama, yaitu nilai-nilai kebaikan yang ditinjau dari segi moral dan segi agama. Nilai moral-agama merupakan nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist. Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas adalah pasal ketiga dari Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang terdiri dari 12 pasal.

2.      Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang terdiri atas dua belas pasal. Naskah asli Gurindam Dua Belas ditulis dengan tulisan Arab Melayu. Pasal Pertama Gurindam Dua Belas terdiri atas 12 baris. Pasal Kedua Gurindam Dua Belas terdiri atas 10 baris. Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas terdiri atas 14 baris. Pasal Keempat Gurindam Dua Belas terdiri atas 22 baris. Pasal Kelima Gurindam Dua Belas terdiri atas 12 baris. Pasal Keenam Gurindam Dua Belas terdiri atas 10 baris. Pasal Ketujuh Gurindam Dua Belas terdiri atas 22 baris. Pasal Kedelapan Gurindam Dua Belas terdiri atas 14 baris. Pasal Kesembilan Gurindam Dua Belas terdiri atas 14 baris. Pasal Kesepuluh Gurindam Dua Belas terdiri atas 10 baris. Pasal Kesebelas Gurindam Dua Belas terdiri atas 12 baris. Pasal Keduabelas Gurindam Dua Belas terdiri atas 14 baris.
Sampel penelitian ini adalah Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas yang terdiri atas 14 baris.

3.      Teknik Penelitian dan Analisis Data
Sesuai dengan objek dan materi kajian, penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan (library research). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan analisis kritis. Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini bermakna bahwa penelitian ini mempergunakan teknik analisis isi terhadap naskah asli Gurindam Dua Belas dengan tanpa membuat perbandingan.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain.[19]
Sementara itu, metode analisis kritis dalam penelitian ini bermakna bahwa penelitian ini juga mempergunakan teknik analisis secara kritis untuk memahami kata demi kata yang digunakan dalam Gurindam Dua Belas dengan mempertimbangkan “nilai rasa berbahasa” pada masa itu.
Agar terhindar dari kesalahpahaman pengertian, naskah asli Gurindam Dua Belas yang akan diteliti adalah naskah Gurindam Dua Belas yang bertuliskan Tulisan Arab Melayu. Hal ini untuk menghindari salah tafsir pada beberapa kata yang sudah tidak digunakan pada saat ini. Selain itu, dipergunakan pula naskah Gurindam Dua Belas yang telah ditransliterasi dalam bahasa Indonesia sebagai bahan perbandingan untuk mengarahkan kepada makna yang sesuai.

BAB V
PENYAJIAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan diulas beberapa hal yang bertalian dengan penyajian hasil penelitian dan pembahasannya.

1.      Penyajian Hasil Penelitian
a.       Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas
Ini Gurindam Pasal Yang Ketiga

Apabila terpelihara mata                                                    larik 1
Sedikitlah cita-cita                                                            larik 2

Apabila terpelihara kuping                                                 larik 3
Khabar yang jahat tiadalah damping                                   larik 4
Apabila terpelihara lidah                                                    larik 5
Niscaya dapat daripadanya faedah                                    larik 6

Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan           larik 7
Daripada segala berat dan ringan                                       larik 8

Apabila perut terlalu penuh                                               larik 9
Keluarlah fi’il yang tiada senonoh                                    larik 10

Anggota tengah hendaklah ingat                                       larik 11
Di situlah banyak orang yang hilang semangat                  larik 12

Hendaklah peliharakan kaki                                             larik 13
Daripada berjalan yang membawa rugi                             larik 14


b.      Analisis terhadap Isi Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas
Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas akan dianalisis dengan metode analisis deskriptif dan analisis kritis. Penulis akan menganalisis larik demi larik dari Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas.

Larik 1 dan larik 2 :
Apabila terpelihara mata, (1)
Sedikitlah cita-cita. (2)
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 1 dan 2.
Allah s.w.t. berfirman :
Yang artinya :   Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (QS An Nahl : 78)
Yang artinya :   Katakanlah : “Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?” ( QS Al An’aam : 46 )
Yang artinya :   Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan, dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.[20]
( QS Al Mu’minuun : 78 )
Yang artinya :   Katakanlah : “Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”, (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” ( QS Al Mulk : 23 )
Yang artinya :   Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu[21] bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. ( QS Fushshilat : 22 )
Yang artinya :   Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.
                  ( QS Al-Isra : 36 )
Yang artinya :   Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat[22] dan apa yang disembunyikan oleh hati. (QS Al-Mu’min : 19)
Yang artinya :   Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
(QS  Al Israa’ : 32)
Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya :           Telah ditentukan bagi manusia nasibnya dengan perzinaan yang akan diterima olehnya dengan pasti, yaitu : dua mata perzinaannya dengan cara melihat (yang maksiat). Dia telinga perzinaannya dengan cara mendengarkannya. Lidah (ucapan) perzinaannya dengan cara mempercakapkannya. Tangan keduanya perzinaannya dengan cara merabanya. Kaki perzinaannya dengan cara melangkah padanya. Hati perzinaannya dengan cara menarik dan bercita-cita padanya, yang kemudian dibenarkan dengan kelaminnya atau menolaknya. (Hadist Riwayat Bukhari-Muslim)

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Jauhilah oleh kamu sekalian perbuatan zina, karena sesungguhnya di dalam perbuatan zina itu ada (akibat) empat perkara, yaitu : menghilangkan nur wajah, memutuskan rizki, membuat marah Yang Maha Pemurah, dan mewajibkan kekal di dalam neraka (apabila pelakunya menganggap zina sebagai perbuatan yang dihalalkan). (HR Imam Thabraniy dari Ibnu Abbas)[23]

Zina adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah, tidak sekali-kali Allah melarang suatu perbuatan melainkan perbuatan itu mengandung mudharat (bahaya) bagi manusia. Oleh karena itu, Allah melarang setiap perbuatan yang membahayakan diri manusia. Di antaranya adalah zina, karena zina akan berakibatkan empat perkara bagi pelakunya yaitu hilangnya nur wajah, memutuskan jalan rizki, mendapat murka Tuhan dan kekal di neraka apabila ia menghalalkan perbuatan zina itu.
Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya :           Tiada aku tinggalkan sesudah matiku, suatu fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi lelaki dari fitnah perempuan. (Hadist Riwayat Tirmidzi dari Usamah)[24]

Tidak ada ujian yang lebih berat bagi laki-laki dari godaan wanita.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya :     Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS An Nuur : 30)
Yang artinya :   Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.
(QS An Nuur : 31)
Yang artinya :   Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, maka mereka bergelimang (dalam kesesatan). (QS An Naml : 4)
Yang artinya :   Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka. ( QS Al Mu’min : 58 )

Rasulullah s.a.w. bersabda :

Yang artinya :   Pergunakanlah hak matamu untuk beribadah, yaitu dengan cara memperhatikan Al-Quran dan mentafakurinya serta mengambil contoh ketika melihat setan-setannya. (HR Hakim dari Abu Sa’id)[25]

Dalam hadist di atas, Rasulullah berpesan kepada kita agar menggunakan mata hendaklah untuk berbakti kepada Allah s.w.t. di antaranya dengan cara memperhatikan al-Quran (mengetahui isinya). Kemudian merenungkan maksudnya untuk diamalkan dan diambil pelajaran-pelajaran di dalamnya yang penuh dengan keajaiban-keajaiban tentang kekuasaan Allah dan keagungan-Nya. Dengan demikian, besar harapan kita semoga kita menjadi manusia yang takwa kepada Allah.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Apabila seseorang di antara kamu melihat wanita yang cantik lalu ia tertarik kepadanya, maka datangilah ahlimu, sesungguhnya sesuatu yang ada pada wanita itu, ada pula pada keluargamu. (HR Kathib dari Umar)[26]

Hadist di atas menjelaskan bahwa apabila ada seseorang laki-laki tergoda seorang wanita cantik. Hendaklah cepat-cepat ia pulang ke rumahnya sebab apa yang sesungguhnya diinginkannya dari wanita itu, ada pula pada isterinya.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Lihatlah kepada orang yang lebih bawah daripadamu, dan jangan melihat kepada orang yang lebih atas daripadamu, karena yang demikian, lebih patut (menyebabkan) kamu tidak menganggap ringan akan nikmat Allah atasmu.[27] ( HR Ibnu Majjah )

Dalam hidup ini janganlah mengambil contoh dari orang kaya-kaya, tapi lihatlah orang-orang yang lebih miskin dari kita, jika kita melihat orang-orang miskin tentu kita bersyukur kepada Allah bahwa hidup kita itdak sengsara seperti itu, tetapi jika melihat kehidupan orang-orang kaya, tentulah kita lupa bersyukur kepada-Nya.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Apabila seseorang di antara kamu melihat orang yang dilebihkan Allah dalam hal harta benda dan bentuk rupa, maka hendaklah ia melihat kepada orang yang lebih rendah daripadanya.[28]
( HR Syaikhan / Bukhari – Muslim dari Abi Hurairah )

Di dalam soal-soal hidup janganlah kita memandang kepada orang yang mempunyai kelebihan (lebih kaya) daripada kita, tetapi pandanglah orang yang lebih menderita (miskin) daripada kita. Jika kita memandang kepada orang yang lebih dari kita, apabila kita tidak mempunyai keimanan, niscaya akan menggerutu dan mengomellah kita, kenapa nasib kita tidak sama dengan dia, yang akhirnya akan mendatangkan kekufuran. Sebagusnya pandanglah orang yang lebih sengsara dan menderita kehidupannya dari kita, maka akan berkatalah kita di dalam hati. Saya bersyukur kepada Allah bahwa kehidupan saya tidak menderita benar seperti orang itu, yang akhirnya kita akan selalu hidup bersyukur kepada Allah s.w.t.
Rasululah s.a.w. bersabda yang artinya :            Rizki itu lebih banyak mencari sang hamba daripada ajal sang hamba (itu sendiri). (HR Al Qudha’i)[29]

Rizki itu mencari sang hamba dengan sendirinya, demikian pula ajalnya, hanya rizki itu lebih banyak mencari sang hamba daripada ajalnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Ada tiga macam orang yang enak berbincang-bincang di bawah naungan Arasy dalam keadaan aman dan sentosa, sedangkan pada waktu itu semua orang lagi sibuk-sibuknya menjalani penghisaban (perhitungan amal), yaitu seseorang yang tidak mundur setapak pun oleh sebab celaan orang-orang dalam melaksanakan perintah Allah; seseorang yang tangannya belum pernah menjamah barang yang tidak dihalalkan baginya dan seseorang yang ( matanya ) belum pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah kepadanya. ( Hadist Riwayat  Al Ashbahaniy)[30]

Dalam hadist di atas, Rasulullah berpesan agar kita melaksanakan tiga amalan. Ketiga macam amalan itu dapat menyelamatkan diri seorang hamba dari penghisaban amal perbuatan kelak di hari kiamat dan orang yang selamat dari penghisaban berarti ia masuk surga.

Larik 3 dan larik 4 :
Apabila terpelihara kuping (3)
Khabar yang jahat tiadalah damping (4)
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 3 dan 4.
Allah s.w.t. berfirman :
Yang artinya :   Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (QS An Nahl : 78)
Yang artinya :   Katakanlah : “Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?” ( QS Al An’aam : 46 )
Yang artinya :   Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan, dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.[31]
( QS Al Mu’minuun : 78 )
Yang artinya :   Katakanlah : “Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”, (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” ( QS Al Mulk : 23 )

Yang artinya :   Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu[32] bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. ( QS Fushshilat : 22 )
Yang artinya :   Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.
                  ( QS Al-Isra : 36 )
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Calon penghuni surga itu ialah orang yang Allah penuhi kedua telinganya dengan berita pujian tentang dirinya mengenai kebaikan dari seseorang dan ia mendengarnya. Dan calon penghuni neraka itu ialah orang yang Allah penuhi kedua telinganya dengan pergunjingan tentang dirinya mengenai keburukan dari seseorang dan ia mendengarnya.[33]

Dalam hadist di atas, Rasulullah s.a.w.. mengingatkan bahwa orang yang bakal bernasib baik di akhirat itu tanda-tandanya sudah dapat diketahui sejak ia hidup di dunia dan ia sendiri mengetahuinya. Dan orang yang bakal celaka kelak di akhirat itu tanda-tandanya sudah diketahui pula sejak ia hidup di dunia dan ia sendiri merasakan hal itu. Untuk itu, apabila seseorang mendengar pergunjingan orang-orang mengenai keburukan dirinya, hendaknya ia mengubah sikapnya sebab hal itu merupakan alamat peringatan baginya, jika ia mau mengubahnya berbahagialah dan jika tidak maka ia akan celaka selamanya.

Larik 5 dan larik 6 :
Apabila terpelihara lidah                    (5)
Niscaya dapat daripadanya faedah    (6)
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 5 dan 6.
Allah s.w.t. berfirman :
Yang artinya :   Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku : “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. ( QS Al Israa : 53 )
Yang artinya :   Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. ( QS Al Ahzab : 70 )
Yang artinya :   Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).
(QS Al Maaidah : 85)

Allah s.w.t. telah memberikan perumpamaan tentang perkataan yang baik. Dalam Al Quran surah Ibrahim ayat 24 – 25, Allah s.w.t. berfirman :
Ayat 24   :   Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpaman kalimat yang baik[34] seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.
Ayat 25   :   pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Allah s.w.t. berfirman yang artinya :       Allah tidak menyukai ucapan buruk[35], (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya[36]. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS An Nisa’ : 148)
Yang artinya :   Sesungguhnya Dia mengetahui perkataan (yang kamu ucapkan) dengan terang-terangan dan Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan.
( QS Al Anbiyaa’ : 110 )

Yang artinya :   Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. ( QS Qaaf : 18 )

Dalam Al Quran, Allah berfirman bahwa sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. (QS Al Mukminuun : 1, 3)
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sesungguhnya seorang hamba yang mengatakan perkataan yang diridhoi Allah sekalipun perkataannya itu tidak diperhatikan, maka Allah mengangkat satu derajat keluhuran untuknya. Dan sesungguhnya seseorang hamba yang mengatakan perkataan yang membuat Allah murka sekalipun perkataannya tidak diperhatikan maka ia akan dijerumuskan (dicampakkan) ke dalam neraka Jahannam.” ( Hadist Riwayat Imam Ahmad)[37]

Mulut itu harus dipelihara agar jangan sampai mengeluarkan perkataan-perkataan yang membuat Tuhan murka. Betapa banyak bencana yang diakibatkan oleh mulut itu hingga diungkapkan di dalam suatu hadits bahwa mulut itu bisa mendatangkan siksa Tuhan.
Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya :           Sebaik-baik mukmin (tentang) keislamannya ialah orang yang dapat menyelamatkan orang Islam dari lidahnya dan tangannya. Dan sebaik-baik mukmin (tentang) keimanannya ialah orang yang paling baik perangainya dan sebaik-baik muhajirin ialah orang berhijrah dari apa-apa yang dilarang Allah padanya dan sebaik-baik jihad ialah orang yang berjihad pada jalan Allah.[38]

Seseorang mukmin harus dapat menyelamatkan sesamanya dari lidahnya dan tangannya artinya lidah dan tangan jangan dipakai menyakiti orang dan sebagainya. Orang mukmin adalah orang yang paling baik budi pekertinya sehingga orang merasa senang bergaul dengannya. Dan sebaik-baik muhajirin ialah orang yang dapat meninggalkan apa yang terlarang lalu mengerjakan apa yang disukai Allah dan sebaik-baik jihad ialah orang yang berperang di jalan Allah sehingga apabila dia mati matinya mati syahid’.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sebaik-baik pemberian ialah perkataan yang benar yang engkau telah mendengarnya kemudian engkau sampaikan kepada saudaramu yang muslim lalu engkau ajarkan kepadanya. (HR Thabrani dari Ibnu Abbas)[39]

Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sesama muslim perkataan yang baik (nasihat) itulah pemberian yang paling berharga.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Empat macam orang yang diberikan kepadanya keempat hal berikut ini, maka sesungguhnya ia telah dianugerahi kebaikan dunia dan akhirat, yaitu : lidah yang selalu berzikir, hati yang selalu bersyukur, diri yang sabar menerima cobaan, dan isteri yang tidak berkhianat pada dirinya dan tidak pada hartanya.[40] ( HR Thabrani dari Ibnu Abbas )

Orang yang berbahagia hidupnya dunia dan akhirat ialah orang yang lidahnya selalu berzikir mengingat Allah, hatinya selalu bertakwa kepada Allah, sabar menerima cobaan Allah, dan memiliki isteri yang tidak menyeleweng dan tidak berkhianat terhadap dirinya dan hartanya, artinya hartanya itu selalu dipergunakannya di jalan Allah, itulah orang-orang yang berbahagia di dunia dan akhirat.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Semoga Allah mengasihi orang yang memelihara lisannya yang mengetahui keadaan zamannya kemudian meluruskan jalannya. (HR Ad Dailamiy dari Ibnu ‘Abbas)[41]

Orang yang memelihara lisannya dengan hati-hati dan mengetahui situasi zaman di mana ia hidup kemudian ia berupaya untuk meluruskan jalan hidupnya maka orang tersebut akan mendapat rahmat-Nya.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Jagalah kehormatan kamu dengan harta kamu dan hendaklah berbuat seseorang kamu dengan lisannya demi agamanya. (HR Ibnu Asakir)[42]

Jika kita mempunyai harta yang banyak jadikanlah diri menjadi orang kaya yang terhormat, jangan sampai kekayaan itu akan membawa diri kepada yang tidak baik, dan agama kita hendaklah kita tinggikan dan amalkan, maka perlu kita memberikan penerangan kepada orang yang tidak mengerti agama, supaya mereka menjadi orang yang beragama.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Baikkanlah perkataan, tebarkanlah salam, hubungkanlah silaturrahim, shalatlah di malam hari sewaktu manusia masih tidur, kemudian masuklah kamu ke dalam surga dengan selamat. (HR Ibnu Hibban dari Abu Hurairah)[43]

Di dalam ajaran Islam, manusia disuruh berkata baik, jangan menyakiti hati orang sebab luka hati susah obatnya, tetapi luka kena pisau cepat sembuhnya. Tebarkanlah salam, artinya di mana saja kita bertemu dengan sesama kita, ucapkanlah salam dan ucapan salam itu artinya mendoakan orang supaya selamat dan yang diberi salam itu pun harus menjawab dengan salam pula. Ini berarti saling mendoakan. Memperhubungkan silaturrahim artinya memperbanyak saudara handai taulan, jangan bermusuh-musuhan dan sebagainya. Dan kerjakanlah shalat tahajjud dan witir sewaktu orang-orang masih tidur, lalu bermunajat ke hadirat Allah, mudah-mudahan doa kita diterima Allah. Hal-hal yang tersebut itu bisa menjamin masuk surga.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Kefasihan lidah itu bukanlah terletak pada banyak bicara akan tetapi terletak pada perkataan yang hak dan batal sesuai dengan apa disukai Allah dan Rasul-Nya dan kelemahan itu bukanlah terletak pada lemahnya lidah, tetapi orang yang lemah itu sedikit pengetahuannya tentang yang hak. (HR Dailamy dari Abi Hurairah)[44]

Orang yang tegas dalam membedakan yang benar dengan yang batal itulah yang disebut orang yang fasih dan orang yang disebut lemah adalah orang yang kurang pengertian dalam kebenaran.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Semoga Allah mengasihi hamba yang berkata baik kemudian ia memperoleh kebaikannya atau ia diam dari perkara yang buruk kemudian ia selamat. (Hadist riwayat Ibnu’l Mubarak dari Khalid ibnu Abu ‘Imran)[45]

Berbahagialah orang yang berkata baik, lalu diamalkannya kebaikan itu untuk dirinya sehingga dirinya menjadi orang yang baik. Dan berbahagialah orang yang tidak mau membicarakan kejahatan sehingga dirinya selamat dari kejahatan itu, maka orang-orang tersebut mendapat rahmat Allah.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Barangsiapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia baik kepada tetangganya dan barangsiapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia berkata akan yang baik-baik atau diam. (HR Syaikhani)[46]

Kerjakanlah apa-apa yang tersebut di atas ini, mudah-mudahan iman kita diterima Allah.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Tetaplah engkau dengan baik perangai, lama diam, maka demi Dzat yang diriku berada di bawah kekuasaan-Nya, alangkah bagusnya perangai yang seumpama itu. ( HR Abu Ya’la dari Anas)[47]

Akhlak yang paling utama adalah akhlak yang baik dan banyak diam, kedua sifat itu adalah sebaik-baik akhlak.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Ingatlah aku kabarkan kepadamu tentang ibadah yang paling mudah dan paling enak dirasakan tubuh yaitu diam dan baik perangai. (Hadist Riwayat Ibnu Abid Dunia dari Shafwan bin Sulaim)[48]

Orang yang pendiam lebih baik dari orang yang suka berbicara yang tidak keruan. Adapun baik perangai dan pendiam kedua sifat itu adalah sifat yang sangat baik dan mengerjakannya juga tidak susah lagi pahalanya cukup besar.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Cobaan itu sumbernya berasal dari lisan, andaikata ada seseorang menuduh orang lain bahwa ia menyusu kepada anjing, maka (menurut lisan) hal itu bisa saja terjadi.” (Hadist riwayat Al Khathib dari Ibnu Mas’ud)[49]

Sumber segala bencana itu pada asalnya berpangkal dari mulut. Sebab mulut itu bisa saja mengatakan hal-hal yang mustahil sekalipun. Oleh sebab itu hati-hatilah kita harus menjaga mulut jangan sampai mengeluarkan perkataan yang bukan-bukan, pikirkanlah masak-masak sebelum berkata karena akibatnya sangat berbahaya sekali jika tidak hati-hati.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Berbahagialah orang yang dapat menahan lidahnya dan keleluasaannya dalam rumahnya dan dia menangis atas kesalahannya. (HR Thabrani dari Tsauban)[50]

Menahan lidah dari membicarakan yang tidak baik, luasnya ketenangan rezkinya dan ketenteraman dirinya dalam rumahnya dan menyesali kesalahannya dengan menangisi dirinya, itulah orang yang berbahagia.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Tetaplah engkau bertaqwa kepada Allah, maka sesungguhnya bertaqwa kepada Allah adalah himpunan semua kebaikan dan wajiblah bagi engkau berjihad, maka sesungguhnya jihad adalah rahbaniyyah kaum muslimin dan wajib atas engkau mengingat Allah dan membaca kitab Allah , maka sesungguhnya hal itu adalah cahaya bagi engkau di bumi ini dan dzikir engkau di langit dan kuncilah lidah engkau melainkan dengan kebaikan, maka sesungguhnya bila engkau di jalan yang demikian dapat mengalahkan setan-setan. (HR Abu Ya’la dari Abi Sa’id)[51]

Perbuatlah apa-apa yang di atas ini, niscaya engkau dapat mengalahkan setan-setan.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Cukuplah dosa seseorang itu apabila ia membicarakan semua apa yang didengarnya. (HR Muslim)[52]

Jika kita tidak mendengar satu persoalan tidak usah ikut-ikut membicarakan sebab ditakuti akan berdosa membicarakan yang bukan-bukan.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Enam perkara daripada kebaikan, yaitu : memerangi musuh Allah dengan pedang; berpuasa pada hari musim kemarau; bersabar dengan baik ketika mendapat musibah; meninggalkan perbantahan sedangkan engkau merasa benar, segera mengerjakan shalat pada hari mendung awan; dan membaikkan wudhu’ pada hari musim dingin. (HR Baihaqi dari Abi Malik al-Asy’ari)[53]

Keenam perkara itu adalah disebut perkara yang baik maka kerjakanlah mana yang dapat dikerjakan agar amal ibadat bertambah banyak. Uraiannya tidak akan diterangkan lagi karena sudah jelas apa yang disebut di atas ini.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang yang paling dibenci oleh Allah ialah orang yang sangat suka bertengkar. (Hadist Riwayat Muslim)[54]

Jauhilah perbuatan yang mendatangkan pertengkaran.


Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Barang siapa yang dipelihara Allah dari kejahatan apa yang di antara kumis dan janggotnya dan yang di antara dua kakinya, pasti masuk surga.(HR Tirmidzi dari Abu Hurairah)[55]

Apa yang antara kumis dan janggot adalah mulut dan antara dua kaki yaitu kemaluan. Dan orang yang menjaga kehormatannya dan mulutnya pasti masuk surga.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang muslim ialah orang yang menyelamatkan orang Islam (yang lain) dari kejahatan lidahnya dan tangannya. Orang yang beriman ialah orang yang mengamankan manusia atas darah mereka dan harta benda mereka. Orang muhajirin ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah. (HR Ahmad dari Abu Hurairah)[56]

Jadikanlah diri menjadi yang tiga macam itu.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang mukmin itu bukan pencela dan bukan pelaknat dan bukan yang jelek perangai dan bukan yang kotor lidah. (HR Muslim)[57]

Orang mukmin itu sifatnya baik dan terpuji.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sesungguhnya Allah s.w.t. tidak menyiksa oleh sebab mengalirnya air mata dan oleh sebab busuknya hati, tetapi ia menyiksa oleh sebab ini. (seraya mengisyaratkan kepada lidahnya) atau mengasihi. Dan sesungguhnya mayat itu disiksa oleh sebab ratapan ahlinya. (HR Jama’ah)[58]

Jika kita kematian tidak boleh diratapi (mengomel karena kesayangannya diambil Allah) itu adalah satu dosa dan memberati pula kepada si mayat yaitu mayat tersiksa karena perbuatan keluarganya tetapi menangis dan sedih tidak dilarang karena sifat yang dua macam itu adalah sifat manusia yang apabila ditimpa kesusahan pastilah datang sifat tersebut.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Bukanlah golonganku orang yang mempunyai sifat dengki dan tidak pula orang yang suka mengumpat dan tidak pula orang yang tukang meramal dan tidaklah aku termasuk golongannya. (HR Thabrani dari Abdullah bin Asri)[59]

Segala sifat yang tersebut itu adalah sifat madzmumah (tercela) maka jauhilah kesemuanya itu karena Nabi s.a.w. tidak pernah berbuat demikian. Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan yang tercela itu, bukanlah menjadi umat Nabi Muhammad s.a.w.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Ingatlah aku kabarkan kepadamu tentang dosa yang terbesar yaitu memperserikatkan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua, serta berkata bohong (sumpah palsu). (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Bakrah)[60]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya:    Empat macam sifat yang barangsiapa ada padanya keempat macam sifat itu berarti dia orang munafik tulen. Dan barangsiapa yang ada padanya sebahagian daripada sifat-sifat tersebut berarti ia mengandung sebahagian daripada sifat munafiq sehingga ia mau meninggalkannya. Apabila dia berbicara, berdusta. Apabila dipercaya, khianat. Apabila janji berjanji menyalahi dia akan janjinya. Dan apabila bertengkar, berbuat curang. (HR Syaikhani Bukhari Muslim dari Ibnu Umar)[61]

Empat macam sifat yang tersebut di atas itu adalah tanda-tanda orang munafik apabila sebahagian sifat yang empat itu ada di diri seseorang maka orang itu memiliki sebahagian sifat munafik sampai ia mau meninggalkannya.

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang yang bermuka dua di dunia, adalah baginya pada hari kiamat mempunyai dua lidah dari neraka. ( HR Abu Daud dari ‘Ammar )[62]

Orang yang bermuka dua ialah orang munafik dan kelak di kemudian hari mempunyai dua lidah dari api neraka.

Larik 7 dan larik 8 :
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan      ( 7 )
Daripada segala berat dan ringan                                      ( 8 )
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 7 dan 8.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. ( QS Yaasiin : 65 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       ( Azab ) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri. ( QS Ali Imran : 182 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       ( Azab ) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri. ( QS Al Anfal : 51 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS Asy Syuura : 30 )

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sebaik-baik mukmin (tentang) keislamannya ialah orang yang dapat menyelamatkan orang Islam dari lidahnya dan tangannya. Dan sebaik-baik mukmin (tentang) keimanannya ialah orang yang paling baik perangainya dan sebaik-baik muhajirin ialah orang berhijrah dari apa-apa yang dilarang Allah padanya dan sebaik-baik jihad ialah orang yang berjihad pada jalan Allah. (HR Thabrani dari Ibnu Umar)[63]

Seseorang mukmin harus dapat menyelamatkan sesamanya dari lidahnya dan tangannya artinya lidah dan tangan jangan dipakai menyakiti orang dan sebagainya. Orang mukmin adalah orang yang paling baik budi pekertinya sehingga orang merasa senang bergaul dengannya. Dan sebaik-baik muhajirin ialah orang yang dapat meninggalkan apa yang terlarang lalu mengerjakan apa yang disukai Allah dan sebaik-baik jihad ialah orang yang berperang di jalan Allah sehingga apabila dia mati matinya mati syahid’.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Ada tiga macam orang yang enak berbincang-bincang di bawah naungan Arasy dalam keadaan aman dan sentosa, sedangkan pada waktu itu semua orang lagi sibuk-sibuknya menjalani penghisaban (perhitungan amal), yaitu seseorang yang tidak mundur setapak pun oleh sebab celaan orang-orang dalam melaksanakan perintah Allah; seseorang yang tangannya belum pernah menjamah barang yang tidak dihalalkan baginya dan seseorang yang ( matanya ) belum pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah kepadanya. ( Hadist Riwayat  Al Ashbahaniy)[64]

Dalam hadist di atas, Rasulullah berpesan agar kita melaksanakan tiga amalan. Ketiga macam amalan itu dapat menyelamatkan diri seorang hamba dari penghisaban amal perbuatan kelak di hari kiamat dan orang yang selamat dari penghisaban berarti ia masuk surga.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang muslim ialah orang yang menyelamatkan orang Islam (yang lain) dari kejahatan lidahnya dan tangannya. Orang yang beriman ialah orang yang mengamankan manusia atas darah mereka dan harta benda mereka. Orang muhajirin ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah. (HR Ahmad dari Abu Hurairah)[65]


Larik 9 dan larik 10 :
Apabila perut terlalu penuh                    ( 9 )
Keluarlah fi’il yang tiada senonoh       ( 10 )
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 9 dan 10.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. ( QS Al An’am : 141 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. ( QS Al A’raf : 31 )

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Hal-hal yang paling aku khawatirkan melanda umatku ialah besar perut, banyak tidur, pemalas, dan lemah keyakinan. (HR Daruquthni dari Jabir)[66]

Nabi Muhammad s.a.w. khawatir umatnya suka besar perut, artinya mementingkan isi perutnya saja ( makan dengan macam-macam makanan) sehingga seleranya keterlaluan dan uangnya habis untuk itu. Dan penidur yang bukan pada waktunya sehingga tak ada waktu baginya untuk menambah pengetahuan, berusaha dan sebagainya. Begitu pula lemah keyakinan., artinya tidak percaya kepada dirinya sendiri dan sangat menggantungkan hidupnya kepada orang lain maka perbuatan-perbuatan yang seperti itu sangat ditakuti Nabi akan terjadi pada umatnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Tidaklah Allah membaguskan hamba-Nya dengan perhiasan yang lebih bagus dari zuhud pada dunia dan memelihara pada perutnya dan kehormatannya. (HR Abu Na’im dari Ibnu Umar)[67]

Beruntunglah orang yang dianugerahi sifat zuhud (tidak senang perkara duniawi) diberi kekuatan bisa memelihara perut dan kemaluannya dari barang-barang yang diharamkan oleh Allah s.w.t.
Cara makan yang dianjurkan Nabi s.a.w. :
Yang artinya :   Tidak ada sesuatu harus diisi oleh manusia yang lebih jahat daripada apa memenuhi rongga perutnya. Sudah cukup kiranya bagi anak Adam itu beberapa suap makanan untuk menguatkan badannya. Jika perlu lebih banyak lagi, maka hendaklah perut diisi sepertiganya dari makanan, sepertiganya lagi dengan air dan yang sepertiganya yang lain untuk udara bernafas. ( HR Tirmidzi )[68]
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Perangilah dirimu dengan lapar dan dahaga. Sesungguhnya pahalanya seperti orang yang berperang di jalan Allah, dan sesungguhnya tiada suatu amal perbuatan yang paling disukai Allah melebihi lapar dan dahaga.[69]

Al Hasan berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Berfikir merupakan sebagian dari ibadah sedang sedikit makan adalah ibadah.[70]

Al Hasan juga berkata, : Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Kedudukan paling utama bagimu di sisi Allah pada hari kiamat adalah yang paling lama merasa lapar dan paling lama berpikir tentang keagungan Allah.[71]
Yang artinya :   Janganlah kamu matikan hati dengan banyak makanan dan minuman, sesungguhnya hati seperti tanaman yang akan mati jika terlalu banyak air.[72]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sesungguhnya setan berjalan pada anak Adam melalui jalannya darah, maka persempitlah jalan-jalannya dengan lapar dan dahaga.[73]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang mukmin itu makan untuk satu usus, sedang orang munafik makan untuk tujuh usus. (HR Bukhari Muslim)[74]

Maksudnya, orang munafik makan tujuh kali lipat orang mukmin. Nafsu syahwatnya orang munafik tujuh kali lipat syahwat orang mukmin. Usus merupakan kiasan dari syahwat karena syahwat itulah yang menerima makanan dan mengambilnya sebagaimana usus mengambilnya. Dan tidak dimaksudkan lebih banyaknya jumlah usus orang munafik daripada usus orang mukmin.
Al Hasan meriwayatkan dari Aisyah r.a., katanya : Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   “Abadikanlah dalam mengetuk pintu surga, niscaya kau akan dipersilakan.” Lalu saya bertanya, “Bagaimana kami dapat mengabadikan mengetuknya ?” Beliau bersabda, “Dengan lapar dan dahaga.”[75]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sesungguhnya orang yang lapar di dunia adalah orang yang kenyang di akhirat dan sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang perutnya penuh dengan makanan. Tidaklah seorang hamba meninggalkan makanan yang diinginkannya melainkan memperoleh derajat di surga.[76]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Hidupkanlah hatimu dengan sedikit tertawa dan sedikit kenyang, dan sucikanlah dengan lapar, niscaya menjadi jernih dan lembut.[77]

Memang, lapar laksana petir, qana’ah laksana awan dan hikmah laksana hujan.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Barang siapa melaparkan perutnya, niscaya besar pemikirannya dan cerdas hatinya.[78]
Yang artinya :   Apabila aku lapar, maka aku sabar dan tadharru’ (merendahkan diri), dan apabila aku kenyang maka aku bersyukur. (HR Ahmad dan Tarmidzi) [79]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Perut adalah ladang penyakit dan menjaganya adalah pokok obat. Maka biasakanlah setiap tubuhmu itu menurut kebiasaannya.[80]

Yang artinya :   Terus-meneruslah mengetuk pintu surga dengan lapar.[81]

Disunnahkan kepada seorang hamba untuk tidak tidur dalam keadaan kenyang karena dapat menimbulkan dua kelalaian. Karena itu, ia menjadi lesu, malas, dan keras hatinya. Sebaliknya ia harus mengerjakan shalat atau hendaknya duduk lalu berzikir kepada Allah, karena sesungguhnya dengan dzikir ia lebih dekat kepada syukur.
Dalam suatu hadist Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Cairkanlah makananmu dengan dzikir dan shalat dan janganlah kamu tidur di atas makanan karena hatimu akan menjadi keras. (HR Thabrani)[82]

Sesudah makan, seorang hamba disunnahkan melaksanakan dzikir dan shalat. Shalat paling sedikit empat rakaat atau membaca tasbih seratus kali atau membaca satu juz Al-Quran.
Perlu diketahui bahwa dua bahaya besar bahkan lebih besar dari bahaya makan segala keinginan, menghinggapi orang yang meninggalkan keinginan hawa nafsunya.
Pertama, hawa nafsu tidak mampu meninggalkan sebagian keinginannya, lalu ia menginginkannya tetapi ingin diketahui ia menginginkannya maka ia menyembunyikan keinginannya dan di tempat sepi ia makan sesuatu yang tidak dimakan bersama khalayak. Inilah sirik tersembunyi.

Larik 11 dan larik 12 :
Anggota tengah hendaklah ingat                            ( 11 )
Di situlah banyak orang yang hilang semangat     ( 12 )
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 11 dan 12.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. (QS Al Mu’minuun : 5 )

Ada tujuh sifat yang menjadikan orang-orang mukmin beruntung. Hal itu terdapat dalam Al-Quran, Allah s.w.t. berfirman dalam Surah Al Mu’minuun ayat 1 sampai dengan 11.
Ayat 1    : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.
Ayat 2    : (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.
Ayat 3    : dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.
Ayat 4    : dan orang-orang yang menunaikan zakat.
Ayat 5    : dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.
Ayat 6    : kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[83], maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Ayat 7    : Barangsiapa mencari yang di balik itu[84] maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Ayat 8    : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
Ayat 9    : dan orang-orang yang memelihara shalatnya.
Ayat 10  : Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
Ayat 11  : (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS An Nuur : 30)
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. (QS An Nuur : 31)
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Tiga macam sifat yang dapat menyelamatkan diri seseorang, yaitu bertakwa kepada Allah di waktu bersunyi-sunyi dan berterang-terang, dan adil dalam suka dan marah, dan sederhana di waktu miskin dan kaya, dan tiga macam pula yang membinasakannya, yaitu mengikuti hawa nafsu, kebakhilan yang dituruti, dan seseorang yang merasa takjub dengan dirinya (‘ujub). (HR Abu Syaikh dari Anas)[85]

Ada tiga macam hal yang akan menguntungkan dan ada tiga macam pula hal yang mencelakakan diri. Terserah kepada masing-masing untuk memilihnya, ingin bahagia atau tidak. Hadist di atas telah menunjukkan satu per satu hal tersebut.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Barang siapa yang dipelihara Allah dari kejahatan apa yang di antara kumis dan janggotnya dan yang di antara dua kakinya, pasti masuk surga.(HR Tirmidzi dari Abu Hurairah)[86]

Apa yang antara kumis dan janggot adalah mulut dan antara dua kaki yaitu kemaluan. Dan orang yang menjaga kehormatannya dan mulutnya pasti masuk surga.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Jika tidak ada wanita, niscaya disembahlah Allah dengan sebenar-benarnya.[87] ( HR Dailamy dari Anas )

Hadist di atas merupakan kata-kata sindiran yang menunjukkan bahwa kebanyakan orang terjerumus karena wanita.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Puasa itu perisai (diri dari neraka). (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)[88]

Puasa itu dikatakan perisai bagi manusia dari neraka. Sebabnya adalah dengan berpuasa manusia terpelihara dari perbuatan jahat. Perbuatan jahat itulah yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa dengan berpuasa manusia dapat menamengi dirinya dari api neraka.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Tidaklah Allah membaguskan hamba-Nya dengan perhiasan yang lebih bagus dari zuhud pada dunia dan memelihara pada perutnya dan kehormatannya. ( HR Abu Na’im dari Ibnu Umar )[89]

Beruntunglah orang yang dianugerahi sifat zuhud (tidak senang perkara duniawi) diberi kekuatan bisa memelihara perut dan kemaluannya dari barang-barang yang diharamkan oleh Allah swt.

Larik 13 dan larik 14 :
Hendaklah peliharakan kaki                                  ( 13 )
Daripada berjalan yang membawa rugi                  ( 14 )
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 13 dan 14.
Allah s.w.t. berfirman :
Yang artinya :   Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. ( QS Yaasiin : 65 )

Allah berfirman dalam Al-Quran melalui lisan Nabi-Nya, Musa a.s. ketika menyampaikan amanat kepada saudaranya, harun :
Yang artinya :   Dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan. ( QS Al A’raaf : 142 )

Dalam Tafsir At-Thabari, jilid 13, halaman 88, penafsiran ayat di atas : Janganlah kamu mengikuti jalan mereka yang melakukan kerusakan di muka bumi dengan kedurhakaan mereka terhadap Tuhan mereka dan dengan membantu para pelaku maksiat itu dalam kedurhakaan mereka terhadap Tuhan mereka, tapi laluilah jalan orang-orang yang taat kepada Tuhannya.
Dalam ayat lain, Allah s.w.t. berfirman :
Yang artinya :   dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)[90] ( QS Al An’am : 153 )


2.      Pembahasan
a.       Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas
b.      Pembahasan terhadap Nilai Religius Pasal Ketiga Gurindam Dua Belas

Larik 1 dan larik 2 :
Apabila terpelihara mata, (1)
Sedikitlah cita-cita. (2)
Kedua larik tersebut menyimpan satu nasehat yang sangat berguna bagi manusia. Untuk melihat dan menyelami nilai religius yang terdapat dalam kedua larik tersebut, berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 1 dan 2.
Allah s.w.t. berfirman :
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (QS An Nahl : 78)
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Katakanlah : “Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?” ( QS Al An’aam : 46 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan, dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.[91]
( QS Al Mu’minuun : 78 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Katakanlah : “Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”, (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” ( QS Al Mulk : 23 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu[92] bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. ( QS Fushshilat : 22 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.
                  ( QS Al-Isra : 36 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat[93] dan apa yang disembunyikan oleh hati. (QS Al-Mu’min : 19)
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
(QS  Al Israa’ : 32)
Rasulullah s.a.w.a bersabda yang artinya :          Telah ditentukan bagi manusia nasibnya dengan perzinaan yang akan diterima olehnya dengan pasti, yaitu : dua mata perzinaannya dengan cara melihat (yang maksiat). Dia telinga perzinaannya dengan cara mendengarkannya. Lidah (ucapan) perzinaannya dengan cara mempercakapkannya. Tangan keduanya perzinaannya dengan cara merabanya. Kaki perzinaannya dengan cara melangkah padanya. Hati perzinaannya dengan cara menarik dan bercita-cita padanya, yang kemudian dibenarkan dengan kelaminnya atau menolaknya. (Hadist Riwayat Bukhari-Muslim)

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Jauhilah oleh kamu sekalian perbuatan zina, karena sesungguhnya di dalam perbuatan zina itu ada (akibat) empat perkara, yaitu : menghilangkan nur wajah, memutuskan rizki, membuat marah Yang Maha Pemurah, dan mewajibkan kekal di dalam neraka (apabila pelakunya menganggap zina sebagai perbuatan yang dihalalkan). (HR Imam Thabraniy dari Ibnu Abbas)[94]

Zina adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah, tidak sekali-kali Allah melarang suatu perbuatan melainkan perbuatan itu mengandung mudharat (bahaya) bagi manusia. Oleh karena itu, Allah melarang setiap perbuatan yang membahayakan diri manusia. Di antaranya adalah zina, karena zina akan berakibatkan empat perkara bagi pelakunya yaitu hilangnya nur wajah, memutuskan jalan rizki, mendapat murka Tuhan dan kekal di neraka apabila ia menghalalkan perbuatan zina itu.
Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya :           Tiada aku tinggalkan sesudah matiku, suatu fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi lelaki dari fitnah perempuan. (Hadist Riwayat Tirmidzi dari Usamah)[95]

Tidak ada ujian yang lebih berat bagi laki-laki dari godaan wanita.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS An Nuur : 30)
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.
(QS An Nuur : 31)
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, maka mereka bergelimang (dalam kesesatan). (QS An Naml : 4)
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka. ( QS Al Mu’min : 58 )

Rasulullah s.a.w. bersabda :

Yang artinya :   Pergunakanlah hak matamu untuk beribadah, yaitu dengan cara memperhatikan Al-Quran dan mentafakurinya serta mengambil contoh ketika melihat setan-setannya. (HR Hakim dari Abu Sa’id)[96]

Dalam hadist di atas, Rasulullah berpesan kepada kita agar menggunakan mata hendaklah untuk berbakti kepada Allah s.w.t. di antaranya dengan cara memperhatikan al-Quran (mengetahui isinya). Kemudian merenungkan maksudnya untuk diamalkan dan diambil pelajaran-pelajaran di dalamnya yang penuh dengan keajaiban-keajaiban tentang kekuasaan Allah dan keagungan-Nya. Dengan demikian, besar harapan kita semoga kita menjadi manusia yang takwa kepada Allah.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Apabila seseorang di antara kamu melihat wanita yang cantik lalu ia tertarik kepadanya, maka datangilah ahlimu, sesungguhnya sesuatu yang ada pada wanita itu, ada pula pada keluargamu. (HR Kathib dari Umar)[97]

Hadist di atas menjelaskan bahwa apabila ada seseorang laki-laki tergoda seorang wanita cantik. Hendaklah cepat-cepat ia pulang ke rumahnya sebab apa yang sesungguhnya diinginkannya dari wanita itu, ada pula pada isterinya.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Lihatlah kepada orang yang lebih bawah daripadamu, dan jangan melihat kepada orang yang lebih atas daripadamu, karena yang demikian, lebih patut (menyebabkan) kamu tidak menganggap ringan akan nikmat Allah atasmu.[98] ( HR Ibnu Majjah )

Dalam hidup ini janganlah mengambil contoh dari orang kaya-kaya, tapi lihatlah orang-orang yang lebih miskin dari kita, jika kita melihat orang-orang miskin tentu kita bersyukur kepada Allah bahwa hidup kita itdak sengsara seperti itu, tetapi jika melihat kehidupan orang-orang kaya, tentulah kita lupa bersyukur kepada-Nya.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Apabila seseorang di antara kamu melihat orang yang dilebihkan Allah dalam hal harta benda dan bentuk rupa, maka hendaklah ia melihat kepada orang yang lebih rendah daripadanya.[99]
( HR Syaikhan / Bukhari – Muslim dari Abi Hurairah )

Di dalam soal-soal hidup janganlah kita memandang kepada orang yang mempunyai kelebihan (lebih kaya) daripada kita, tetapi pandanglah orang yang lebih menderita (miskin) daripada kita. Jika kita memandang kepada orang yang lebih dari kita, apabila kita tidak mempunyai keimanan, niscaya akan menggerutu dan mengomellah kita, kenapa nasib kita tidak sama dengan dia, yang akhirnya akan mendatangkan kekufuran. Sebagusnya pandanglah orang yang lebih sengsara dan menderita kehidupannya dari kita, maka akan berkatalah kita di dalam hati. Saya bersyukur kepada Allah bahwa kehidupan saya tidak menderita benar seperti orang itu, yang akhirnya kita akan selalu hidup bersyukur kepada Allah s.w.t.
Yang artinya :   Rizki itu lebih banyak mencari sang hamba daripada ajal sang hamba (itu sendiri). (HR Al Qudha’i)[100]

Rizki itu mencari sang hamba dengan sendirinya, demikian pula ajalnya, hanya rizki itu lebih banyak mencari sang hamba daripada ajalnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Ada tiga macam orang yang enak berbincang-bincang di bawah naungan Arasy dalam keadaan aman dan sentosa, sedangkan pada waktu itu semua orang lagi sibuk-sibuknya menjalani penghisaban (perhitungan amal), yaitu seseorang yang tidak mundur setapak pun oleh sebab celaan orang-orang dalam melaksanakan perintah Allah; seseorang yang tangannya belum pernah menjamah barang yang tidak dihalalkan baginya dan seseorang yang ( matanya ) belum pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah kepadanya. ( Hadist Riwayat  Al Ashbahaniy)[101]

Dalam hadist di atas, Rasulullah berpesan agar kita melaksanakan tiga amalan. Ketiga macam amalan itu dapat menyelamatkan diri seorang hamba dari penghisaban amal perbuatan kelak di hari kiamat dan orang yang selamat dari penghisaban berarti ia masuk surga.

Larik 3 dan larik 4 :
Apabila terpelihara kuping (3)
Khabar yang jahat tiadalah damping (4)
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 3 dan 4.
Allah s.w.t. berfirman :
Yang artinya :   Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (QS An Nahl : 78)
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Katakanlah : “Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?” ( QS Al An’aam : 46 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan, dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.[102]
( QS Al Mu’minuun : 78 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Katakanlah : “Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”, (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” ( QS Al Mulk : 23 )

Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu[103] bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. ( QS Fushshilat : 22 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.
                  ( QS Al-Isra : 36 )
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Calon penghuni surga itu ialah orang yang Allah penuhi kedua telinganya dengan berita pujian tentang dirinya mengenai kebaikan dari seseorang dan ia mendengarnya. Dan calon penghuni neraka itu ialah orang yang Allah penuhi kedua telinganya dengan pergunjingan tentang dirinya mengenai keburukan dari seseorang dan ia mendengarnya.[104]

Dalam hadist di atas, Rasulullah s.a.w.. mengingatkan bahwa orang yang bakal bernasib baik di akhirat itu tanda-tandanya sudah dapat diketahui sejak ia hidup di dunia dan ia sendiri mengetahuinya. Dan orang yang bakal celaka kelak di akhirat itu tanda-tandanya sudah diketahui pula sejak ia hidup di dunia dan ia sendiri merasakan hal itu. Untuk itu, apabila seseorang mendengar pergunjingan orang-orang mengenai keburukan dirinya, hendaknya ia mengubah sikapnya sebab hal itu merupakan alamat peringatan baginya, jika ia mau mengubahnya berbahagialah dan jika tidak maka ia akan celaka selamanya.

Larik 5 dan larik 6 :
Apabila terpelihara lidah                    (5)
Niscaya dapat daripadanya faedah    (6)
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 5 dan 6.
Allah s.w.t. berfirman :
Yang artinya :   Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku : “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. ( QS Al Israa : 53 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. ( QS Al Ahzab : 70 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).
(QS Al Maaidah : 85)

Allah s.w.t. telah memberikan perumpamaan tentang perkataan yang baik. Dalam Al Quran surah Ibrahim ayat 24 – 25, Allah s.w.t. berfirman :
Ayat 24   :   Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpaman kalimat yang baik[105] seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.
Ayat 25   :   pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Allah tidak menyukai ucapan buruk[106], (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya[107]. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS An Nisa’ : 148)
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Sesungguhnya Dia mengetahui perkataan (yang kamu ucapkan) dengan terang-terangan dan Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan.
( QS Al Anbiyaa’ : 110 )

Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. ( QS Qaaf : 18 )

Dalam Al Quran, Allah berfirman bahwa sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. (QS Al Mukminuun : 1, 3)
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sesungguhnya seorang hamba yang mengatakan perkataan yang diridhoi Allah sekalipun perkataannya itu tidak diperhatikan, maka Allah mengangkat satu derajat keluhuran untuknya. Dan sesungguhnya seseorang hamba yang mengatakan perkataan yang membuat Allah murka sekalipun perkataannya tidak diperhatikan maka ia akan dijerumuskan (dicampakkan) ke dalam neraka Jahannam.” ( Hadist Riwayat Imam Ahmad)[108]

Mulut itu harus dipelihara agar jangan sampai mengeluarkan perkataan-perkataan yang membuat Tuhan murka. Betapa banyak bencana yang diakibatkan oleh mulut itu hingga diungkapkan di dalam suatu hadits bahwa mulut itu bisa mendatangkan siksa Tuhan.
Yang artinya :   Sebaik-baik mukmin (tentang) keislamannya ialah orang yang dapat menyelamatkan orang Islam dari lidahnya dan tangannya. Dan sebaik-baik mukmin (tentang) keimanannya ialah orang yang paling baik perangainya dan sebaik-baik muhajirin ialah orang berhijrah dari apa-apa yang dilarang Allah padanya dan sebaik-baik jihad ialah orang yang berjihad pada jalan Allah.[109]

Seseorang mukmin harus dapat menyelamatkan sesamanya dari lidahnya dan tangannya artinya lidah dan tangan jangan dipakai menyakiti orang dan sebagainya. Orang mukmin adalah orang yang paling baik budi pekertinya sehingga orang merasa senang bergaul dengannya. Dan sebaik-baik muhajirin ialah orang yang dapat meninggalkan apa yang terlarang lalu mengerjakan apa yang disukai Allah dan sebaik-baik jihad ialah orang yang berperang di jalan Allah sehingga apabila dia mati matinya mati syahid’.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sebaik-baik pemberian ialah perkataan yang benar yang engkau telah mendengarnya kemudian engkau sampaikan kepada saudaramu yang muslim lalu engkau ajarkan kepadanya. (HR Thabrani dari Ibnu Abbas)[110]

Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sesama muslim perkataan yang baik (nasihat) itulah pemberian yang paling berharga.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Empat macam orang yang diberikan kepadanya keempat hal berikut ini, maka sesungguhnya ia telah dianugerahi kebaikan dunia dan akhirat, yaitu : lidah yang selalu berzikir, hati yang selalu bersyukur, diri yang sabar menerima cobaan, dan isteri yang tidak berkhianat pada dirinya dan tidak pada hartanya.[111] ( HR Thabrani dari Ibnu Abbas )

Orang yang berbahagia hidupnya dunia dan akhirat ialah orang yang lidahnya selalu berzikir mengingat Allah, hatinya selalu bertakwa kepada Allah, sabar menerima cobaan Allah, dan memiliki isteri yang tidak menyeleweng dan tidak berkhianat terhadap dirinya dan hartanya, artinya hartanya itu selalu dipergunakannya di jalan Allah, itulah orang-orang yang berbahagia di dunia dan akhirat.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Semoga Allah mengasihi orang yang memelihara lisannya yang mengetahui keadaan zamannya kemudian meluruskan jalannya. (HR Ad Dailamiy dari Ibnu ‘Abbas)[112]

Orang yang memelihara lisannya dengan hati-hati dan mengetahui situasi zaman di mana ia hidup kemudian ia berupaya untuk meluruskan jalan hidupnya maka orang tersebut akan mendapat rahmat-Nya.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Jagalah kehormatan kamu dengan harta kamu dan hendaklah berbuat seseorang kamu dengan lisannya demi agamanya. (HR Ibnu Asakir)[113]

Jika kita mempunyai harta yang banyak jadikanlah diri menjadi orang kaya yang terhormat, jangan sampai kekayaan itu akan membawa diri kepada yang tidak baik, dan agama kita hendaklah kita tinggikan dan amalkan, maka perlu kita memberikan penerangan kepada orang yang tidak mengerti agama, supaya mereka menjadi orang yang beragama.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Baikkanlah perkataan, tebarkanlah salam, hubungkanlah silaturrahim, shalatlah di malam hari sewaktu manusia masih tidur, kemudian masuklah kamu ke dalam surga dengan selamat. (HR Ibnu Hibban dari Abu Hurairah)[114]

Di dalam ajaran Islam, manusia disuruh berkata baik, jangan menyakiti hati orang sebab luka hati susah obatnya, tetapi luka kena pisau cepat sembuhnya. Tebarkanlah salam, artinya di mana saja kita bertemu dengan sesama kita, ucapkanlah salam dan ucapan salam itu artinya mendoakan orang supaya selamat dan yang diberi salam itu pun harus menjawab dengan salam pula. Ini berarti saling mendoakan. Memperhubungkan silaturrahim artinya memperbanyak saudara handai taulan, jangan bermusuh-musuhan dan sebagainya. Dan kerjakanlah shalat tahajjud dan witir sewaktu orang-orang masih tidur, lalu bermunajat ke hadirat Allah, mudah-mudahan doa kita diterima Allah. Hal-hal yang tersebut itu bisa menjamin masuk surga.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Kefasihan lidah itu bukanlah terletak pada banyak bicara akan tetapi terletak pada perkataan yang hak dan batal sesuai dengan apa disukai Allah dan Rasul-Nya dan kelemahan itu bukanlah terletak pada lemahnya lidah, tetapi orang yang lemah itu sedikit pengetahuannya tentang yang hak. (HR Dailamy dari Abi Hurairah)[115]

Orang yang tegas dalam membedakan yang benar dengan yang batal itulah yang disebut orang yang fasih dan orang yang disebut lemah adalah orang yang kurang pengertian dalam kebenaran.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Semoga Allah mengasihi hamba yang berkata baik kemudian ia memperoleh kebaikannya atau ia diam dari perkara yang buruk kemudian ia selamat. (Hadist riwayat Ibnu’l Mubarak dari Khalid ibnu Abu ‘Imran)[116]

Berbahagialah orang yang berkata baik, lalu diamalkannya kebaikan itu untuk dirinya sehingga dirinya menjadi orang yang baik. Dan berbahagialah orang yang tidak mau membicarakan kejahatan sehingga dirinya selamat dari kejahatan itu, maka orang-orang tersebut mendapat rahmat Allah.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Barangsiapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia baik kepada tetangganya dan barangsiapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia berkata akan yang baik-baik atau diam. (HR Syaikhani)[117]

Kerjakanlah apa-apa yang tersebut di atas ini, mudah-mudahan iman kita diterima Allah.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Tetaplah engkau dengan baik perangai, lama diam, maka demi Dzat yang diriku berada di bawah kekuasaan-Nya, alangkah bagusnya perangai yang seumpama itu. ( HR Abu Ya’la dari Anas)[118]

Akhlak yang paling utama adalah akhlak yang baik dan banyak diam, kedua sifat itu adalah sebaik-baik akhlak.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Ingatlah aku kabarkan kepadamu tentang ibadah yang paling mudah dan paling enak dirasakan tubuh yaitu diam dan baik perangai. (Hadist Riwayat Ibnu Abid Dunia dari Shafwan bin Sulaim)[119]

Orang yang pendiam lebih baik dari orang yang suka berbicara yang tidak keruan. Adapun baik perangai dan pendiam kedua sifat itu adalah sifat yang sangat baik dan mengerjakannya juga tidak susah lagi pahalanya cukup besar.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Cobaan itu sumbernya berasal dari lisan, andaikata ada seseorang menuduh orang lain bahwa ia menyusu kepada anjing, maka (menurut lisan) hal itu bisa saja terjadi.” (Hadist riwayat Al Khathib dari Ibnu Mas’ud)[120]

Sumber segala bencana itu pada asalnya berpangkal dari mulut. Sebab mulut itu bisa saja mengatakan hal-hal yang mustahil sekalipun. Oleh sebab itu hati-hatilah kita harus menjaga mulut jangan sampai mengeluarkan perkataan yang bukan-bukan, pikirkanlah masak-masak sebelum berkata karena akibatnya sangat berbahaya sekali jika tidak hati-hati.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Berbahagialah orang yang dapat menahan lidahnya dan keleluasaannya dalam rumahnya dan dia menangis atas kesalahannya. (HR Thabrani dari Tsauban)[121]

Menahan lidah dari membicarakan yang tidak baik, luasnya ketenangan rezkinya dan ketenteraman dirinya dalam rumahnya dan menyesali kesalahannya dengan menangisi dirinya, itulah orang yang berbahagia.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Tetaplah engkau bertaqwa kepada Allah, maka sesungguhnya bertaqwa kepada Allah adalah himpunan semua kebaikan dan wajiblah bagi engkau berjihad, maka sesungguhnya jihad adalah rahbaniyyah kaum muslimin dan wajib atas engkau mengingat Allah dan membaca kitab Allah , maka sesungguhnya hal itu adalah cahaya bagi engkau di bumi ini dan dzikir engkau di langit dan kuncilah lidah engkau melainkan dengan kebaikan, maka sesungguhnya bila engkau di jalan yang demikian dapat mengalahkan setan-setan. (HR Abu Ya’la dari Abi Sa’id)[122]

Perbuatlah apa-apa yang di atas ini, niscaya engkau dapat mengalahkan setan-setan.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Cukuplah dosa seseorang itu apabila ia membicarakan semua apa yang didengarnya. (HR Muslim)[123]

Jika kita tidak mendengar satu persoalan tidak usah ikut-ikut membicarakan sebab ditakuti akan berdosa membicarakan yang bukan-bukan.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Enam perkara daripada kebaikan, yaitu : memerangi musuh Allah dengan pedang; berpuasa pada hari musim kemarau; bersabar dengan baik ketika mendapat musibah; meninggalkan perbantahan sedangkan engkau merasa benar, segera mengerjakan shalat pada hari mendung awan; dan membaikkan wudhu’ pada hari musim dingin. (HR Baihaqi dari Abi Malik al-Asy’ari)[124]

Keenam perkara itu adalah disebut perkara yang baik maka kerjakanlah mana yang dapat dikerjakan agar amal ibadat bertambah banyak. Uraiannya tidak akan diterangkan lagi karena sudah jelas apa yang disebut di atas ini.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang yang paling dibenci oleh Allah ialah orang yang sangat suka bertengkar. (Hadist Riwayat Muslim)[125]

Jauhilah perbuatan yang mendatangkan pertengkaran.


Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Barang siapa yang dipelihara Allah dari kejahatan apa yang di antara kumis dan janggotnya dan yang di antara dua kakinya, pasti masuk surga.(HR Tirmidzi dari Abu Hurairah)[126]

Apa yang antara kumis dan janggot adalah mulut dan antara dua kaki yaitu kemaluan. Dan orang yang menjaga kehormatannya dan mulutnya pasti masuk surga.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang muslim ialah orang yang menyelamatkan orang Islam (yang lain) dari kejahatan lidahnya dan tangannya. Orang yang beriman ialah orang yang mengamankan manusia atas darah mereka dan harta benda mereka. Orang muhajirin ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah. (HR Ahmad dari Abu Hurairah)[127]

Jadikanlah diri menjadi yang tiga macam itu.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang mukmin itu bukan pencela dan bukan pelaknat dan bukan yang jelek perangai dan bukan yang kotor lidah. (HR Muslim)[128]

Orang mukmin itu sifatnya baik dan terpuji.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sesungguhnya Allah s.w.t. tidak menyiksa oleh sebab mengalirnya air mata dan oleh sebab busuknya hati, tetapi ia menyiksa oleh sebab ini. (seraya mengisyaratkan kepada lidahnya) atau mengasihi. Dan sesungguhnya mayat itu disiksa oleh sebab ratapan ahlinya. (HR Jama’ah)[129]

Jika kita kematian tidak boleh diratapi (mengomel karena kesayangannya diambil Allah) itu adalah satu dosa dan memberati pula kepada si mayat yaitu mayat tersiksa karena perbuatan keluarganya tetapi menangis dan sedih tidak dilarang karena sifat yang dua macam itu adalah sifat manusia yang apabila ditimpa kesusahan pastilah datang sifat tersebut.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Bukanlah golonganku orang yang mempunyai sifat dengki dan tidak pula orang yang suka mengumpat dan tidak pula orang yang tukang meramal dan tidaklah aku termasuk golongannya. (HR Thabrani dari Abdullah bin Asri)[130]

Segala sifat yang tersebut itu adalah sifat madzmumah (tercela) maka jauhilah kesemuanya itu karena Nabi s.a.w. tidak pernah berbuat demikian. Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan yang tercela itu, bukanlah menjadi umat Nabi Muhammad s.a.w.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Ingatlah aku kabarkan kepadamu tentang dosa yang terbesar yaitu memperserikatkan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua, serta berkata bohong (sumpah palsu). (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Bakrah)[131]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya:    Empat macam sifat yang barangsiapa ada padanya keempat macam sifat itu berarti dia orang munafik tulen. Dan barangsiapa yang ada padanya sebahagian daripada sifat-sifat tersebut berarti ia mengandung sebahagian daripada sifat munafiq sehingga ia mau meninggalkannya. Apabila dia berbicara, berdusta. Apabila dipercaya, khianat. Apabila janji berjanji menyalahi dia akan janjinya. Dan apabila bertengkar, berbuat curang. (HR Syaikhani Bukhari Muslim dari Ibnu Umar)[132]

Empat macam sifat yang tersebut di atas itu adalah tanda-tanda orang munafik apabila sebahagian sifat yang empat itu ada di diri seseorang maka orang itu memiliki sebahagian sifat munafik sampai ia mau meninggalkannya.

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang yang bermuka dua di dunia, adalah baginya pada hari kiamat mempunyai dua lidah dari neraka. ( HR Abu Daud dari ‘Ammar )[133]

Orang yang bermuka dua ialah orang munafik dan kelak di kemudian hari mempunyai dua lidah dari api neraka.

Larik 7 dan larik 8 :
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan      ( 7 )
Daripada segala berat dan ringan                                      ( 8 )
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 7 dan 8.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. ( QS Yaasiin : 65 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       ( Azab ) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri. ( QS Ali Imran : 182 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       ( Azab ) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri. ( QS Al Anfal : 51 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS Asy Syuura : 30 )

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sebaik-baik mukmin (tentang) keislamannya ialah orang yang dapat menyelamatkan orang Islam dari lidahnya dan tangannya. Dan sebaik-baik mukmin (tentang) keimanannya ialah orang yang paling baik perangainya dan sebaik-baik muhajirin ialah orang berhijrah dari apa-apa yang dilarang Allah padanya dan sebaik-baik jihad ialah orang yang berjihad pada jalan Allah. (HR Thabrani dari Ibnu Umar)[134]

Seseorang mukmin harus dapat menyelamatkan sesamanya dari lidahnya dan tangannya artinya lidah dan tangan jangan dipakai menyakiti orang dan sebagainya. Orang mukmin adalah orang yang paling baik budi pekertinya sehingga orang merasa senang bergaul dengannya. Dan sebaik-baik muhajirin ialah orang yang dapat meninggalkan apa yang terlarang lalu mengerjakan apa yang disukai Allah dan sebaik-baik jihad ialah orang yang berperang di jalan Allah sehingga apabila dia mati matinya mati syahid’.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Ada tiga macam orang yang enak berbincang-bincang di bawah naungan Arasy dalam keadaan aman dan sentosa, sedangkan pada waktu itu semua orang lagi sibuk-sibuknya menjalani penghisaban (perhitungan amal), yaitu seseorang yang tidak mundur setapak pun oleh sebab celaan orang-orang dalam melaksanakan perintah Allah; seseorang yang tangannya belum pernah menjamah barang yang tidak dihalalkan baginya dan seseorang yang ( matanya ) belum pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah kepadanya. ( Hadist Riwayat  Al Ashbahaniy)[135]

Dalam hadist di atas, Rasulullah berpesan agar kita melaksanakan tiga amalan. Ketiga macam amalan itu dapat menyelamatkan diri seorang hamba dari penghisaban amal perbuatan kelak di hari kiamat dan orang yang selamat dari penghisaban berarti ia masuk surga.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang muslim ialah orang yang menyelamatkan orang Islam (yang lain) dari kejahatan lidahnya dan tangannya. Orang yang beriman ialah orang yang mengamankan manusia atas darah mereka dan harta benda mereka. Orang muhajirin ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah. (HR Ahmad dari Abu Hurairah)[136]


Larik 9 dan larik 10 :
Apabila perut terlalu penuh                    ( 9 )
Keluarlah fi’il yang tiada senonoh       ( 10 )
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 9 dan 10.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. ( QS Al An’am : 141 )
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. ( QS Al A’raf : 31 )

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Hal-hal yang paling aku khawatirkan melanda umatku ialah besar perut, banyak tidur, pemalas, dan lemah keyakinan. (HR Daruquthni dari Jabir)[137]

Nabi Muhammad s.a.w. khawatir umatnya suka besar perut, artinya mementingkan isi perutnya saja ( makan dengan macam-macam makanan) sehingga seleranya keterlaluan dan uangnya habis untuk itu. Dan penidur yang bukan pada waktunya sehingga tak ada waktu baginya untuk menambah pengetahuan, berusaha dan sebagainya. Begitu pula lemah keyakinan., artinya tidak percaya kepada dirinya sendiri dan sangat menggantungkan hidupnya kepada orang lain maka perbuatan-perbuatan yang seperti itu sangat ditakuti Nabi akan terjadi pada umatnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Tidaklah Allah membaguskan hamba-Nya dengan perhiasan yang lebih bagus dari zuhud pada dunia dan memelihara pada perutnya dan kehormatannya. (HR Abu Na’im dari Ibnu Umar)[138]

Beruntunglah orang yang dianugerahi sifat zuhud (tidak senang perkara duniawi) diberi kekuatan bisa memelihara perut dan kemaluannya dari barang-barang yang diharamkan oleh Allah s.w.t.
Cara makan yang dianjurkan Nabi s.a.w. :
Yang artinya :   Tidak ada sesuatu harus diisi oleh manusia yang lebih jahat daripada apa memenuhi rongga perutnya. Sudah cukup kiranya bagi anak Adam itu beberapa suap makanan untuk menguatkan badannya. Jika perlu lebih banyak lagi, maka hendaklah perut diisi sepertiganya dari makanan, sepertiganya lagi dengan air dan yang sepertiganya yang lain untuk udara bernafas. ( HR Tirmidzi )[139]
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Perangilah dirimu dengan lapar dan dahaga. Sesungguhnya pahalanya seperti orang yang berperang di jalan Allah, dan sesungguhnya tiada suatu amal perbuatan yang paling disukai Allah melebihi lapar dan dahaga.[140]

Al Hasan berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Berfikir merupakan sebagian dari ibadah sedang sedikit makan adalah ibadah.[141]

Al Hasan juga berkata, : Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Kedudukan paling utama bagimu di sisi Allah pada hari kiamat adalah yang paling lama merasa lapar dan paling lama berpikir tentang keagungan Allah.[142]
Yang artinya :   Janganlah kamu matikan hati dengan banyak makanan dan minuman, sesungguhnya hati seperti tanaman yang akan mati jika terlalu banyak air.[143]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sesungguhnya setan berjalan pada anak Adam melalui jalannya darah, maka persempitlah jalan-jalannya dengan lapar dan dahaga.[144]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Orang mukmin itu makan untuk satu usus, sedang orang munafik makan untuk tujuh usus. (HR Bukhari Muslim)[145]

Maksudnya, orang munafik makan tujuh kali lipat orang mukmin. Nafsu syahwatnya orang munafik tujuh kali lipat syahwat orang mukmin. Usus merupakan kiasan dari syahwat karena syahwat itulah yang menerima makanan dan mengambilnya sebagaimana usus mengambilnya. Dan tidak dimaksudkan lebih banyaknya jumlah usus orang munafik daripada usus orang mukmin.
Al Hasan meriwayatkan dari Aisyah r.a., katanya : Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   “Abadikanlah dalam mengetuk pintu surga, niscaya kau akan dipersilakan.” Lalu saya bertanya, “Bagaimana kami dapat mengabadikan mengetuknya ?” Beliau bersabda, “Dengan lapar dan dahaga.”[146]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Sesungguhnya orang yang lapar di dunia adalah orang yang kenyang di akhirat dan sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang perutnya penuh dengan makanan. Tidaklah seorang hamba meninggalkan makanan yang diinginkannya melainkan memperoleh derajat di surga.[147]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Hidupkanlah hatimu dengan sedikit tertawa dan sedikit kenyang, dan sucikanlah dengan lapar, niscaya menjadi jernih dan lembut.[148]

Memang, lapar laksana petir, qana’ah laksana awan dan hikmah laksana hujan.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Barang siapa melaparkan perutnya, niscaya besar pemikirannya dan cerdas hatinya.[149]
Yang artinya :   Apabila aku lapar, maka aku sabar dan tadharru’ (merendahkan diri), dan apabila aku kenyang maka aku bersyukur. (HR Ahmad dan Tarmidzi) [150]

Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Perut adalah ladang penyakit dan menjaganya adalah pokok obat. Maka biasakanlah setiap tubuhmu itu menurut kebiasaannya.[151]

Yang artinya :   Terus-meneruslah mengetuk pintu surga dengan lapar.[152]

Disunnahkan kepada seorang hamba untuk tidak tidur dalam keadaan kenyang karena dapat menimbulkan dua kelalaian. Karena itu, ia menjadi lesu, malas, dan keras hatinya. Sebaliknya ia harus mengerjakan shalat atau hendaknya duduk lalu berzikir kepada Allah, karena sesungguhnya dengan dzikir ia lebih dekat kepada syukur.
Dalam suatu hadist Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Cairkanlah makananmu dengan dzikir dan shalat dan janganlah kamu tidur di atas makanan karena hatimu akan menjadi keras. (HR Thabrani)[153]

Sesudah makan, seorang hamba disunnahkan melaksanakan dzikir dan shalat. Shalat paling sedikit empat rakaat atau membaca tasbih seratus kali atau membaca satu juz Al-Quran.
Perlu diketahui bahwa dua bahaya besar bahkan lebih besar dari bahaya makan segala keinginan, menghinggapi orang yang meninggalkan keinginan hawa nafsunya.
Pertama, hawa nafsu tidak mampu meninggalkan sebagian keinginannya, lalu ia menginginkannya tetapi ingin diketahui ia menginginkannya maka ia menyembunyikan keinginannya dan di tempat sepi ia makan sesuatu yang tidak dimakan bersama khalayak. Inilah sirik tersembunyi.

Larik 11 dan larik 12 :
Anggota tengah hendaklah ingat                            ( 11 )
Di situlah banyak orang yang hilang semangat     ( 12 )
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 11 dan 12.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. (QS Al Mu’minuun : 5 )

Ada tujuh sifat yang menjadikan orang-orang mukmin beruntung. Hal itu terdapat dalam Al-Quran, Allah s.w.t. berfirman dalam Surah Al Mu’minuun ayat 1 sampai dengan 11.
Ayat 1    : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.
Ayat 2    : (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.
Ayat 3    : dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.
Ayat 4    : dan orang-orang yang menunaikan zakat.
Ayat 5    : dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.
Ayat 6    : kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[154], maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Ayat 7    : Barangsiapa mencari yang di balik itu[155] maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Ayat 8    : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
Ayat 9    : dan orang-orang yang memelihara shalatnya.
Ayat 10  : Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
Ayat 11  : (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS An Nuur : 30)
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. (QS An Nuur : 31)
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Tiga macam sifat yang dapat menyelamatkan diri seseorang, yaitu bertakwa kepada Allah di waktu bersunyi-sunyi dan berterang-terang, dan adil dalam suka dan marah, dan sederhana di waktu miskin dan kaya, dan tiga macam pula yang membinasakannya, yaitu mengikuti hawa nafsu, kebakhilan yang dituruti, dan seseorang yang merasa takjub dengan dirinya (‘ujub). (HR Abu Syaikh dari Anas)[156]

Ada tiga macam hal yang akan menguntungkan dan ada tiga macam pula hal yang mencelakakan diri. Terserah kepada masing-masing untuk memilihnya, ingin bahagia atau tidak. Hadist di atas telah menunjukkan satu per satu hal tersebut.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Barang siapa yang dipelihara Allah dari kejahatan apa yang di antara kumis dan janggotnya dan yang di antara dua kakinya, pasti masuk surga.(HR Tirmidzi dari Abu Hurairah)[157]

Apa yang antara kumis dan janggot adalah mulut dan antara dua kaki yaitu kemaluan. Dan orang yang menjaga kehormatannya dan mulutnya pasti masuk surga.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Jika tidak ada wanita, niscaya disembahlah Allah dengan sebenar-benarnya.[158] ( HR Dailamy dari Anas )

Hadist di atas merupakan kata-kata sindiran yang menunjukkan bahwa kebanyakan orang terjerumus karena wanita.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Puasa itu perisai (diri dari neraka). (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)[159]

Puasa itu dikatakan perisai bagi manusia dari neraka. Sebabnya adalah dengan berpuasa manusia terpelihara dari perbuatan jahat. Perbuatan jahat itulah yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa dengan berpuasa manusia dapat menamengi dirinya dari api neraka.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
Yang artinya :   Tidaklah Allah membaguskan hamba-Nya dengan perhiasan yang lebih bagus dari zuhud pada dunia dan memelihara pada perutnya dan kehormatannya. ( HR Abu Na’im dari Ibnu Umar )[160]

Beruntunglah orang yang dianugerahi sifat zuhud (tidak senang perkara duniawi) diberi kekuatan bisa memelihara perut dan kemaluannya dari barang-barang yang diharamkan oleh Allah swt.

Larik 13 dan larik 14 :
Hendaklah peliharakan kaki                                  ( 13 )
Daripada berjalan yang membawa rugi                  ( 14 )
Berikut ini penulis paparkan beberapa nash yang berkenaan dengan larik 13 dan 14.
Allah s.w.t. berfirman :
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. ( QS Yaasiin : 65 )

Allah berfirman dalam Al-Quran melalui lisan Nabi-Nya, Musa a.s. ketika menyampaikan amanat kepada saudaranya, harun :
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       Dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan. ( QS Al A’raaf : 142 )

Dalam Tafsir At-Thabari, jilid 13, halaman 88, penafsiran ayat di atas : Janganlah kamu mengikuti jalan mereka yang melakukan kerusakan di muka bumi dengan kedurhakaan mereka terhadap Tuhan mereka dan dengan membantu para pelaku maksiat itu dalam kedurhakaan mereka terhadap Tuhan mereka, tapi laluilah jalan orang-orang yang taat kepada Tuhannya.
Dalam ayat lain, Allah s.w.t. berfirman :
Allah ta’ala berfirman yang artinya :       dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)[161] ( QS Al An’am : 153 )


3.      Penutup
Kiranya penelitian ini merupakan awal bagi diri penulis dalam melakukan apresiasi dan penghargaan terhadap warisan khazanah kesusastraan Melayu di masa silam. Kekayaan khazanah masa silam di kawasan Melayu Riau itu merupakan kebesaran dan kemuliaan Raja Ali Haji dan generasinya. Sebagai generasi sekarang, pengkajian ini dimaknai sebagai upaya awal untuk (turut) membangun kebesaran dan kemuliaan generasi sendiri serta untuk menjadikan diri penulis sendiri menjadi sebaik-baik manusia.
Penulis sangat berharap sumbang saran dan kritik konstruktif terhadap tulisan ini. Tentunya dalam tulisan ini akan terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, penulis sekali lagi sangat mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak.
Semoga tulisan ini nantinya akan bermanfaat bagi dunia pendidikan di Provinsi Kepulauan Riau. Lebih khusus, semoga tulisan ini bermanfaat dan berdaya guna bagi dunia pendidikan, bagi dunia kemanusiaan, bagi dunia dan kehidupan masyarakat Kabupaten Lingga.
Dabo Singkep, 23 Oktober 2005
Penulis,
E. SYAMSUL HENDRY

DAFTAR PUSTAKA PENELITIAN

------------- .         .    Al-Quran.
------------- .2001.   Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka
Agama, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, Departemen. 1989. Al-Quran dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra
Al Ghazali. 1995. Kasrusy Shahwatain. Terjemahan A. Hufaf Ibriy, “Kiat Mengatasi Syahwat Perut dan Alat Kemaluan”. Surabaya : Tiga Dua
Al Hasyimiy, As Sayyid Ahmad. 1994. Tarjamah Mukhtarul Hadist. Terjemahan H. Hadiyah Salim. Bandung : Al-Ma’arif
Ambary, Abdullah. 1974. Intisari Sastra Indonesia. Bandung : Djatnika
Arifin, Syamsir. 1991. Kamus Sastra Indonesia. Padang : Angkasa Raya
Haji, Raja Ali. 1989. Gurindam Duabelas. Pekanbaru : Gramitra
Haji, Raja Ali. 2002. Gurindam 12. Tanjungpinang : Yayasan Khazanah Melayu
Hamidi, U.U. 1983. Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu. Pekanbaru : Bumi Pustaka
Hassan, Alimuddin. 2003. Persuratan Intelektual Melayu – Riau : Meneroka Pemikiran Politik Raja Ali Haji di Tengah Pemikiran Agama dan Budaya – Politik Islam Melayu. Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah.
Ibrahim, Zahrah. (penyunting). 1987. Tradisi Johor – Riau : Kertas Kerja Hari Sastera 1983. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka
Jabbar, Fakhrunnas M.A. Selasa, 21 Mei 1985. Catatan Malam Raja Ali Haji : Mengarang dengan Rujukan Al-Quran dan Hadist. Dalam Berita Buana
Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji : Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru : UNRI Press
Junus, Hasan. 2004. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Pekanbaru : UNRI Press.
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta : Paramadina
Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung : AlfaBeta
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : AlfaBeta



[1] epistemologi : cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 306)
[2] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Paramadina, Jakarta, 1995, h. 36, dikutip dari Alimuddin Hassan, idem, h. 1
[3] Hasan Junus, op.cit.,  h. 1
[4] ibid., h. 62
[5] ibid., h. 90
[6] Sekurang-kurangnya ada tiga sumber bacaaan yang dapat dipakai untuk mengenal orang ini. Pertama Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali Haji, sang cucu. Kedua, De Negerlanders in Djohor en Siak karangan Elisa Netscher dan ketiga Geschiedenis van Indonesie karya H.J. de Graaf. Tuhfat Al-Nafis menempatkan Raja Haji di tempat yang sangat terhormat. Ia berperang dengan kompeni Belanda di Melaka dan tewas dalam pertarungan di Teluk Ketapang. Gelar posthumousnya yaitu Marhum Teluk Ketapang. Karena kematiannya dianggap sebagai mati syahid, gelar posthumousnya yang lain adalah Raja Haji Fisabililah.
[7] Hasan Junus, Raja Ali Haji dan Karya-karyanya, dikutip dari Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas, Pekanbaru, 1989, h. 4
[8] Zahrah Ibrahim, op.cit., h. 117
[9] ibid., h. 114
[10] Fakhrunnas M.A. Jabbar, loc.cit.
[11] Syamsir Arifin, Kamus Sastra Indonesia, Angkasa Raya, Padang, 1991, h. 51
[12] Abdullah Ambary, Intisari Sastra Indonesia, Djatnika, Bandung, 1974, h. 31 – 32
[13] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, h. 377
[14] Raja Ali Haji, Gurindam 12, Yayasan Khazanah Melayu, Tanjungpinang, 2002, h. 2
[15] Hasan Junus, op.cit.,  h. 83
[16] Sugono, Dendy dan A. Rozak Zaidan, Raja Ali Haji : Munsyi dan Pujangga, dikutip dari loc cit., h. 380 – 383
[17] Badrun, Ahmad, Gurindam Dua Belas : Sebuah Pertemuan dengan Raja Ali Haji,  dikutip dari loc cit., h. 384 – 405

[18] transedental : menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian; sukar dipahami; gaib; abstrak (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 1208)
[19] Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung, 2004, h. 11
[20] Yang dimaksud dengan bersyukur di ayat ini ialah menggunakan alat-alat tersebut untuk memperhatikan bukti-bukti kebesaran dan keesaan Tuhan, yang dapat membawa mereka beriman kepada Allah s.w.t. serta taat dan patuh kepada-Nya. Kaum musyrikin memang tidak berbuat demikian.
[21] Mereka itu memperbuat dosa dengan terang-terangan karena mereka menyangka bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan mereka dan mereka tidak mengetahui bahwa pendengaran, penglihatan dan kulit mereka akan menjadi saksi di akhirat kelak atas perbuatan mereka.
[22] pandangan mata yang khianat ialah pandangan yang terlarang, seperti memandang kepada wanita yang bukan muhrimnya.
[23] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Hadist, terj. H. Hadiyah Salim, PT Al Ma’arif, Bandung, 1994, h. 303
[24] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, ibid. h. 689
[25] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Hadist, terj. H. Hadiyah Salim, PT Al Ma’arif, Bandung, 1994, h. 165
[26] ibid. h. 104
[27] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Hadist, terj. H. Hadiyah Salim, PT Al Ma’arif, Bandung, 1994, h. 288
[28] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Hadist, terj. H. Hadiyah Salim, PT Al Ma’arif, Bandung, 1994, h. 123
[29] ibid. h. 461
[30] ibid. h. 375
[31] Yang dimaksud dengan bersyukur di ayat ini ialah menggunakan alat-alat tersebut untuk memperhatikan bukti-bukti kebesaran dan keesaan Tuhan, yang dapat membawa mereka beriman kepada Allah s.w.t. serta taat dan patuh kepada-Nya. Kaum musyrikin memang tidak berbuat demikian.
[32] Mereka itu memperbuat dosa dengan terang-terangan karena mereka menyangka bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan mereka dan mereka tidak mengetahui bahwa pendengaran, penglihatan dan kulit mereka akan menjadi saksi di akhirat kelak atas perbuatan mereka.
[33] ibid. h. 289
[34] Termasuk dalam kalimat yang baik ialah kalimat tauhid, segala ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik.
[35] Ucapan buruk seperti mencela orang, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang dan sebagainya.
[36] Maksudnya orang yang teraniaya boleh mengemukakan kepada hakim atau penguasa, keburukan-keburukan orang yang menganiayanya.
[37] ibid. h. 246
[38] ibid. h. 213
[39] ibid. h. 806
[40] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Hadist, terj. H. Hadiyah Salim, PT Al Ma’arif, Bandung, 1994, h. 133
[41] ibid. h. 457
[42] ibid. h. 592
[43] ibid. h. 157
[44] ibid. h. 662
[45] ibid. h. 457
[46] ibid. h. 785
[47] ibid. h. 542
[48] ibid. h. 297
[49] ibid. h. 344
[50] ibid. h. 523
[51] ibid. h. 541
[52] ibid. h. 599
[53] ibid. h. 475
[54] Ibid. h. 211
[55] ibid. h. 794
[56] ibid. h. 802
[57] ibid. h. 847
[58] ibid. h. 226
[59] ibid. h. 672
[60] ibid. h. 302
[61] ibid. h.131
[62] ibid. h. 785
[63] ibid. h. 178
[64] ibid. h. 375
[65] ibid. h. 802
[66] ibid. h. 72
[67] ibid. h. 692
[68] ibid. h. 698
[69] Al-Ghazali, Kasrusy Shahwatain, terj. A. Hufaf Ibriy, “Kiat Mengatasi Syahwat Perut dan Alat Kemaluan”, Tiga Dua, Surabaya, 1995. h. 8
[70] ibid. h. 9
[71] ibid. h. 10
[72] ibid. h. 11
[73] ibid. h. 16
[74] ibid. h. 16
[75] ibid. h. 17
[76] ibid. h. 19
[77] ibid. h. 26
[78] ibid. h. 26
[79] ibid. h. 29
[80] ibid. h. 37
[81] ibid. h. 39
[82] ibid. h. 66
[83] Maksudnya budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. Dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin yang ikut dalam peperangan itu dan kebiasaan ini bukanlah suatu yang diwajibkan.
[84] Zina; homosexual, lesbian
[85]As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, op.cit., h. 371
[86] ibid. h. 794
[87] ibid. h. 659
[88] ibid. h. 510
[89] ibid. h. 692
[90] Maksudnya : janganlah kamu mengikuti agama-agama dan kepercayaan yang lain dari Islam.
[91] Yang dimaksud dengan bersyukur di ayat ini ialah menggunakan alat-alat tersebut untuk memperhatikan bukti-bukti kebesaran dan keesaan Tuhan, yang dapat membawa mereka beriman kepada Allah s.w.t. serta taat dan patuh kepada-Nya. Kaum musyrikin memang tidak berbuat demikian.
[92] Mereka itu memperbuat dosa dengan terang-terangan karena mereka menyangka bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan mereka dan mereka tidak mengetahui bahwa pendengaran, penglihatan dan kulit mereka akan menjadi saksi di akhirat kelak atas perbuatan mereka.
[93] pandangan mata yang khianat ialah pandangan yang terlarang, seperti memandang kepada wanita yang bukan muhrimnya.
[94] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Hadist, terj. H. Hadiyah Salim, PT Al Ma’arif, Bandung, 1994, h. 303
[95] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, ibid. h. 689
[96] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Hadist, terj. H. Hadiyah Salim, PT Al Ma’arif, Bandung, 1994, h. 165
[97] ibid. h. 104
[98] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Hadist, terj. H. Hadiyah Salim, PT Al Ma’arif, Bandung, 1994, h. 288
[99] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Hadist, terj. H. Hadiyah Salim, PT Al Ma’arif, Bandung, 1994, h. 123
[100] ibid. h. 461
[101] ibid. h. 375
[102] Yang dimaksud dengan bersyukur di ayat ini ialah menggunakan alat-alat tersebut untuk memperhatikan bukti-bukti kebesaran dan keesaan Tuhan, yang dapat membawa mereka beriman kepada Allah s.w.t. serta taat dan patuh kepada-Nya. Kaum musyrikin memang tidak berbuat demikian.
[103] Mereka itu memperbuat dosa dengan terang-terangan karena mereka menyangka bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan mereka dan mereka tidak mengetahui bahwa pendengaran, penglihatan dan kulit mereka akan menjadi saksi di akhirat kelak atas perbuatan mereka.
[104] ibid. h. 289
[105] Termasuk dalam kalimat yang baik ialah kalimat tauhid, segala ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik.
[106] Ucapan buruk seperti mencela orang, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang dan sebagainya.
[107] Maksudnya orang yang teraniaya boleh mengemukakan kepada hakim atau penguasa, keburukan-keburukan orang yang menganiayanya.
[108] ibid. h. 246
[109] ibid. h. 213
[110] ibid. h. 806
[111] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Hadist, terj. H. Hadiyah Salim, PT Al Ma’arif, Bandung, 1994, h. 133
[112] ibid. h. 457
[113] ibid. h. 592
[114] ibid. h. 157
[115] ibid. h. 662
[116] ibid. h. 457
[117] ibid. h. 785
[118] ibid. h. 542
[119] ibid. h. 297
[120] ibid. h. 344
[121] ibid. h. 523
[122] ibid. h. 541
[123] ibid. h. 599
[124] ibid. h. 475
[125] Ibid. h. 211
[126] ibid. h. 794
[127] ibid. h. 802
[128] ibid. h. 847
[129] ibid. h. 226
[130] ibid. h. 672
[131] ibid. h. 302
[132] ibid. h.131
[133] ibid. h. 785
[134] ibid. h. 178
[135] ibid. h. 375
[136] ibid. h. 802
[137] ibid. h. 72
[138] ibid. h. 692
[139] ibid. h. 698
[140] Al-Ghazali, Kasrusy Shahwatain, terj. A. Hufaf Ibriy, “Kiat Mengatasi Syahwat Perut dan Alat Kemaluan”, Tiga Dua, Surabaya, 1995. h. 8
[141] ibid. h. 9
[142] ibid. h. 10
[143] ibid. h. 11
[144] ibid. h. 16
[145] ibid. h. 16
[146] ibid. h. 17
[147] ibid. h. 19
[148] ibid. h. 26
[149] ibid. h. 26
[150] ibid. h. 29
[151] ibid. h. 37
[152] ibid. h. 39
[153] ibid. h. 66
[154] Maksudnya budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. Dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin yang ikut dalam peperangan itu dan kebiasaan ini bukanlah suatu yang diwajibkan.
[155] Zina; homosexual, lesbian
[156]As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, op.cit., h. 371
[157] ibid. h. 794
[158] ibid. h. 659
[159] ibid. h. 510
[160] ibid. h. 692
[161] Maksudnya : janganlah kamu mengikuti agama-agama dan kepercayaan yang lain dari Islam.